Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

16 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koreksi Penjualan Rumah Soekarno

BERITA tentang rencana penjualan rumah masa kecil Soekarno di Tempo edisi 2-8 Juni 2008 perlu mendapat koreksi dari kami sebagai ahli waris Ibu Soekarmini, kakak kandung Soekarno.

  1. Pernyataan Wali Kota Blitar Djarot Saiful Hidayat tentang status rumah milik Ibu Soekarmini di Jalan Sultan Agung 56-59 sebagai cagar budaya cacat hukum, karena penetapannya sepihak, tak ada persetujuan pihak ahli waris. Sebelum adanya penetapan itu, saya telah menulis surat, Juli 2001, kepada Wali Kota tapi tak ditanggapi. Sampai sekarang, kami sebagai ahli waris tak setuju rumah itu sebagai cagar budaya. Saya minta Wali Kota mohon maaf kepada ahli waris.

  2. Prioritas pertama pembeli yang kami berikan kepada putra dan putri Bung Karno, lalu kepada pemerintah, dilakukan penuh kesadaran, bukan paksaan karena penetapan status cagar budaya.

  3. Rencana penjualan diinformasikan ke pihak luar setelah disepakati seluruh ahli waris Ibu Soekarmini dalam rapat keluarga pada 16-17 Juni 2007. Ahli waris belum sepakat dengan harga yang diajukan beberapa penawar dari dalam ataupun luar negeri. Wali Kota Blitar tak pernah mengajak berdialog secara tertulis atau menawar kepada wakil ahli waris.

RETNO TRIANI Jakarta

Istri Minta Keadilan

SUAMI saya dimasukkan ke penjara Kepolisian Sektor Cipondoh, Tangerang, karena tersangkut kasus utang-piutang sejak 21 Februari 2008. Suami saya sudah membayar utang Rp 400 juta dari total utang Rp 700 juta, berupa barang-barang jenis mesin sebagai kerja sama suami saya dengan Alfian, pemilik Persada Motor.

Karena belum lunas, suami saya disergap oleh enam orang di rumah. Salah satu polisi adalah teman dekat Alfian. Awalnya mereka menanyakan persneling Kijang, tapi kemudian mereka menyergap, memukul, dan menyeret suami saya hingga babak-belur. Suami saya kemudian dibawa ke mobil Panther. Saya dipaksa meneken surat penahanan tanpa diperbolehkan membacanya.

Esoknya, semua barang di toko kami disita. Suami saya ditahan dan dipaksa meneken berkas pemeriksaan tanpa dibolehkan membaca ulang. Sewaktu di kejaksaan, suami saya terkejut karena di berita acara pemeriksaan tertera pengakuan suami saya telah melakukan penggelapan dan penipuan. Padahal saat pemeriksaan tidak seperti itu. Bukti-bukti pembayaran pun tak dilampirkan. Itu belum termasuk setoran tunai ratusan juta ke rekening.

Sebagai istri, saya khawatir suami saya disidang tanpa keadilan mengingat penahanan dan pemberkasannya penuh rekayasa seperti itu.

ERNA KURNIASARI Tangerang

Pemilihan Kepala Daerah Jawa Tengah

SEPEKAN lalu saya berkunjung ke beberapa kota di Jawa Tengah dengan jalan darat dari Jakarta. Begitu masuk tapal batas Jawa Tengah, gambar-gambar besar para calon gubernur dan wakilnya sudah memenuhi pinggir jalan. Siapa Tamzil? Siapa Bibit, selain mantan jenderal? Siapa Sukawi, selain baru saja dikenalkan media sebagai orang yang terkena kasus korupsi? Siapa Bambang Sadono? Masyarakat yang saya tanya mengaku tak mengenal para calon itu.

Saat materi ini saya tulis, di TV-One sedang berlangsung debat para calon Gubernur Jawa Tengah. Di acara itu tak satu pun calon yang mampu memaparkan program kerja dengan jelas. Semuanya ada di awang-awang. Para calon gubernur terlihat tidak punya wibawa sebagai pemimpin karena tidak bisa memberikan jawaban yang sistematis dan bagus. Mereka pun menjadi bahan tertawaan.

Saya tak menemukan rencana terobosan. Misalnya, dalam dua tahun pertama menjadikan Jawa Tengah sebagai daerah tujuan wisata dengan mengandalkan kehidupan pedesaan seperti dilakukan di Thailand atau menjadikan Kepulauan Karimun Jawa sebagai basis perikanan bernilai ekonomi tinggi. Alternatif terobosan lainnya, membangun pelabuhan raksasa di Cilacap untuk menghubungkan Indonesia dengan dunia belahan selatan. Tidak ada juga rencana memberikan beasiswa pendidikan penuh hingga S-1, tidak ada jaminan gratis berobat penuh dan layak bagi rakyat kelas menengah ke bawah.

Akhirnya, saya berharap semoga warga Jawa Tengah menyadari pentingnya mendapatkan orang yang benar-benar tepat untuk menjadi gubernurnya. Jangan sampai pemilihan kepala daerah hanya acara rutin lima tahunan yang tanpa makna, tapi berbiaya besar. Era sudah berubah, rakyat punya kebebasan mendapatkan haknya, mendapatkan yang terbaik.

Husni Arifin Sawangan, Depok

Panglima Kok Melarikan Diri

KETIKA anak buahnya ditangkap polisi, Munarman justru menghilang. Ucapannya tak segarang perbuatannya. Ironis, ada panglima secara pengecut melarikan diri dari medan pertempuran, tidak berjuang sampai titik darah penghabisan sesuai dengan omongannya.

Ada juga tokoh pembela hak asasi manusia yang berkoar penyerbuan mahasiswa di Universitas Nasional adalah pelanggaran hak asasi. Tapi dia menghilang tak terdengar ketika terjadi kerusuhan di Monumen Nasional, 1 Juni lalu.

ACHMAD SABLIE Tanah Kusir, Jakarta Selatan

Liputan Tempo Kasus Monas

BELASAN tahun saya berlangganan Tempo. Saya menyukai pemberitaan majalah ini yang adil dan berimbang dalam mengulas akar permasalahan secara tuntas tanpa ada keberpihakan. Namun, saya kecewa membaca edisi 9-15 Juni 2008 yang mengulas insiden Monumen Nasional. Saya merasa Tempo tidak melakukan pemberitaan dan penampilan foto yang berimbang seperti biasanya, bahkan cenderung menghakimi salah satu pihak.

Tempo tidak melakukan wawancara yang berimbang dari kedua belah pihak dan cenderung berat sebelah. Tempo juga menggunakan kalimat yang cenderung kasar, kelas media jalanan, yang kurang pantas dari sisi norma estetika tulisan pers yang profesional.

Yang fatal, Tempo hanya mengulas ”puncak gunung es” dari kejadian tersebut dan hanya sekilas dalam mengulas akar permasalahan mengapa kejadian itu bisa terjadi.

Adi Prasetyo Palmerah, Jakarta Barat

Dalam liputan itu, Tempo mewawancarai semua pihak yang terlibat. Secara redaksional, Tempo memang mendukung kebebasan beragama warga negara dan mengutuk insiden Monas—sesuatu yang tampak dalam editorial kami.

Terima kasih. —Redaksi

Bahaya Balon Gas

DI beberapa tempat keramaian, sekolah atau di depan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ada penjualan balon gas. Balon karet itu diisi gas hidrogen agar bisa terbang. Gas itu sebetulnya sangat beracun dan mudah terbakar jika balon terkena api rokok. Gas yang aman adalah gas helium, tapi harganya sangat mahal. Saya usul, pemerintah memberi bantuan langsung tunai kepada penjual balon dengan tangki gas hidrogen agar mereka menggantinya dengan helium.

SUNARTO PRAWIROSJANTO Patiunus, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus