Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada akhirnya yang unggul adalah teater nonverbal. Pementasan Putu Wijaya pada 7 Juni di Gedung Kesenian Jakarta, yang diberi judul Nol (diterjemahkan: Zero), tidak disebut teater (istilah yang mencakup semua yang dekat dengan pengertian lakon) barangkali karena tiadanya kelengkapan segala unsur tontonan yang diperlukan. Terpenting, tidak ada dialog. Sama sekali. Yang ada hanya beberapa lenguhan atau lengkingan, beberapa kali hardikan ”hosysy!”, dan terakhir sekali sebuah nyanyian Tanah Air yang sendu diiringi membukanya gulungan layar di lantai panggung dan dari dalamnya keluar sebarisan anak muda yang memekik gembira bersama-sama: ”In-do-ne-sia!” (di sini, anehnya, orang bisa menangis).
Ini teater layar-layar, lampu-lampu, dan bayangan-bayangan. Panggung terus-menerus bergerak dalam warna yang kesan keseluruhannya antara merah tua dan merah bara. Dengarkan saja tuturan Putu Wijaya ketika menjawab pertanyaan saya, sehabis pementasan, tentang rangsang pertama yang masuk ke kepalanya untuk pertunjukan ini: ia melihat air yang berpendar-pendar di kolam, ketika sesuatu jatuh ke dalam. Ia berpikir, pendaran-pendaran itu bisa dilipatkan dan akan bisa menjadi dahsyat.
Dan di panggung, pendaran-pendaran dahsyat itu tidak hanya dihasilkan oleh kerja lampu-lampu, tapi juga layar yang digerakkan terus-menerus. Backdrop yang menjadi latar belakang itu berombak-ombak dengan sorotan berbagai imaji yang sebagian membuat kita seperti melayang. Tapi itu terutama disebabkan oleh lampu yang sering pergi mengedarkan bayangan bahkan ke depan kursi penonton dan membuat langit-langit di atas mereka menyala terang, dengan imaji-imaji yang terkadang menampilkan wajah penari Bali. Dengan beberapa pemain yang berada di posisi dekat backdrop berkali-kali seperti terangkat atau melayang ke atas dan ”gangguan” satu-dua pemain dari bawah apron atau kiri-kanan panggung, seluruh suasana menjadikan panggung benar-benar tidak berbatas.
Tapi ”pemain utama” adalah gulungan layar di lantai panggung. Gulungan ini menyembunyikan para pemain (Anda tak akan bisa menebak jumlahnya) yang sebenarnya menggerakkan seluruh ”cerita”, dengan bersama-sama membanting diri ke kiri-ke kanan, menjadi bungkusan besar benjol atau mencuat tiba-tiba ke sebelah atas dan ke depan atau menggapaikan tangan lewat sobekan yang mendadak tercipta, di bawah lampu-lampu aneka warna, dengan gerakan tubuh yang tak pernah berhenti, dalam teriakan-teriakan serta dalam bombardemen musik keras modern yang terus-menerus dan yang sering tiba-tiba melantunkan perasaan kita ke melodi tradisional Bali.
Dalam bungkusan di panggung itulah cerita yang sebenarnya bermain. Tiba-tiba bedil diacungkan. Beberapa saat bedil berayun-ayun. Atau bedil ditujukan kepada penonton. Lebih dari itu, sebuah tubuh besar, besar sekali, seperti mewakili korban yang lunglai, bagaikan bantal yang tak bertenaga (dan mungkin memang beberapa bantal yang disatukan) disugestikan dikerubuti. Inilah, ternyata kemudian, yang menjadi inti pertunjukan ini: serangan Putu kepada perang atau kekerasan. Dan, ”Dengan dalih menciptakan perdamaian, manusia pun akhirnya berkelahi untuk memenangkan upaya perdamaian yang dianggapnya paling benar dan adil,” tulis Putu dalam selebaran program pertunjukan. Karena itu, ”Zero (judul pementasan ini) adalah sebuah esai visual yang mencoba mengajak setiap orang untuk kembali ke wilayah nol tanpa keinginan tertentu kecuali menghormati dan mencintai sesama....”
Saya beruntung tidak membaca lebih dulu siaran itu. Saya tidak paham tontonan ini. Bagi saya, cuma terasa keindahan panggung yang terus-menerus dan sindiran Putu, yang memang pesimistis itu, terhadap perang. Dan bagi saya itu cukup. Saya tak memerlukan cerita atau maksud. Dan tontonan ini memang bukan cerita. Barangkali kalau Putu sendiri tidak terhalang bermain malam itu (ia absen karena terjatuh dari panggung!—dan tidak digantikan), maksud tontonan itu akan lebih terpahami lewat penjelasan verbalnya dalam pengantar. Tapi itu tidak penting. Satu-satunya kekurangan, kalau ada, adalah dalam akselerasi tontonan yang hilang: tanpa pembuka, langsung start, langsung kebut. Tapi itu juga karena kita diberi tahu bahwa Putu berhalangan.
Tak apa. Sebab, pada akhirnya, memang, yang unggul adalah teater nonverbal. Dan di Indonesia, itu hanya teater Putu kini—setelah Rendra pada akhir 1960-an muncul sebentar dengan nomor-nomor minikata-nya. Soalnya, jenis ini bisa dinikmati tanpa problem perbedaan bahasa. Tiga hari setelah pementasan, Putu dan Teater Mandirinya berangkat ke Praha, Ceko, untuk pemanggungan dan workshop atas usaha duta besar kita di sana, lalu ke Bratislava, ibu kota Slovakia. Adapun Zero, yang lahir pada 2003, sudah mentas di Tokyo, Taipei, Hong Kong, Kairo, Singapura, di samping di dalam negeri. Bravo.
Syu’bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo