Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab Perum Peruri
Terima kasih kami sampaikan atas perhatian majalah Tempo terhadap Perum Peruri seperti ditulis dalam rubrik ”Investigasi” Tempo edisi 19–25 Maret 2007. Namun, jujur, kami merasa terganggu dengan penggunaan kata-kata ”menghamburkan” dan sejenisnya. Meskipun itu hak majalah Tempo, dampaknya: publik akan berpikir negatif dan mencoreng citra Perum Peruri. Langkah profesional dengan memberi waktu wawancara juga telah kami lakukan untuk menghindari kesalahpahaman. Namun, ternyata ada beberapa yang tidak dikonfirmasikan dan sangat menyudutkan kami. Karena itu, kami tempuh langkah profesional jurnalisme dengan memberikan hak jawab. Kami meminta agar beberapa hal mendasar diluruskan, karena ini menyangkut nama baik Perum Peruri sebagai institusi pencetak uang Republik Indonesia.
- Mengenai perbandingan harga cetak mata uang Indonesia dengan negara lain: ”Setiap membuat uang, Bank Negara Malaysia hanya mengeluarkan ongkos Rp 224 per bilyet. ...Malaysia membayar lebih murah Rp 42 per bilyet” (hlm. 59, 61, dan 64).
Kami sudah mengundang majalah Tempo dan media lain untuk melihat secara langsung pabrik Peruri di Karawang agar mengetahui bagaimana cetak uang dilakukan dan berdasar apa harga cetak dihitung. Namun, Tempo masih juga melakukan kesalahan fatal yang sangat memojokkan. Perbandingan harga cetak uang tidak bisa dilakukan dengan cara yang dilakukan Tempo. Harga cetak tergantung pada kertas uang serta bahannya, luas area cetakan intaglio, berapa sisi intaglionya (1 sisi atau 2 sisi) dan jenis tinta intaglionya; fitur pengaman lain seperti OVI, serta kedalaman gravere yang berimbas pada konsumsi tinta.
Jika Peruri mencetak 6,6 miliar bilyet, masih harus diketahui komposisinya, lalu ditambah dengan fitur lainnya, sehingga masing-masing akan dapat diketahui harga cetak totalnya serta per bilyetnya. Mengalikan 6,6 miliar bilyet dengan selisih harga Rp 42 sehingga menghasilkan angka ”pemborosan” Rp 277,2 miliar adalah logika yang keliru dan sesat. Perbandingan harga harus dilakukan secara apple to apple atau uang yang memiliki fitur dan desain yang serupa. Mata uang Malaysia tidak menggunakan tinta security OVI intaglio.
- Mengenai kedatangan mesin offset: ”Anehnya, semula Peruri dan Giori membantah adanya transaksi mesin offset pada 2005. ... dan—ini yang ajaib—mesin tiba 31 Desember 2005!” (hlm. 57).
Mesin yang kami pesan pada 2005 tersebut baru datang pada akhir Februari 2006 dan bukan pada 31 Desember 2005. Pengiriman mesin tidak mungkin dilakukan dalam tempo satu bulan. Pendapat kami sama dengan Tempo bahwa hal itu adalah ajaib jika memang terjadi. Opini Tempo ini menggiring publik pada opini bahwa Perum Peruri ’bermain’ terlebih dulu.
- Mengenai kegagalan Peruri mencetak uang di atas kertas Arjo Wiggins: ”Masih ada lagi pengalaman buruk berkaitan dengan order cetakan. Misalnya, dua tahun lalu, bank sentral membeli kertas uang dari Arjo Wiggins, produsen kertas uang dari Prancis untuk mencetak pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu...” (hlm. 67).
Kertas Arjo Wiggins untuk pecahan Rp 20.000 bergelombang, sampai dilakukan uji cetak sebanyak tiga kali dan masih tetap gagal produksi, sehingga dikembalikan. Uang kertas pecahan Rp 50.000 juga bergelombang sehingga terjadi hambatan produksi. Untuk uang Rp 50.000, tingkat kerusakan Arjo Wiggins lebih tinggi dibandingkan kertas dari pemasok lain. Namun, mengingat kerusakan dua kertas itu bisa digabung, total kerusakannya menjadi normal. Jadi, seolah-olah lancar.
- Mengenai penggunaan tinta Sicpa dan Batanta: ”Makanya, jangan heran jika Peruri selalu memilih tinta dari Sicpa Group,...” (hlm. 60).
Penggunaan tinta dari Sicpa tidak bisa dihindarkan jika tinta yang dibeli adalah tinta OVI. Karena Sicpa adalah pemegang paten tinta OVI, semua negara yang memproduksi uang dengan pengaman OVI harus membeli dari Sicpa. Untuk produksi uang di Peruri kami menggunakan tinta offset produksi Batanta dan hanya tinta OVI yang kami impor. Sedangkan untuk tinta intaglio, 90 persen dari SPS. Kuota itu merupakan komitmen usaha patungan antara Peruri (30 persen) dan Sicpa SA, Swiss.
- Mengenai penggabungan mesin Komori dan Giori di Giesecke & Devrient: ”Nah, Bank Indonesia sebagai konsumen mencoba mengecek alasan Peruri membeli mesin mahal itu. Beberapa pejabat bank sentral ini terbang ke pabrik Giesecke & Devrient di Jerman, Februari 2006...” (hlm. 59).
Dalam membeli mesin, Peruri melihat kebutuhan yang diperlukan, selain agar menjamin kelancaran proses, juga tuntutan desain yang akan dicetak Pada saat pejabat Peruri diikutsertakan oleh Bank Indonesia kala meninjau ke Pabrik G&D di Jerman pada 23 maret 2006, pabrik tersebut menggunakan mesin offset delapan warna dari Komori dan mesin intaglio buatan KBA Giori. Bank Indonesia menentukan bahwa desain cetak uang baru memakai 10 warna yang berbeda. Karena itu, kami membeli mesin offset 10 warna dari KBA Giori sesuai persyaratan BI (Mesin Komori hanya delapan warna).
- Mengenai perbedaan harga mesin KBA Giori yang dibeli oleh BEP dan Peruri: ”..., anehnya, pabrik uang Amerika Serikat, Bureau of Engraving and Printing, membeli mesin intaglio—spesifikasinya tidak terlalu berbeda—dengan harga 60 persen lebih murah...” (hlm. 24 dan 59).
Masalah harga jual KBA Giori untuk setiap negara, Peruri tidak punya wewenang untuk mengendalikannya. Tetapi Peruri berusaha mendapatkan benchmark harga ke Malaysia yang baru saja membeli mesin tersebut. Spesifikasi mesin yang dibeli oleh Peruri dengan BEP, meskipun sama-sama intaglio, pasti memiliki perbedaan kemampuan karena setiap mesin dibuat sesuai kebutuhan pembelinya. Jadi, kami sendiri yang menentukan syarat dan kemampuan apa saja yang harus ada di mesin tersebut dan ini dirahasiakan antara pembelian di negara satu dan yang lain.
- Mengenai biaya pengiriman mesin intaglio dengan pesawat: ”..., mesin terpaksa dikirim lewat udara ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Risikonya, ongkos kirim melonjak lebih dari Rp 11,5 miliar” (hlm. 58).
Itu sama sekali tidak benar. Pengiriman melalui pesawat adalah komitmen dari KBA Giori untuk bisa mendatangkan mesin tepat waktu dan biayanya bukan tanggungan kami.
- Juga, tidak benar kami hanya berbasa-basi dengan Komori dalam proses tender (Basa-basi untuk Komori, hlm. 58–61). Kami selalu terbuka dengan segala kemungkinan asalkan produknya sudah terbukti dan terjamin. Kami tidak akan berjudi karena risikonya sangat besar jika gagal. Komori kami libatkan justru agar mereka mengerti mengapa kami belum memilih mereka. Lagi pula, untuk mesin-mesin tertentu kami sudah menggunakan produk Komori dan UNO (Jepang) yang sudah terbukti berjalan baik. Namun, untuk mesin intaglio dan mesin tertentu, nanti dulu. Kami harus berhati-hati mengingat yang bertanggung jawab penuh atas kelancaran pencetakan uang pesanan BI adalah Peruri. PP 32/2006 menetapkan Peruri sebagai BUMN yang mencetak uang rupiah pesanan BI.. Tim teknis kami yang bekerja dan menilai. Jika saat ini kami belum menggunakan mesin Komori, bukan berarti tidak untuk seterusnya.
- Mengenai pernyataan bahwa Peruri harus diaudit oleh BPK: ”Dengan segepok keanehan tersebut, sudah selayaknya Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit komprehensif ...” (hlm. 24).
Silakan saja jika ada pihak yang menilai kami harus diaudit. BPK setiap tahun melakukan audit terhadap Perum Peruri. Kami bahkan mendapat predikat AAA yang artinya sangat sehat. Untuk urusan korporat, kami juga selalu terbuka. Untuk urusan cetak-mencetak uang, kompetensi Peruri tidak perlu diragukan dan setara dengan percetakan uang di dunia. Namun, aspek kerahasiaan adalah bagian penting yang melekat pada institusi pencetak uang di negara mana pun.
- Halaman 56: ”Awal 2004, Peruri berencana menambah satu lini mesin cetak uang….”
Sejak 1992–2006, Peruri tidak pernah berencana melakukan investasi satu lini mesin cetak, tapi hanya mampu membeli secara bertahap, yaitu satu mesin offset dan satu mesin numbering pada 2005, serta satu mesin intaglio dan satu mesin finishing pada 2006.
- Halaman 56: Direktur Logistik Peruri Marlan Arief menawarnya ketika Christopher J. Bradley, Direktur Giori, berkunjung ke Jakarta awal April 2005….”
Peruri meminta penawaran Super Simultan (mesin offset) secara resmi kepada KBA Giori 6 April 2005. KBA Giori menawarkan mesin tersebut pada 12 April 2005; pada 15 April 2005 KBA Giori menurunkan harganya. Pernyataan bahwa Marlan Arief melakukan penawaran adalah hal yang keliru, karena hal ini dilakukan oleh tim lelang.
Direksi PT Peruri Jalan Falatehan, Jakarta Selatan
—Terima kasih atas penjelasan Anda.
Hak Jawab R.P. Koesoemadinata
Pada majalah Tempo edisi 12–18 Maret 2007 tertulis: ”…Profesor R.P. Koesoemadinata, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia periode 1973–1975, misalnya, ada di pihak penentang teori mud volcano. Sebaliknya Ketua Umum IAGI Achmad Luthfi yang juga Deputi Perencanaan Badan Pelaksana Migas pendukung teori ini….”
Saya sudah tiga kali diwawancarai wartawan Tempo untuk kasus yang berbeda, dan setiap kali terbit, isinya lain dengan apa yang saya kemukakan. Wartawan yang bersangkutan mengatakan itu hak redaksi yang mahakuasa untuk menyunting/memotong, bahkan juga menafsirkan hasil wawancara itu. Kali ini saya memutuskan menggunakan hak jawab saya.
Sebetulnya saya diwawancarai oleh wartawan Tempo mengenai Surat Terbu-ka yang saya layangkan ke Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia mengenai keprihatinan saya atas penyelenggaraan International Geological Workshop on the Lusi Mudvolcano pada 20–21 Februari 2007. Selain sangat sepihak dalam pemilihan pembicaranya, juga kesimpulan yang dianggap kesepakatan sidang oleh panitia perumus sama sekali tidak sesuai dengan hasil pembahasan makalah pada sidang itu. Saya prihatin karena IAGI sebagai organisasi profesi telah mengabaikan kebenaran dan kaidah ilmiah demi kepentingan pihak tertentu.
Saya dikatakan sebagai penentang teori fenomena alam mudvolcano. Saya sebetulnya setuju saja bahwa semburan lumpur Sidoarjo adalah gejala mudvolcano, tetapi penyebabnya bukan gempa bumi Yogyakarta. Sangat mungkin hal itu terkait dengan kekhilafan pada pengeboran Banjar Panji-1. Pada workshop itu Prof. Mori dari Jepang menayangkan suatu grafik hubungan empiris antara mudvolcano dan gempa bumi di mana secara tegas terlihat (juga oleh wartawan Kompas) bahwa Lusi tidak mungkin disebabkan gempa Yogya.
Yang ingin melihat Surat Terbuka yang termaksud secara lengkap serta grafik dari Prof. Mori dipersilakan untuk membuka situs internet (blog) http://rovicky.wordpress.com.
Wassalam
R.P. Koesoemadinata Pensiunan Guru Besar Geologi ITB
—Terima kasih atas koreksi Anda-Red.
Mohon Klarifikasi
Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Depkeh dan HAM) Sulawesi Tengah mengeluarkan surat No. 10.26.HL 03-10-08 tertanggal 25 Januari 2007 tentang Pendataan Orang-orang Asing Pemukim yang Tidak Memiliki Dokumen Kewarganegaraan Republik Indonesia. Oleh Kelurahan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, surat itu ditindaklanjuti dengan mengundang semua warga negara keturunan Tionghoa melalui surat No. 472/59/KL tertanggal 13 Maret 2007 (surat terlampir).
Dalam surat undangan disebutkan ”Mengundang warga masyarakat keturunan asing di wilayah kelurahan Luwuk, baik yang sudah maupun yang belum memiliki dokumen dan diharuskan membawa fotokopi dokumen data kewarganegaraan (SBKRI). Anehnya, teman-teman saya sesama warga keturunan yang bermukim di kelurahan lain dalam wilayah Kecamatan Luwuk tidak mendapat undangan yang sama dari lurah mereka. Jadi, hanya warga negara keturunan Tionghoa yang bermukim di Kelurahan Luwuk saja yang notabene mayoritas pengusaha yang diundang dan diharuskan membawa fotokopi SBKRI.
Jadi, apa sebenarnya definisi Orang Asing Pemukim yang dimaksud dalam surat Kanwil Depkeh dan HAM Sulawesi Tengah? Jika untuk keperluan pendataan, kenapa tidak mendatangi seluruh rumah warga negara dari keturunan apa pun agar tidak terkesan diskriminatif? Sampai ge-nerasi keberapa keturunan Tionghoa masih disebut warga negara keturunan asing dan diharuskan membawa-bawa SBKRI nenek moyangnya? Bukankah hal ini sudah diakhiri dengan disahkannya Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru pada Juli 2006? Lalu, kenapa masih saja ada pelanggaran di lapangan dengan segala dalih? Mohon klarifikasi dari Depkeh dan HAM Republik Indonesia atau Kanwil di Sulawesi Tengah.
Nama & alamat pada Redaksi
Daftar Isi Tempo Salah
Kalau dicermati, Tempo edisi 03/XXXVI/12–18 Maret 2007 ternyata banyak mengalami kesalahan perihal letak halaman. Misalnya, rubrik ”Bahasa” di halaman 72 ternyata dihuni ”Buku”. Sementara rubrik ”Buku” halaman 52 diisi ”Kriminalitas”. Rubrik ”Catatan Pinggir” disebutkan di pagina 122, ternyata belum minggir karena masih ada halaman 130. Untuk rubrik ”Film”, konon, di kaca 42, sejatinya yang ngendon di sana ”Nasional”.
Yang mengherankan sekali, rubrik ”Fotografi” dan ”Hiburan” di halaman yang sama, yakni 78. Umpek-umpekan, dong? Tak tahunya digunakan untuk ”Inforial”. Rubrik ”Ilmu dan Teknologi” di muka 40, sesungguhnya dipakai ”Nasional” yang untuk edisi ini memakan halaman yang panjang. Untuk laporan rubrik ”Internasional”, kalau Anda ingin menikmati jangan dibuka halaman 106, karena dimanfaatkan rubrik ”Ekonomi dan Bisnis”. Ini adalah sekadar contoh tulisan-tulisan yang salah letak halaman. Semoga Tempo tidak berbuat salah lagi pada edisi-edisi mendatang.
SUPRIBADI Pustakawan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta 55584
Yusril dan Hamid kok Tidak Diusut
DUA edisi berturut-turut Tempo membuat laporan utama tentang duit Tommy Soeharto di Bank Paribas dan keterlibat-an dua menteri kabinet SBY, yaitu Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin dalam kasus pencairan dana yang dicurigai hasil perbuatan korupsi itu.
Yang pertama, saya ingin mengucapkan salut kepada majalah Tempo yang telah mengungkap—satu lagi—kasus perselingkuhan para pejabat tinggi negara dengan para pengusaha. Saya yakin pekerjaan jurnalistik investigasi seperti yang dilakukan Tempo memerlukan kerja keras untuk menembus berbagai sumber informasi, mencari dokumen, meriset data dan bahkan memaksa para pihak yang terlibat untuk buka mulut. Hasilnya, luar biasa! Saya sebagai masyarakat umum semakin yakin betapa busuknya tingkah laku para pejabat tinggi kita. Dan ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus korupsi-kolusi lain yang bertebaran di negeri ini.
Yang kedua, saya ingin mengungkapkan keheranan. Mengapa untuk kasus kriminal sebesar ini—dan sangat kasat mata—Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai atasan dari dua menteri itu tidak bertin-dak apa-apa? Mengapa Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada berdiam diri? Mengapa Dewan Perwakilan Rakyat sebagai peng-awas pemerintah juga malah ”tenang-tenang saja”? Saya curiga ada perselingkuhan politik tingkat tinggi dibalik semua ini.
Kalau sudah begini, siapa lagi yang masih percaya pada pemerintahan SBY-JK. Janji-janji pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan hanyalah bualan kosong dari para pembohong besar.
INDRAwan H.S. Cihanjuang, Bandung
Tidak Perlu Curiga Berlebihan
Draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden yang masih dalam proses penyusunan oleh Departemen Dalam Negeri di antaranya berisi ketentuan seorang calon presiden minimal sarjana pada Pemilu 2009. Draf itu mendapat reaksi keras para politisi. Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Sutardjo Soerjogoeritno, misalnya, menyebutkan, calon presiden jangan hanya dilihat soal pendidikan, tetapi dukungan rakyat. Seorang presiden bergelar doktor sekalipun tidak ada guna bila mempunyai sifat peragu.
Sebenarnya RUU tersebut saat ini masih dalam tahap proses penyusunan dan pembahasan oleh satu tim, serta sedang menggali pendapat dan masukan dari masyarakat dan para ahli. Kenyataannya, rancangan itu tidak mendapat masukan positif, melainkan komentar-komentar miring yang sangat negatif. Bahkan timbul curiga berlebihan dari sejumlah politisi terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ada yang mengaitkan hal itu sebagai upaya SBY menjegal dan menghalangi lawan-lawan politiknya yang tidak bergelar sarjana dalam Pemilu 2009.
Presiden SBY sendiri melalui juru bicara kepresidenan menyatakan draf RUU itu belum pernah disampaikan kepadanya. Presiden tak pernah berpikir untuk mengubah persyaratan pendidikan bagi calon presiden sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23/2003, apalagi menghalangi seseorang untuk ikut bursa pencalonan pada Pemilu 2009. Sebab itu, seharusnya para politikus tidak bereaksi berlebihan terhadap draf tersebut.
MUSTOFA Jalan Benda Nomor 12, Jakarta Selatan
RALAT:
- Pada halaman sampul Tempo edisi 19–25 Maret terdapat kesalahan judul. Tertulis, ”Peran Pak Menteri dalam pencairan uang US$ 90 juta milik Tommy Soeharto”. Yang benar, ”Peran Pak Menteri dalam pencairan uang hampir US$ 10,96 juta milik Tommy Soeharto.”
- Pada rubrik Ekonomi dan Bisnis, Tempo edisi 19-25 Maret 2007, berjudul ”Mesin Fulus Taipan Sjamsul”, halaman 99, tertulis: ”…kepemilikan saham Liem Mei Kim (putri Sjamsul) dan Michelle Liem Mei Fung, 5 persen (lewat Nuri Holdings Ltd.)….” Seharusnya: ”…kepemilikan saham Liem Mei Kim (putri Sjamsul) dan Michelle Liem Mei Fung 45,55 persen (lewat Nuri Holdings Ltd.)….”
Mohon maaf atas kesalahan ini—
Redaksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo