Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

4 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kembalikan Ahmad Bakrie Award

Penduduk Porong di Sidoarjo, Jawa Timur, tak pernah bermimpi tanah tempat mereka hidup akan digenangi lumpur panas yang dihasilkan Lapindo Brantas Inc., yang saham mayoritasnya dimiliki Grup Bakrie. Kerusakan lingkungan yang paling buruk tahun ini telah terjadi. Belum usai penanganan penduduk korban lumpur panas, Grup Bakrie menjual sahamnya di Lapindo Brantas Inc. kepada Freehold Group yang berpusat di British Virgin Island.

Sejak perjanjian jual-beli itu, semua aset dan kewajiban Lapindo Brantas per 14 November 2006 dinyatakan menjadi milik Freehold. Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, yang juga salah seorang pemilik Grup Bakrie, menyatakan pemindahan kepemilikan Lapindo tak menghilangkan tanggung jawab pihak penjual.

Kemudian, saluran pipa gas milik Pertamina yang terbenam di dekat sumber lumpur meledak dan menewaskan 11 orang. Hanya beberapa jam setelah ledakan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan lumpur Lapindo sebagai bencana. Untuk itu, negara harus mulai ikut memikirkannya.

Semua peristiwa itu melengkapi upaya Grup Bakrie untuk melepaskan kasus lumpur panas Porong dari tanggung jawab mereka dan menjadikan kasus ini sebagaimana yang disebut Presiden Yudhoyono sebagai bencana. Konsekuensinya, penanganan kasus lumpur Porong menjadi tanggung jawab pemerintah dengan menggunakan uang rakyat.

Meskipun semua proses jual-beli itu merupakan proses yang legal, semua prinsip moral sudah dilanggar keluarga Bakrie sebagai pemilik Grup Bakrie. Sangat disayangkan, pelanggaran moral ini dilakukan oleh keluarga Bakrie yang punya reputasi bagus membangun tradisi dengan memberi penghargaan tahunan Ahmad Bakrie Award kepada intelektual dan budayawan.

Maka, kami, Komunitas Segokucing, mendukung semua intelektual dan budayawan yang pernah menerima penghargaan tahunan Ahmad Bakrie Award untuk segera mengembalikan penghargaan itu. Sebagai intelektual dan budayawan, Anda tidak pantas ikut melukai perasaan penduduk Porong.

Atas nama Komunitas Segokucing BAMBANG ANTONIUS SUMARLEY RAIHUL FADJRI


Bukan Osteogenesis yang Pertama

Saya hanya ingin menambahkan informasi tentang Osteogenesis Imperfecta (OI) di rubrik Kesehatan Tempo edisi 20-26 November 2006. Kasus di Medan itu bukan yang pertama, dan setahu saya cukup banyak pasien sejenis yang dirawat di RSCM dan St. Carolus, Jakarta.

Osteogenesis juga menimpa keponakan saya (laki-laki, kini berusia 6 tahun). Ayah-ibunya berbeda suku, dua kakak dan satu adiknya semua normal. Hampir tiap bulan ia mengalami patah tulang paha (femur).

Dengan mengerahkan segenap daya, sejak usia satu tahun, setiap dua bulan sekali, keponakan saya ini mondar-mandir Tenggarong (Kalimantan Timur)-Jakarta untuk pengobatan dan injeksi obat di RSCM. Lalu, pada Oktober 2005 dilakukan operasi (rodding surgery) di Surabaya untuk mengatasi kekerapan patahnya.

Syukurlah, hasilnya sudah menunjukkan perbaikan. Keponakan saya tidak mengalami patah tulang lagi, dan sekarang sudah menjalani terapi untuk berjalan dengan bantuan penyangga dan walker. Sekarang, dia menjadi murid kelas satu Sekolah Dasar.

MAYA ISKANDAR Jalan Simpang Taman Agung No. 31Malang


Jangan Curigai Pemantau Asing

Saat ini sekitar 30 orang tim pemantau dari Uni Eropa (European Union Election Observation Mission) ada di Banda Aceh. Mereka ditempatkan ke seluruh kabupaten/kota untuk memantau tahapan-tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) Aceh. Selain Uni Eropa, lembaga pemantau asing seperti IRI dan ANFREL juga berencana mengirimkan relawannya untuk memantau pilkada di Aceh.

Keterlibatan pemantauan asing itu membuktikan bahwa pemerintah begitu transparan dalam pelaksanaan pilkada di Aceh. Kehadiran mereka bukan berarti masyarakat internasional belum percaya kepada pemerintah Indonesia, melainkan karena kegiatan itu memang butuh pengamat independen dari luar. Tujuannya agar pemilihan langsung yang pertama di Aceh itu dapat berlangsung lebih adil dan jujur. Hal itu diharapkan dapat memuaskan berbagai pihak, baik GAM, masyarakat Aceh, maupun pemerintah. Selain itu, kemungkinan potensi konflik yang terjadi dapat dihindari.

Berkaitan dengan itu, masyarakat di Aceh tak perlu curiga dengan kehadiran para pemantau asing, sebab hal itu merupakan sebuah proses awal dari sebuah demokrasi. Setiap elemen masyarakat di Aceh harus saling membangun kepercayaan, terutama dalam mematuhi segala kesepakatan dalam proses pemilihan langsung tersebut. Selain itu, semua komponen masyarakat Aceh tetap berkomitmen untuk melaksanakan pemilihan secara aman dan damai, sesuai dengan amanat nota kesepahaman damai yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

SUPRIANTO Jalan Pekayon No. 38 Ragunan, Jakarta Selatan


Salut Sampul Depan Tempo

Senang bercampur sedikit geli manakala kita melihat kulit muka Tempo edisi 13-19 November 2006 bertajuk ”Duet SBY-JK: Bersama Kok Tak Bisa”. Tidak perlu buang-buang energi, orang dengan gampang menebak siapa gerangan tokoh yang dimaksud. Keduanya adalah orang pertama dan kedua di republik tercinta ini.

Mereka telah melakukan pekerjaan besar untuk menunaikan tugas negara yang dikonotasikan dengan menggarap sebuah rel kereta api. Pembuatan rel tersebut dimulai dari garis start yang berbeda. Hasilnya, rel dari arah yang berbeda itu tidak pernah gathuk. Hal itu merupakan penggambaran yang sangat jitu manakala di sebuah negeri yang bernama Indonesia dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang kurang kompak.

Padahal, seharusnya keduanya seiring sejalan, seperti kata-kata syair lagu Cinta karya Mbak Titiek Puspa: ”ke gurun ikut, ke kutub engkau turut, bersama kita berdua....” Kira-kira begitulah gambaran kolaborasi yang solid. Jangan yang satu ngalor (ke utara), yang lainnya ngidul (ke selatan).

SUPRIBADI Pustakawan Universitas Islam IndonesiaKaliurang KM 14,5, Yogyakarta


Studi Banding DPR Mengecewakan

Penyakit akut anggota DPR RI rupanya belum sembuh yakni kebiasaan melakukan kunjungan kerja atau studi banding ke negeri orang. Penyakit itu kambuh lagi pada akhir tahun ini. Meski kecaman dari masyarakat muncul, hal itu tidak menyurutkan niat sejumlah wakil rakyat untuk melakukan studi banding ke luar negeri.

Jalan-jalan dengan kedok studi banding oleh anggota Dewan merupakan suatu kekeliruan. Cara-cara semacam itu tidak efektif, tetapi para wakil rakyat tersebut selalu mencari-cari alasan untuk berapologi. Seharusnya, mereka punya sense of crisis.

Kita bisa menilai bahwa perilaku anggota Dewan itu teramat mengecewakan hati masyarakat. Di saat masyarakat diimpit kepedihan dan kesulitan ekonomi, para wakil rakyat malah pergi ke luar negeri dengan menghabiskan uang ratusan juta rupiah. Rupanya, tidak terbersit di hati mereka bahwa masyarakat miskin sangat membutuhkan bantuan dana. Masalah pengentasan kemiskinan dan rendahnya anggaran pendidikan masih perlu mendapat perhatian serius.

Dalam dunia multimedia saat ini, studi banding dapat dilakukan tanpa harus pergi ke luar negeri. Yang penting, para konseptor kebijakan itu tidak malas. Data-data yang dibutuhkan bisa di akses lewat internet. Itu mestinya cukup. Jika butuh penjelasan lebih lanjut, bisa memanfaatkan perwakilan negara di sana. Dengan demikian, dana ngelencer bisa dialokasikan untuk agenda pembangunan ke depan.

DRS. RYAN TRIKORA Jalan Kutilang Raya No. 119, Depok


Amadeus Cafe Mengecewakan

Pada Jumat, 10 November 2006, sekitar pukul 21.00 WIB, saya bersama dua orang teman ke Amadeus Café di Setiabudi Building, Jakarta. Kami memesan beberapa jenis minuman dan makanan kecil. Menjelang pukul 22.00 WIB, kami minta bon kepada waitress dengan jumlah total tagihan sebesar Rp 313.071.

Awalnya, kami berniat membayar menggunakan kartu ATM Niaga saya (No. 4760 8500 303114XX atas nama Desy Adiati), yang juga berfungsi sebagai kartu debet. Setelah menunggu lebih dari lima menit, waitress yang melayani kami akhirnya datang. Ia mengatakan kartu tersebut tidak bisa dipakai karena kerusakan mesin. Hal yang sama terjadi pada kartu kredit Citibank milik teman saya (No. 4541 7900 4101 72XX atas nama Brahmantya P.) Akhirnya, kami membayar dalam bentuk tunai dan meninggalkan Amadeus Cafe.

Menjelang keluar dari Setiabudi Building, persisnya di depan Starbucks Coffee, saya berhenti di ATM Niaga untuk mengambil uang tunai. Alangkah terkejutnya saya saat mendapati saldo tabungan saya telah berkurang Rp 1.878.426. Belum paham benar dengan apa yang terjadi, saya memutuskan naik taksi dan pulang. Di tengah jalan, saya menelepon ke phone banking Niaga dan memastikan bahwa saldo saya memang berkurang sejumlah tersebut di atas. Ternyata benar!

Tiba-tiba, saya ingat tentang kerusakan mesin yang dilaporkan oleh waitress ketika mencoba menggunakan kartu ATM untuk membayar. Lantas saya menelepon Amadeus Cafe. Saya berbicara dengan Saudari Teti dan menjelaskan masalah yang saya alami. Saya minta dia memeriksa apakah ada masalah ketika mencoba melakukan otorisasi. Setelah melakukan pengecekan ke Lippobank—Amadeus Cafe adalah merchant-nya. Benar terbukti terjadi pendebetan pada rekening saya sebanyak 6 x Rp 313.071 (besarnya jumlah tagihan). Jadi, kartu saya total terdebet Rp 1.878.426.

Pada saat yang sama, teman saya juga datang kembali ke Amadeus Cafe untuk melaporkan ihwal kartu kreditnya yang juga terdebet. Malam itu juga kami mendapatkan janji dari pihak Amadeus Café, dalam hal ini Saudari Teti, bahwa hal itu akan diselesaikan pada Senin. Ia menyatakan, jumlah uang yang terdebet akan ditransfer kembali ke rekening saya dan teman saya. Dia mengaku sudah lapor ke Lippobank, baik melalui telepon maupun faks. Teti juga minta nomor dari kartu-kartu kami dan meminta kami untuk menelepon ke Lippobank (nomor 021-5460345) untuk mengecek keesokan harinya.

Pada Sabtu, 11 November 2006, saya menelepon Lippobank (Pak Denny) dan mendapat jawaban bahwa pihak Lippo belum menerima pengaduan apa pun dari Amadeus Cafe tentang masalah saya. Mereka malah minta pihak Amadeus Cafe menelepon Lippo. Dalam hal ini, saya tak menyalahkan Lippobank karena memang yang menjadi merchant adalah Amadeus Cafe, bukan saya. Jadi, Amadeus Cafelah yang seharusnya menghubungi Lippobank, bukan saya.

Sampai detik ini, uang kami belum juga kembali. Kami meragukan itikad baik dari Amadeus Cafe. Bahkan mereka mencoba cuci tangan dengan meminta kami yang menelepon sendiri ke Lippobank, hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Permasalahan terjadi karena kerusakan mesin mereka, bukan karena kesalahan kartu-kartu kami, juga bukan karena kesalahan Lippobank. Jadi, mereka yang seharusnya menyelesaikan masalah ini sampai tuntas.

Sungguh mengecewakan pelayanan dan perlakuan dari Amadeus Cafe. Kami berharap orang lain lebih berhati-hati saat ke kafe ini. Rasanya Amadeus Cafe tidak layak menyandang julukan recommended restaurant di Jakarta.

DESY ADIATI Jalan Merpati I/46 Pesanggrahan, Jakarta


Walikota Bandung Tidak Konsisten

Saya sangat tidak setuju terhadap Wali Kota Bandung Dada Rosada yang akan memberikan Izin Operasional Hotel Planet di Bandung, karena hotel tersebut masih bermasalah. Surat Izin Membangun yang dimiliki hanya membolehkan hotel membangun 4 lantai, tetapi dilanggar terang-terangan menjadi 6 lantai. Lalu, setelah disegelpun pihak manajemen hotel Planet tidak menggubris perintah Pemerintah Kota Bandung untuk memangkas 2 lantai bangunan hotel yang tidak berizin.

Lalu, mengapa sekarang ujug-ujug Wali Kota Bandung ’berbaik hati’ mengeluarkan izin operasional kembali bagi hotel itu? Ini yang mengherankan. Ibarat menjilat ludah sendiri, tindakan Dada Rosada mencoreng kewibawaan Pemerintah Kota Bandung. Wali Kota telah memberi contoh buruk terhadap penegakan peraturan.

DADANG MULYANA. Margahayu, Bandung


Jeritan Pemilik Kios ITC Mangga Dua

Pada 2003, saya membeli sebuah kios di ITC Mangga Dua, Jakarta, yang tanah milik bersamanya berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Ternyata, saat akan diperpanjang HGB-nya, tanah tersebut berstatus HGB di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Saya kaget, kenapa bisa begini? Sebab, saya membeli melalui dua Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang jelas-jelas kepanjangan tangan dari pemerintah.

PPAT menyatakan sertifikat saya HGB, bukan HGB di atas HPL, sebab pada saat transaksi pengalihan nama, saya tidak membayar apa pun kepada pemilik tanah (Pemda DKI). Jika HGB di atas HPL, saya harus membayar retribusi pada Pemda DKI. Selain itu, tidak ada data/keterangan yang menunjukkan HGB di atas HPL, baik di dalam sertifikat maupun akta jual beli saya. Jadi, sertifikat saya hak tanah milik bersama adalah HGB murni.

Sekarang, saya dipaksa untuk mengakui status kios tersebut HGB di atas HPL dan diancam harus memperpanjang HGB di atas HPL ini paling lambat 31 Oktober 2006. HGB tersebut jatuh tempo pada 17 Juli 2008. Jika telat membayar, saya didenda Rp 100 ribu per hari (edaran denda terlampir).

Saat ini, saya seperti makan buah simalakama. Jika saya perpanjang, maka saya kehilangan hak tanah milik bersama, sebab statusnya berubah menjadi tanah sewa bersama. Kalau tidak diperpanjang, saya diancam denda yang akan membengkak setiap hari. Denda itu lebih hebat daripada rentenir, sebab telat sebulan saja didenda Rp 3 juta. Padahal, nilai perpanjangan HGB di atas HPL hanya Rp 3 jutaan. Bahkan untuk HGB murni hanya sekitar Rp 200 ribuan.

Apakah cara ini digunakan Pengembang PT Duta Pertiwi Tbk. untuk cepat-cepat lepas tangan terhadap kasus HGB ITC Mangga Dua melalui kaki tangannya di Perhimpunan Penghuni ITC Mangga Dua? Sebab, jika membayar berarti saya mengakui status tanah HGB di atas HPL.

Tolong Pejabat BPN memberikan jawaban soal masalah ini. Adakah pejabat pemerintah yang mau membantu untuk menyelesaikan kasus saya secara cepat? Sebab, saya dengar kasus seperti ini bisa selesai sekitar 3-5 tahun. Saya orang awam dan tidak mengerti proses hukum.

Pemikiran saya: bukti sertifikat dan pernyataan PPAT sudah menunjukkan bahwa kasus ini penipuan terhadap saya, dan jika diproses, paling lama 2-3 bulan sudah selesai. Apakah benar pemikiran saya ini? Saya sudah melaporkan kasus ini ke Polda dan sudah dibuatkan berita acara pemeriksaannya.

Kali ini saya berhadapan dengan perusahaan besar, yaitu PT Duta Pertiwi Tbk., anak perusahaan raksasa Sinar Mas Group. Apakah mata pencaharian perusahaan ini adalah berbohong dan menipu? Adakah cara untuk memperoleh hak saya kembali, yaitu hak atas tanah milik bersama HGB murni, bukan HGB di atas HPL?

ASENG Kios ITC Mangga Dua, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus