Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI sudah lama tenggelam saat Rokhmin Dahuri, 48 tahun, keluar dari salah satu ruang di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis pekan lampau. Sudah 10 jam ia ada di dalamnya, menjawab semua pertanyaan dari penyidik. Walau letih, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004 itu tak bisa segera pulang ke rumahnya di Bogor. Mobil Kijang silver sudah menunggunya. Itulah mobil tahanan KPK yang mengantar Rokhmin ke peraduan barunya di tahanan Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polisi.
Lelaki itu berusaha tegar. Meski mengaku kaget, ia melemparkan senyum di depan puluhan wartawan yang menunggunya sejak siang. ”Saya tidak merasa bersalah,” ujarnya.
Rokhmin menjadi menteri kedua di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang dijerat kasus korupsi. Sebelum ini, bekas Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar tersandung masalah korupsi Dana Abadi Umat. Kini, dosen teladan nasional tahun 1995 itu dijerat dengan kasus korupsi dana nonbujeter.
Dana nonbujeter adalah dana yang terkumpul dari kegiatan di luar lingkup yang tercantum dalam neraca anggaran negara. Pada masa Orde Baru, dana seperti ini berseliweran dan bebas digunakan—di antaranya dana nonbujeter Bulog yang dituduh dimanfaatkan oleh Ketua Partai Golkar Akbar Tandjung. Sekarang, penerima dana bisa dianggap melakukan korupsi.
Inilah yang menimpa Rokhmin. Menurut Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, kasus ini bermula dari pengumpulan dana taktis nonbujeter selama periode 18 April 2002 hingga 23 Maret 2005. Duit itu dikumpulkan dari potongan 1 persen anggaran departemen dan dana dekonsentrasi dari 30 provinsi, plus sumber-sumber lainnya.
Nilainya Rp 31,7 miliar, yang disimpan dalam dua rekening. Yang pertama untuk menampung dana yang berasal dari internal departemen, yaitu dari pemotongan anggaran. Besarnya Rp 12 miliar. Rekening kedua untuk duit dari luar departemen. Setoran dari para pengusaha bidang kelautan berada di rekening yang kedua.
Adanya pengumpulan dana ini dibenarkan oleh pengacara Rokhmin, Herman Kadir. Namun dia membantah jika dikatakan sumbernya berasal dari potongan dana departemen yang besarnya 1 persen. Yang benar, setoran itu berasal dari kantor departemen di daerah yang mengerjakan proyek kelautan. ”Nilainya hanya sekitar 0,25 persen dari total proyek,” kata Herman.
Bukti setoran-setoran itu pun, ujar Herman, tercatat di pembukuan Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Termasuk kuitansi penerimaannya. Dari yang ia lihat, setoran itu misalnya ada yang dari Jawa Timur Rp 85 juta, Jambi 20 juta.
Semua kuitansi penerimaan yang jumlahnya ratusan itu kini sudah ada di tangan KPK. Yang mengejutkan, sebagian besar penyetor tersebut ternyata dari luar Departemen Kelautan dan Perikanan, tepatnya para pengusaha. Agar dapat perlakuan khusus? ”Itu tak ada kaitannya dengan pemberian keistimewaan tertentu,” Herman menandaskan.
Dalam kaitan urusan penyetoran inilah bos Grup Artha Graha Tomy Winata dan Direktur PT Maritim Timur Jaya David Tjioe, Rabu pekan lalu, diperiksa KPK. PT Maritim adalah salah satu perusahaan milik Tomy yang bergerak di bidang kelautan yang beroperasi di Tual, Maluku Tenggara. Menurut sumber di KPK, Tomy diperiksa karena salah satu saksi menyebut dia ikut menyetor dana. ”Kami panggil dalam rangka klarifikasi,” kata Tumpak H. Panggabean.
Ada dua hal yang ditanyakan KPK kepada Tomy, yakni soal operasi perusahaannya di Tual dan setorannya ke Departemen Kelautan. Kepada Tempo yang mewawancarainya Jumat lalu, Rokhmin mengaku Tomy Winata adalah salah satu penyumbang pundi-pundi rekening nonbujeter Departemen Kelautan. Hanya, berapa jumlahnya, Rokhmin tak bisa menyebut. ”Saya tidak ingat,” ujarnya. Herman Kadir, yang mengaku melihat kuitansi dari para penyumbang, juga tutup mulut soal sumbangan Tomy. ”Saya no comment soal itu,” ujarnya.
Namun, Tomy, kepada wartawan yang menemuinya usai pemeriksaan, membantah adanya sumbangan itu. ”Tidak ada (aliran dana itu). Karena memang nggak ada, makanya angka tidak disebutkan,” kata Tomy.
Tak hanya pengumpulan dana secara tak sah yang dituduhkan ke Rokhmin. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) itu juga dituduh menggunakan dana itu untuk kepentingan pribadi. Menurut Tumpak, untuk soal yang ini KPK masih terus melakukan investigasi. ”Kami masih menyidik berapa besarnya,” ujar Tumpak.
Salah satu urusan pribadi Rokhmin yang disebut-sebut ”memakan” dana itu adalah pengukuhan anak nelayan dari Cirebon ini sebagai guru besar tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada Januari 2003. Acara itu memang diadakan besar-besaran. Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengundang Presiden Megawati dan menteri-menteri kabinet. Biayanya kabarnya Rp 300-an juta—15 kali lipat bujet pengukuhan guru besar lainnya.
Rokhmin menampik tuduhan bahwa ia menggunakan dana nonbujeter untuk kepentingan pribadi. Menurut dia, seluruh dana yang dikumpulkan digunakan untuk kepentingan departemen. ”Misalnya untuk nelayan, kepentingan sosial, membuat undang-undang.”
Pemungutan dana nonbujeter, ujar Rokhmin, lazim terjadi di semua departemen. Sifatnya juga sukarela. Jadi, ini bukan praktek baru. ”Semasa saya jadi dirjen, menterinya Sarwono Kusumaatmadja, praktek semacam ini terjadi,” kata dia.
Tapi, saat dimintai konfirmasi soal pernyataan Rokhmin ini, Sarwono Kusumaatmadja langsung membantah. ”Nonsense itu,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah dari DKI Jakarta yang juga bekas Menteri Lingkungan Hidup ini. Menurut dia, selama memimpin Departemen Kelautan dari 1999 sampai 2001, semua dana departemen dari APBN. ”Nggak ada dana nonbujeter, karena memang sudah tidak dibenarkan menggunakan dana itu. Dana nonbujeter itu inovasi Rokhmin,” kata Sarwono. Kalau sekarang Rokhmin diperiksa, kata Sarwono, ”Itu urusan dia, bukan saya.”
Betul, ini memang urusan Rokhmin seorang dan karena itulah pengacaranya, Herman Kadir, berang. Ia menuding KPK tebang pilih karena tak memeriksa Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini, Freddy Numberi. Padahal, berdasarkan data yang dimilikinya, pemungutan dana itu tetap berlanjut hingga Maret 2006.
Freddy, yang mulai memimpin departemen ini sejak Oktober 2004, punya jawaban. ”Waktu saya jadi menteri, saya katakan tidak boleh (meneruskan pungutan itu) karena menyalahi aturan,” kata Freddy. Kendati demikian, dia mengakui dana itu masih digunakan setelah pengumpulannya dihentikan.
Dalam kasus ini, bagi politisi PDI Perjuangan Ganjar Pranowo, kuat sekali nuansa politis dan tebang pilih. Ia lalu menyebut tiga kasus korupsi yang punya kesamaan: kasus bekas Menteri Agama Said Agil, bekas Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Theo F. Toemion, dan kini Rokhmin. Kesamaannya, ”Mereka adalah orang-orang Megawati.” Kedekatan Rokhmin dengan Megawati memang sudah lama tersiar.
Ganjar curiga kasus korupsi terhadap orang-orang yang dekat dengan Partai Banteng ini sekadar untuk menggertak. ”Mungkin karena kami sudah tiga kali ditawari untuk mengisi kursi menteri, tapi memilih jadi oposisi,” kata anggota Komisi Kelautan DPR itu.
Ia juga menunjukkan kuatnya nuansa tebang pilih setelah melihat korbannya hanya orang-orang di era pemerintahan Megawati. ”Kenapa yang dibidik hanya menteri-menteri kabinet Megawati, sedangkan pada masa Habibie dan Abdurrahman Wahid tidak?” kata dia. Padahal, kata Ganjar, praktek pengumpulan dana semacam itu mungkin saja terjadi di departemen lain.
Tumpak H. Panggabean menepis tudingan tebang pilih itu. Menurut dia, mereka memeriksa berdasar bukti yang ada. Sejak memeriksa kasus ini Agustus lalu, KPK terlebih dulu menahan bekas Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan, Andin H. Tartoyo. Setelah itu, baru melangkah ke Rokhmin. ”Kami menyidik karena ada dugaan tindak pidana korupsi sesuai bukti yang kami peroleh,” kata bekas jaksa ini.
Abdul Manan, Maria Hasugian, Tito Sianipar, Sutarto, Eworaswa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo