Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Ketua MPR Mengada-ada

PERNYATAAN Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nurwahid yang mengaitkan kemungkinan adanya unsur persaingan bisnis dalam peristiwa pengeboman di Bali untuk yang kedua kalinya saya nilai mengada-ada.

Tidak lazim, bahkan sulit diterima akal, jika dalam persaingan bisnis ada orang yang bersedia berkorban dengan bom bunuh diri, karena umumnya para pelaku di lapangan adalah kelompok yang mengharapkan bayaran/materi.

Kita semua pun tahu bahwa warga Bali sangat religius dan dari segi kultural sangat toleran, termasuk terhadap pendatang, sehingga nyaris belum pernah terjadi benturan antarkelompok, lebih-lebih dalam persaingan bisnis.

Saya yakin dan sependapat dengan Kapolda Banten Komisaris Besar Polisi Badrodin Haiti yang menyatakan bahwa sebagian pelaku berasal dari Banten dan berkaitan dengan pelaku peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia.

Lalu timbul pertanyaan, ada kaitan apa antara persaingan bisnis dan Kedubes Australia? Di era reformasi memang dibenarkan siapa pun untuk menyatakan pendapat atas suatu kejadian/masalah, tetapi dalam hal peristiwa di atas, hanya pernyataan resmi aparat keamanan yang paling sahih.

F.S. HARTONO Purwosari, Yogyakarta


Bersatu Melawan Terorisme

BANYAKNYA korban yang tidak berdosa pada setiap peledakan bom ternyata tak mampu menggugah rasa kemanusiaan pelaku untuk menghentikan aksi teror bom. Mereka buta terhadap penderitaan dan kesedihan keluarga korban yang umumnya adalah bangsa sendiri.

Kita bisa mengambil hikmah atau pelajaran dalam kasus-kasus peledakan bom di Indonesia, khususnya di Bali, yang kini menjadi lahan bagi aksi teroris, yakni rendahnya partisipasi masyarakat serta lemahnya perangkat hukum. Penanganan terorisme tak dapat dilakukan dengan perangkat kriminal biasa karena terorisme merupakan kejahatan luar biasa.

Saat ini masalahnya terpulang kepada semua komponen dalam masyarakat Indonesia untuk bersama-sama bersatu melawan aksi terorisme. Ini bisa dilakukan dengan mendukung langkah-langkah pemerintah melawan terorisme. Jadi, bukan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat menghambat upaya pemerintah melawan terorisme demi kepentingan pribadi atau kelompok serta golongan.

ERWIN GUNAWANVilla Kebun Raya Ciomas, Bogor


Korban ATM Bank Mega

PADA 4 September 2005, saya meminta suami untuk mengambil uang tabungan Bank Mega melalui ATM Bank Mandiri di depan Alfamart Perum Graha Indah. Digunakannya ATM Mandiri karena memang mereka bagian dari ATM Bersama. Seperti biasa, suami saya memasukkan PIN, kemudian masuk ke menu penarikan tunai dan memilih pengambilan Rp 300.000, lalu muncul di layar: "Mohon tunggu transaksi sedang diproses".

Setelah ditunggu beberapa saat uang tidak keluar, malah yang muncul kalimat, "maaf waktu habis". Karena merasa ada gangguan sistem, suami saya mencoba kembali dua kali pengambilan lagi, yaitu Rp 300.000 dan Rp 200.000, tapi dua transaksi terakhir juga mengalami hal yang sama dengan transaksi sebelumnya. Ketiga transaksi tersebut gagal dan uang tak bisa keluar.

Pada 5 September 2005 malam hari, saya menelepon Mega Call Center, menanyakan apakah ada pengurangan saldo rekening. Saya kaget bukan kepalang karena, katanya, saldo rekening saya sudah berkurang Rp 800.000. Seketika itu saya mengajukan keberatan lantaran tak serupiah pun uang bisa saya ambil dari ATM.

Petugas customer service menyarankan kepada saya agar pada 6 September datang saja ke kantor cabang. Pada 6 September saya datang bersama suami ke kantor cabang Bank Mega di Menara Kadin. Kami langsung dilayani oleh Saudari Dian. Saya kemudian disarankan mengisi formulir pengaduan. Selesai mengisi formulir dikatakan bahwa saya harus menunggu proses selama 14 hari kerja dan akan terus dikabari perkembangannya.

Seminggu kemudian, saya menelepon Bank Mega dan diberitahukan bahwa menurut Bank Mandiri transaksi saya valid. Langsung saya ajukan keberatan. Lagi-lagi, saya diminta menunggu 14 hari kerja karena, katanya, menunggu antrean charge back dari Bank Mandiri. Terakhir kali saya menelepon Bank Mega, tapi lagi-lagi saya diminta menunggu sampai 9 November 2005.

Demikiankah pelayanan Bank Mega? Saya hanya meminta uang saya dikembalikan. Tampaknya Bank Mega, yang dimiliki Group Para, tak punya standar penyelesaian kasus. Jikalau kasus seperti saya dialami banyak orang, wah, betapa banyak uang yang bisa dikelola oleh Bank Mega sebelum dikembalikan kepada pemilik rekening yang notabene adalah nasabahnya. Semoga manajemen Bank Mega melakukan pembenahan dan menindaklanjutinya.

AMALIA DIAN IRTANTIE Perum Garah Indah Blok D11/09 Jakamulya, Bekasi Selatan


Perlu Fatwa Pusat Bahasa

SEMAKIN banyak kata-kata asing kita masukkan ke dalam Bahasa Indonesia, semakin banyak hal-hal yang harus kita perhatikan dalam penggunaannya.

Berawal dari pemakaian suatu kata asing, yang tidak kita temukan padanannya dalam Bahasa Indonesia, berlanjut pada pengindonesiaan kata asing tersebut, kemudian mencapai puncak kerancuan pada saat kita perlu memberi imbuhan kepada kata asing tersebut, baik awalan, akhiran, maupun sisipan. Hal ini terjadi terutama pada kata asing yang terdiri dari hanya 1 (satu) suku kata, seperti blok, bom, bor, cek, pak, dan rem.

Contoh, selain kata blok, kita juga mengadopsi kata blokir. Bila kedua kata ini dijadikan kata benda, kita condong mengatakan pengeblokan, dan pemblokiran (bukan pemblokan atau pengeblokiran). Di sini kita melihat inkonsistensi yang berasal dari pengaruh bahasa daerah. Kerancuan ini akan berlanjut bila kita tidak segera kembali pada kaidah-kaidah Bahasa Indonesia yang baku.

Contoh lain, mengapa sekarang kita cenderung mengatakan pengeboman daripada pemboman? Padahal, dulu kita mengenal pesawat pembom B52, bukannya pesawat pengebom B52? Kita diajari bahwa di dalam Bahasa Indonesia tidak ada awalan penge? Dan tidak pula ada kata dasar ebom? Anehnya, kita lebih sering menyebut pesawat pembom daripada pesawat pengebom? Mana yang benar: "Amerika membom Nagasaki" atau "Amerika mengebom Nagasaki"? Sebaliknya kita selalu mengatakan "Nagasaki dibom oleh Amerika", bukan "Nagasaki diebom oleh Amerika".

Kenapa kita mengatakan "Pertamina melakukan pengeboran minyak di Cepu", tapi kita mengatakan "papan kayu itu dibor (bukan diebor) oleh Ayah"?

Kata setara cek (check) adalah ricek (recheck). Tapi kita condong untuk menyebut mengecek, pengecekan, tapi untuk ricek kita menyebut mericek, pericekan, bukannya mengericek dan pengericekan. Begitu pula dengan kata-kata mengepak, pengepakan (packing), tapi kita menyebut dipak (packed), bukannya diepak? Demikian pula kata rem (menghentikan kendaraan) dan mungkin masih banyak lagi kata-kata yang bisa membuat kita sendiri bingung.

Demi kejelasan dan penegakan disiplin dalam berbahasa Indonesia dengan baik, kita betul-betul memerlukan "fatwa" dari Pusat Bahasa Indonesia tentang hal ini. Kita ingat pepatah yang berbunyi "bahasa menunjukkan bangsa". Jangan sampai ada penafsiran bahwa, bahasa yang tidak konsisten menunjukkan bangsa yang tidak konsisten.

BACHRUL HAKIMKalibata, Jakarta Selatan


Dana Kompensasi BBM

SEJAK kenaikan harga bahan bakar minyak, dana kompensasi BBM untuk rakyat miskin telah dicairkan kepada masyarakat melalui kantor pos di wilayah masing-masing. Namun, hal ini masih menyisakan berbagai masalah. Misalnya, ada keluarga miskin yang belum terdata sebagai penerima dana kompensasi. Lantas ada pegawai negeri sipil yang mendapatkan dana kompensasi.

Tidak hanya itu, ada pula orang yang dikategorikan bukan penerima dana kompensasi BBM, tapi mendapatkan kartu miskin. Pokok dari semua permasalahan di atas adalah kesalahan dalam pendataan terhadap keluarga yang akan menerima dana kompensasi BBM.

Pemerintah meminta agar seluruh masyarakat, terutama masyarakat pers, membantu mengawasi penyaluran dana kompensasi BBM tersebut. Di hari pertama penerimaan dana kompensasi, diberitakan banyak orang yang berpakaian bagus serta membawa kendaraan bermotor ikut antre mengambil dana kompensasi. Situasi seperti di atas cukup membuat kita prihatin, karena seharusnya yang menerima dana kompensasi BBM adalah keluarga miskin yang sesuai dengan kriteria kemiskinan Badan Pusat Statistik.

Ada juga warga yang mengajukan protes akibat tidak menerima kartu kompensasi BBM, sementara tetangganya yang lebih berkecukupan dari segi ekonomi telah menerimanya. Ketidaktertiban seperti ini masih terlihat berkaitan dengan pendataan penerimaan dana kompensasi BBM. Dana kompensasi BBM itu untuk keluarga miskin dan bukan untuk keluarga yang dekat dengan panitia pendaftar keluarga miskin.

ARDIYANTIPasar Minggu, Jakarta Selatan


Menagih Janji Pemerintah

Pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan kebutuhan rakyat dijamin terpenuhi. Itulah sedikit di antara janji yang diucapkan untuk menarik simpati rakyat. Faktanya, setelah mereka menjadi penguasa, janji tidak terealisasi.

Rakyat menagih janji, penguasa tidak peduli. Buktinya, harga bahan bakar minyak naik menggencet ekonomi masyarakat kecil. Pendidikan tidak terjangkau, biaya kesehatan jadi mahal, dan rakyat kecil tidak mendapat fasilitas, sementara yang tidak terlalu miskin justru memperolehnya.

Pemerintah juga seperti tidak serius dalam menentukan arah kebijakan dalam negeri ini. Kebijakan terus berubah, membuat bingung masyarakat kecil ataupun pengusaha. Lihat saja undang-undang kita yang dasar dan tujuannya tidak jelas. Pelaksanaannya di lapangan pun sama tidak jelasnya.

Bukankah seharusnya mensejahterakan masyarakat adalah janji dan tugas utama pemerintah?

WARANEY RAWUNGJakarta


KRL AC, Kapan Nyaman?

KENAIKAN tarif kereta rel listrik AC yang akan diberlakukan mulai 13 Oktober 2005 bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebagai penumpang KRL AC Pondok Ranji-Sudirman, saya pun harap-harap cemas akan kenaikan tarif yang ternyata menjadi kenyataan ini.

Dengan naiknya tarif dari Rp 7.500 menjadi Rp 10 ribu, saya sangat berharap PT Kereta Api Indonesia meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Klise, memang, tapi saya sebagai anggota masyarakat sekaligus penumpang setia KRL tidak akan pernah bosan untuk menyampaikan hal ini ke PT KAI. Saya pun berharap PT KAI dapat secara bijak menanggapi saran yang masuk, jangan sampai sekadar masuk telinga kiri, keluar telinga kanan, hanya karena sudah terlalu sering menerima kritik yang sama.

Cukup banyak pekerjaan PT KAI yang harus diselesaikan. Jadwal yang jarang tepat (kalau tidak boleh dikatakan tidak pernah), keamanan dan keselamatan penumpang, penumpang yang tidak membeli karcis, AC yang sering mati, dan masih banyak lagi.

Saya rasa PT KAI sudah punya cukup data untuk melakukan perbaikan. Dari sisi jadwal, misalnya, KRL AC Sudirman-Serpong jadwal keberangkatan pukul 17.28 WIB tidak pernah bisa berangkat pada jam tersebut. Namun, tetap saja jadwal itu tidak direvisi. Apakah memang tidak ada keinginan PT KAI untuk mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat? Apakah PT KAI akan terus-menerus mengharapkan pengertian dari penumpang bahwa keterlambatan itu wajar? PT KAI harus segera bangun untuk memikirkan harapan-harapan masyarakat akan pelayanan yang selayaknya diberikan oleh PT KAI.

ERNYBintaro Jaya, Tangerang


Memindahkan Pusara Bung Hatta

Sumatera Barat merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Ini sudah lama diketahui oleh banyak orang, baik domestik maupun mancanegara. Ada wisata alam, wisata budaya, malah wisata religius-dan tidak ada wisata rohani?

Saya jadi ingat Bung Karno dan Bung Hatta. Dwitunggal yang fenomenal, yang sampai sekarang belum ada tandingannya. Bung karno sekarang telah beristirahat dengan tenang di tanah kelahirannya, Blitar, Jawa Timur. Sementara Bung Hatta di Tanah Kusir, Jakarta.

Sebagaimana pernah ditulis, meskipun Bung Karno sudah lama meninggal, sampai detik ini, setiap hari, beliau tetap memberikan harapan hidup kepada begitu banyak orang, khususnya warga Blitar, sebab setiap hari ada saja orang yang datang dari jauh untuk ziarah ke makam beliau. Orang yang datang butuh makanan, transportasi, kembang untuk ditabur di pusara. Malah ada yang memerlukan penginapan. Pokoknya, Bung Karno sudah meninggal pun masih tetap beramal.

Katanya inilah perbedaan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Semiskin-miskinnya orang Blitar, pernah ziarah ke makam Bung Karno. Tetapi sekaya-kayanya orang Bukitinggi, belum tentu bisa ziarah ke makam Bung Hatta.

SYAIFUL PANDU Jalan Nila No. 02 Blok A , Solok


Tidak Akurat

MEMBACA Liputan Khusus Tempo edisi 3-9 Oktober 2005, khususnya di bawah judul Emas di Hari Tua (hlm. 122-123), saya terkesima oleh narasi yang tidak menghiraukan akurasi. Di situ tertulis, "Ia Djoko Pekik, satu di antara lima pelukis nasional Lekra." Lalu disebutlah nama-nama Amrus Natalsya, Sanusi, Basuki Resobowo dan Wen Peor. Siapa Sanusi? Dan ke mana nama pelukis Lekra yang lain seperti Affandi, Hendra Gunawan, Trubus, Itjih Tarmizi, dan lain-lain, yang jauh lebih "nasional" daripada Djoko Pekik hingga 1965?

Tulisan itu juga menyebutkan, Djoko Pekik "mendapat perlakuan khusus", lalu dikaitkan dengan "pesan" Bung Karno kepada penguasa militer wilayah Yogya dan Kedu: " jangan sampai ada satu seniman Yogya pun yang berkurang." Kalau betul penguasa militer itu menaati pesan Bung Karno, mengapa pelukis Trubus, yang notabene sangat dekat dengan Bung Karno, hilang lenyap tak tentu kuburnya?

Pada bagian lain diceritakan pula: " Tahun lalu Sudjojono mengkhitan cucunya di rumah Pekik." Astagfirullah! Sudjojono kan sudah lama wafat? Yang betul adalah: Tejabayu mengkhitan anaknya di rumah Pekik, dan Tejabayu itu memang anak Sudjojono dari Mia Bustam. Jadi, yang dikhitan memang cucu Sudjojono (yang sudah lama wassalam).

Masih banyak, sebetulnya, hal-hal yang tidak akurat dalam Liputan Khusus itu, tapi yang paling penting, seyogianyalah majalah berita seperti Tempo, yang sudah berusia lebih dari 34 tahun, bisa menjadi teladan dalam akurasi dan kredibilitas berita. Semoga.

H. Chairuddin HarunsyahJalan Taman Bougenville VII/3Lippo Cikarang 17550

-Terima kasih atas koreksi dan kritik Anda. -Red


RALAT

Tempo No. 31 (26 September-2 Oktober), pada rubrik Selingan: Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan, pada halaman 70 kolom 2 ada kesalahan yang sangat mengganggu. Kol. CPM (Purn.) H. Djalaluddin Pane tertulis telah meninggal. Ternyata yang bersangkutan hingga kini masih hidup dan sehat walafiat. Kami mohon maaf kepada Bapak H. Djalaluddin Pane dan pembaca.

Pada Opini Tempo No. 33 (10-16 Oktober 2005) yang berjudul Bersihkan MA, Sekarang Juga tertulis beberapa kesalahan penyebutan nama Bagir Manan menjadi Magir Manan. Untuk kesalahan itu, kami mohon maaf. -Red

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus