Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreksi dari Arsip Nasional
Kami ucapkan terima kasih atas dimuatnya berita tentang Penyelamatan Dokumen Pertanahan di Badan Pertahanan Banda Aceh di majalah Tempo edisi 21-27 Maret 2005 dengan judul ?Menyelamatkan Dokumen dari Lumpur Tsunami?, halaman 54 dan 55. Kami menyampaikan koreksi mengenai penulisan nama Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) adalah Drs Djoko Utomo MA. Sedangkan tertulis adalah M. Asichin SH Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
DRS. M. TAUFIKKepala Bagian Humas Arsip Nasional Republik Indonesia
Guntarto, bukan Gunarto
Tempo edisi 20 Maret 2005 hlm. 141 (boks: Tayangan di Wilayah Abu-abu) memuat hasil wawancara wartawan Tempo dengan saya. Perlu saya sampaikan koreksi bahwa nama saya adalah Guntarto, bukan Gunarto. Saya bukan Ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, melainkan Kepala Kajian Anak dan Media pada YKAI.
Kemudian saya tidak pernah mengatakan bahwa saya setuju atau di majalah itu dikatakan ?bertahan? pada penelitian Dr Leonard Eron dan seterusnya.
B. GUNTARTOKepala Kajian Anak dan Media YKAI.
--Mohon maaf atas ketidaktelitian kami, dan sekaligus surat di atas sebagai koreksi. Terima kasih. Red.
Ukrida Tidak Etis
ADA hal-hal tidak benar menyangkut pribadi saya dalam surat pembaca berjudul ?Prihatin terhadap Situasi di Ukrida? (Tempo, 20 Februari 2005) dan ?Penjelasan dari Ukrida? (Tempo, 6 Maret 2005). Pertama, adalah sangat tidak benar ?pergantian Dekan Fakultas Kedokteran Ukrida dilakukan karena jabatan dekan lowong sejak 30 September 2004.? Dalam pemilihan dekan tanggal 21 Juli 2003 yang terdiri dari empat orang calon, saya telah terpilih kembali dan hal ini telah disahkan oleh Senat FK Ukrida.
Ini berarti dengan sah pula saya bisa memangku jabatan dekan untuk periode kedua dari 1 Oktober 2003?30 September 2007. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60/1999 Pasal 47 yang berbunyi ?Masa Jabatan Dekan dan Pembantu Dekan adalah 4 (empat) tahun? dan ?Dekan dan Pembantu Dekan dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.? Dalam hal ini, Ukrida, sebagai perguruan tinggi swasta, telah melanggar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
Kedua, Ukrida melakukan hal yang sangat tidak etis, karena mereka telah mengangkat dekan baru, sewaktu saya berada di luar negeri. Hingga kini, tak ada serah-terima jabatan seperti layaknya pergantian jabatan yang beradab.
Ketiga, bahkan dalam newsletter Ukrida, ada diumumkan bahwa saya ?telah berdamai dan masalah telah selesai? dengan tanda tangan pengacara Ukrida dan juga pengacara saya. Sayangnya, entah mengapa, pengacara yang menandatangani hal ?berdamai? itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya. Perlu saja jelaskan di sini bahwa saya tidak ada niat untuk berdamai dalam mencari kebenaran. Kecuali kalau ?berdamai? itu diartikan dengan kekuasaan dan kekayaan. Entahlah.
Tulisan singkat ini sekadar menyadarkan masyarakat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang langka di republik ini.
DR. FRITS A. KAKIAILATUJalan Farmasi 3 Jakarta
Kenaikan BBM (1)
SAAT ini ramai perdebatan pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Rakyat mengeluh, mahasiswa berorasi, para pakar mengkajinya, dan anggota DPR RI bermaksud menggunakan hak interpelasinya.
Penentang kenaikan BBM kini makin variatif lagi. Tidak saja para mahasiswa, tetapi tidak ketinggalan kalangan perempuan, ibu-ibu, ikut menanggapi kenaikan BBM. Pro dan kontra dalam menanggapi kenaikan BBM adalah suatu kewajaran dalam kehidupan demokrasi, pro dan kontra senantiasa selalu silih berganti dalam menanggapi keadaan yang berubah sama halnya dengan BBM ini.
Presiden telah berkali-kali melakukan ?sidak? ke pasar-pasar. SBY menyatakan: kami tidak tuli dan buta apa yang dirasakan rakyat. Artinya, ia senantiasa merespons perkembangan fenomena yang selalu berubah. Sesungguhnya masyarakat tidak keberatan dengan kenaikan BBM ini, namun mereka meragukan kemampuan pengaturan dan pengawasan implikasi dampak dari kenaikan BBM ini. Seperti kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak berimbang dengan kenaikan BBM sehingga daya beli masyarakat pun turun.
Ada beberapa hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah untuk menekan dampak akibat kenaikan harga BBM, di antaranya melakukan pengawasan secara ketat terhadap penyaluran hasil pengurangan subsidi BBM, serta menjamin tersedianya kebutuhan BBM di masyarakat, termasuk dengan menindak segala pelaku penyelundupan BBM.
Keputusan politik menaikkan harga BBM selalu menghasilkan efek domino bagi persoalan sosial-ekonomi lainnya. Setiap kenaikan BBM selalu diikuti kenaikan harga, khususnya sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat. Di lain pihak, kenaikan BBM juga kerap dijadikan isu politik, baik di parlemen maupun aksi jalanan lewat demonstrasi.
ERWIN GUNAWANCiomas, Bogor
Kenaikan BBM (2)
KEMUNGKINAN besar kebijakan pemerintah menaikkan bahan bakar minyak (BBM) bisa diterima DPR. Setidaknya karena tujuan pemerintah menaikkan harga BBM justru untuk meringankan beban rakyat. Itu disampaikan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie di Jakarta (15/3).
Sejauh ini sikap fraksi-fraksi terhadap kenaikan BBM ?terbelah?. Beberapa fraksi menyatakan menolak, seperti FPDIP, FKB, dan FPDS, sedangkan FPAN, FPPP, FFBR justru tidak tegas menyatakan menolak. Sementara itu FPartai Golkar, FPD, FBPD menyatakan mendukung.
Meskipun terdapat penolakan, baik dari masyarakat maupun dari fraksi-fraksi DPR, penolakan itu bisa saja berubah di saat pemerintah mampu meyakinkan DPR mengenai tujuan pemerintah menaikkan harga BBM yang mulai berlaku sejak 1 Maret 2005, sehingga kebijakan pemerintah dapat diterima.
Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dengan menaikkan harga BBM ini diikuti dengan dana kompensasi BBM, sehingga masyarakat paling miskin pun mendapat keringanan dari kebijakan itu, seperti adanya beras murah dan program kesehatan gratis, pembangunan sekolah yang rusak, beasiswa sampai pada pembangunan di desa-desa tertinggal.
Namun, pemerintah juga mengakui bahwa masyarakat level menengah akan merasakan dampak dari kenaikan BBM tersebut, sehingga tujuan pemerintah dalam menaikkan BBM sebenarnya tidak perlu ditolak. Yang penting adalah bagaimana mengawasi pelaku ekonomi dalam memanfaatkan momentum dengan naiknya BBM. Pengawasan seharusnya lebih diarahkan pada pedagang yang nakal, seperti pedagang yang sering menimbun minyak untuk keperluan rakyat, menimbun sembako, menaikkan tarif angkutan umum, sehingga manfaat kenaikan BBM ini benar-benar dapat dirasakan oleh rakyat miskin sekalipun.
Dalam membahas soal ini, rapat-rapat di DPR terlihat berjalan alot dan diwarnai dengan aksi demo di depan gedung DPR dan di beberapa daerah. Namun, menurut saya, semua akan menerima kebijakan pemerintah, karena salah satu alasan pemerintah adalah keuangan negara yang defisit akibat naiknya bahan bakar minyak dunia. Apalagi tertundanya kenaikan BBM seharusnya sudah berjalan sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
YANIZ H.Z.Kramat Jati, Jakarta Timur
Mengawasi SPBU Nakal
PERTAMINA akan mencabut izin kerja sama retail BBM dengan SPBU yang nakal karena melakukan pengoplosan. Kemudian Pertamina akan membawa kasus ini ke pengadilan. Kepala Humas Unit Pemasaran III Jakarta M. Awi Adil menyatakan, masyarakat dapat membantu mengawasi tindakan pengedarannya di SPBU dengan ikut memberikan informasi kepada Pertamina.
Menyambut ajakan Pertaminan, yang cukup kewalahan mengawasi sekitar 900 unit SPBU di wilayah Jabotabek, saya yakin banyak warga masyarakat yang berkeinginan membantu asal Pertamina bersedia memberikan alat/sarana untuk pengawasan itu, agar pelanggaran tera meter maupun pengoplosan dapat segera diketahui.
Misalnya, untuk tera meter Pertaminan bisa menjual jeriken-jeriken yang telah sah ditera oleh Pertamina dengan ukuran 5, 10, dan 20 meter. Dengan jeriken ini warga diperkenankan mengisi di SPBU dan SPBU tidak berhak menolaknya. Jika kaca pencatatan menunjukkan lebih dari 20 liter untuk mengisi satu jeriken ukuran 20 liter, langsung dapat diketahui penyimpangan pada tera meter tersebut. Selama ini konsumen hanya bisa menduga, misalnya, mengapa mengisi 30 liter di tangki mobilnya, kok belum mencapai setengah dari isi tangki, padahal menurut spesifikasi mobil itu, tangki penuh adalah enam puluh liter.
Jadi, dengan adanya hak setiap warga untuk mengisi BBM dengan jeriken yang dikeluarkan Pertamina, yang akan menjadi satu-satunya acuan dalam penentuan volume BBM yang telah dikucurkan oleh SPBU itu, akan sulit dan riskan bagi SPBU untuk merekayasa tera meternya demi keuntungan sepihak. Patut dipikirkan bahwa selain pencabutan izin, SPBU nakal itu bisa dihukum dengan sejumlah denda uang karena selama ini telah menjual BBM tidak sesuai dengan jumlah yang mestinya diterima konsumen.
Demikian pula soal pengoplosan, Pertaminan dapat menjual contoh standar kualitas solar yang murni dan tidak tercampur minyak tanah sehingga dengan contoh standar solar tersebut, konsumen dapat membedakannya dengan solar yang dijual SPBU. Sekali lagi, kuncinya adalah melibatkan secara nyata/bukan retorika keterlibatan publik dan tidak memonopoli pengawasan.
H. WISDARMANTOPasar Minggu, Jakarta
Arogansi Petugas PLN
PADA Senin 28 Februari 2005 sekitar jam 09.00 WIB datang seorang petugas PLN ke rumah saya. Kebetulan pada saat itu istri saya ada di rumah. Petugas tersebut dengan kasar telah menghardik istri saya dan mengancam akan mencabut aliran listrik karena belum dibayar. Bahkan dengan nada arogan petugas tersebut mengatakan bahwa bagi PLN kehilangan seorang pelanggan tidak ada artinya sama sekali.
Persoalannya, apakah PLN memang memberikan penugasan kepada petugas lapangannya untuk melakukan intimidasi secara psikologis kepada istri saya? Apakah manajemen PLN memberikan pengertian kepada petugasnya bahwa PLN bisa eksis tanpa adanya pelanggan?
Mencermati kejadian yang saya alami, ada baiknya pemerintah mengkaji ulang keberadaan PLN sebagai pemegang monopoli pasokan listrik. Karena dengan adanya kompetitor, PLN akan berusaha mendewasakan diri dan memposisikan diri sebagai produsen. Dimana sebagai produsen, PLN akan berusaha memberikan produk yang baik dan layanan yang baik kepada pelanggan.
BAMBANG EKOBumi Serpong DamaiTangerang
Anggota DPR Minta Naik Gaji
KINI berkembang wacana di kalangan anggota DPR yang menuntut kenaikan gaji Rp 10?15 juta per bulan. Saya percaya, tidak semua anggota DPR setuju akan wacana yang berkembang yang, katanya, akan dibahas lebih lanjut dalam Rapat Badan Urusan Rumah Tangga DPR.
Saya pribadi mengharapkan wacana ini dibuka secara transparan sehingga publik mengetahui siapa saja anggota DPR yang meminta kenaikan mulai dari Rp 100 ribu sampai Rp 15 juta dan siapa saja yang menolak.
Percayalah, kendati dililit kesulitan hidup, rakyat masih bisa mengikuti wacana ?kenaikan gaji DPR? ini, walau untuk itu harus meminjam koran atau dari menonton televisi di rumah tetangga.
J. FIDE ANGGIKalideres, Jakarta Barat
Menteri Keuangan Lepas Tangan dalam Soal Telkom?
SEJAK Juli 2002, sebagian besar pensiunan PT Telkom yang berjumlah sekitar 21 ribu orang merasa diperlakukan tidak adil dalam penerimaan uang pensiunan bulanannya (istilah sekarang: Manfaat Pensiun atau MP).
Mereka telah melakukan berbagai upaya menuntut keadilan dan penyesuaian MP yang wajar kepada Direksi Telkom. Masalahnya berawal ketika Direksi Telkom melakukan perubahan Peraturan Dana Pensiun (PDP) Telkom dengan Keputusan Nomor KD.81/PS.950/SDM-30/2002 tanggal 27 Desember 2002.
Secara ringkas inti persoalannya adalah dengan PDP tersebut telah terjadi tiga kelompok pensiunan yang rumus perhitungan penerimaan MP-nya berbeda. Akibatnya, MP bulanan untuk (pensiunan terdahulu) dibanding dengan kelompok 3 (pensiun sejak 1 Juli 2002) berbeda sangat menyolok.
Dengan ?tarif? yang berbeda, kelompok 3 menerima MP sebesar tiga sampai empat kali lipat daripada kelompok 1 dan 2. Sebagai gambaran perbedaannya, para mantan pejabat tinggi Telkom yang pensiun masuk kelompok 1 atau 2, MP-nya jauh lebih rendah dibanding dengan MP pensiunan eks staf terendah yang masuk kelompok 3. Apalagi kalau dibandingkan dengan eks pejabat selevel, hanya sepertiga atau seperempatnya. Logis kalau kondisi demikian telah menimbulkan kesenjangan dan keresahan bagi khususnya pensiunan kelompok 1 dan 2.
Memang, Direksi Telkom sempat menanggapi bahwa perbedaan pengaturan tersebut adalah hak dan wewenang direksi dengan pertimbangan adanya kenaikan iuran bulanan peserta aktif (karyawan/ti calon pensiunan kelompok 3) yang semula 3,5 persen dari Penghasilan Dasar Pensiun (PhDP) menjadi 7,5 persen dari PhDP, sehingga untuk mereka ketika pensiun akan menerima MP lebih besar daripada kelompok pensiunan terdahulu yang sudah stop iuran.
Sepintas dapat dipahami namun secara perhitungan aktuaria, nilai konstribusi iuran dari peserta aktif tersebut walau tetap hanya porsi kecil dibandingkan dengan iuran tambahan pendiri yang harus ditanggung oleh Telkom. Iuran tambahan Telkom tersebut sedemikian besarnya dengan skala triliunan rupiah akibat pengaturan rumus penerimaan MP kelompok 3 yang dinaikkan berlipat ganda mencapai 200 persen dan tidak linier dengan persentase kenaikan iuran dari peserta aktif.
Memang secara finansial Telkom mampu tapi justru dana yang keluar dari saku Telkom tersebut yang hanya diperuntukkan untuk kelompok 3, dinilai oleh kelompok 1 dan 2 sebagai pengaturan yang tidak proporsional, diskriminatif dan mengabaikan persamaan hak bagi sesama peserta program Dapentel yang notabene sesama eks karyawan Telkom.
Sejauh ini upaya yang ditujukan kepada Direksi Telkom belum juga tampak membuahkan solusi yang diharapkan. Bahkan PDP terbaru dengan KD 16/2004 tanggal 18 Maret 2004 yang memperbarui KD 81/2002, aspirasi dari pensiunan kelompok 1 dan 2 selama hampir tiga tahun ini terkesan kuat diabaikan.
Atas kondisi demikian, wajar bila memicu proses lain yang ditempuh di antaranya oleh Pengurus Persatuan Pensiunan Telkom (PP2TEL) Wilayah V?Jabar dan Banten yang mengajukan surat kepada Menteri Keuangan RI. Intinya meminta peninjauan ulang atas pengesahan oleh Menteri Keuangan dan koreksi/perbaikan PDP Telkom tersebut yang ternyata pada implementasinya telah berdampak ketidakadilan, diskriminasi, dan beberapa ketidaksesuaian dengan ketentuan yang berlaku.
Namun tanggapan dari Menkeu cq Dirjen Lembaga Keuangan dengan suratnya Nomor S-360/LK/2005 tanggal 11 Februari 2005, intinya sekadar argumen masalah kewenangan dan pertimbangan pengesahan oleh Menkeu yang semata berdasarkan justifikasi dari Telkom. Untuk substansi persoalan lainnya yang diajukan oleh PP2TEL, tampaknya ?no comment?, tidak diberikan tanggapan tindak lanjutnya.
Timbul pertanyaan apakah bijak Menkeu beserta jajarannya yang memiliki wewenang sebagai pemerintah, regulator ataupun investor/pemilik saham Telkom mayoritas menanggapi masalah yang dilaporkan dan aspirasi puluhan ribu jiwa pensiunan Telkom beserta keluarganya, dengan reaksi yang terkesan hanya cuci tangan dan tutup mata?
H. IMAM SUJOTOPensunan TelkomArcamanik, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo