Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang Duduk di Atas Sampah

Perupa Amerika Serikat mendaur ulang sampah menjadi karya seni rupa lingkungan. Seniman yang menjadi aktivis sosial.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang lelaki melonggarkan cekikan dasinya sembari melempar jas hitam ke atas kursi panjang yang terlihat empuk dan nyaman. Ia seharian bekerja sebagai eksekutif di satu perusahaan multinasional yang memproduksi berbagai produk kebutuhan rumah tangga. Wajahnya terlihat lelah dan ia pun segera menghenyakkan tubuhnya ke atas kursi itu. Tak lama ia terlelap dalam dekapan kenyamanan kursi yang didesain dengan ukuran yang tak biasa.

Mungkin itulah imajinasi liar Ann Wizer, 53 tahun, saat ia menciptakan kursi itu. Bentuknya sebagaimana kursi yang mengisi ruang tamu masyarakat kelas menengah atas pada umumnya. Tapi orang bisa meluruskan kaki sepanjang yang ia inginkan di alas duduk, karena ukurannya melebihi ukuran kursi normal. Ada hal lain lagi yang tak biasa. Kursi itu terkesan empuk bukan karena dilapisi dengan karet busa tebal, melainkan berupa tumpukan guntingan sampah kemasan (polypropylene) produk kebutuhan sehari-hari semisal deterjen cair, minyak goreng, pasta gigi dan pelembut pakaian yang dihasilkan perusahaan yang dipimpin oleh sang eksekutif.

Celakanya, sang eksekutif hanya mau memproduksi sampah, tapi ogah mendaur ulang sampah yang mereka hasilkan. Padahal ada 80 ribu ton kemasan plastik yang diproduksi setiap tahun di Indonesia. "Mereka tak peduli," ujar Ann Wizer. Justru pemulung, penyandang tunarungu, dan penduduk miskin kota lainnya yang suntuk mengais di tempat pembuangan sampah, mencucinya, menggunting dengan cermat menjadi sayatan-sayatan selebar 2 milimeter, dan menjahit menjadi lembaran yang lebih lebar. Jadilah kursi sebagai karya seni rupa lingkungan yang kemudian diusung Ann Wizer ke ruang pamer Rumah Seni Cemeti dalam pameran bertajuk "soapopera" sepanjang 8 Maret hingga 27 Maret.

Kursi berikutnya berjudul Executive Decision . Permukaannya dilapisi plastik transparan sehingga mempertontonkan warna-warni guntingan polypropylene hasil keringat pemulung. Ann Wizer menegaskan sinismenya dengan menambahkan sepasang sepatu hitam yang belepotan krim berwarna, bak gambaran moralitas sosial sang eksekutif yang menjijikkan.

Kursi pada karya Ann Wizer tak sekadar kursi. Semua kursi itu didesain untuk satu orang, dan orang yang pantas duduk di situ adalah seorang yang menggenggam kekuasaan, semacam eksekutif produsen sampah tadi. Maka, ketika Ann Wizer menyoal sampah lewat proyek sosialnya XS Project sejak 2002 untuk membuat produk baru dari sampah, 'kursi' itu bergeming. "Mereka tak ingin terlibat dengan urusan semacam ini," kata Ann Wizer, sarjana seni rupa lulusan Maryland Institute College of Art, Amerika Serikat.

Sejak itu Ann Wizer tak hanya sekadar seorang perupa yang punya sensitivitas sosial, tapi ia juga seorang aktivis sosial yang rajin mendatangi eksekutif perusahaan yang menyumbang puluhan ribu ton sampah setiap bulan. Ia tak jera menerima empasan pintu ketika menyodorkan proposal untuk mendukung kegiatan XS Project menanggulangi sampah ke 50 pabrik, perusahaan, dan lembaga penyandang dana. Bahkan Ann Wizer harus menghadapi somasi dari satu perusahaan Jerman penghasil minuman ringan karena tak rela sampah kemasan produknya dimanfaatkan Ann Wizer sebagai tas. "Ini tragis, tapi saya akan terus berusaha mendapat dukungan," katanya.

Aksi Ann Wizer merupakan kecenderungan mutakhir seni rupa kontemporer dengan munculnya kelompok artist initiative yang menggarap proyek sosial lewat medium seni rupa. Perupa tak cuma suntuk dengan imajinasi artistik, tapi terlibat langsung mengadvokasi masalah sosial bersama aktivis sosial. Tak mengherankan bila pameran karya Ann Wizer ini berbeda dengan pameran seni rupa biasa. Selain menampilkan kursi yang terkesan steril dan mewah?meski terbuat dari sampah?Ann Wizer menempelkan sederet teks yang berkisah tentang proyek sosialnya sembari memprovokasi penonton untuk melakukan sesuatu terhadap sampah.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus