Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rabu dua pekan lalu menjadi hari penting bagi warga Matari Inc. Hari itu mereka merayakan ulang tahun Ken Sudarto yang ke-63. Dialah pendiri sekaligus pemimpin biro iklan terkemuka ini. Tak dinyana, di tengah-tengah acara, bos mereka yang bernama lengkap Kenneth Tjahjady Sudarto itu mengumumkan pengunduran dirinya.
Perasaan kehilangan segera menyergap. Tak cuma dirasakan oleh warga Matari tapi juga kalangan periklanan Indonesia. Selama hampir 35 tahun nama Ken seakan tak bisa dipisahkan dari bisnis periklanan. Ia dikenal sebagai peretas jalan dunia periklanan yang pada awal 1970-an masih bagaikan rimba belantara. Dengan gagasan-gagasan yang kreatif dan inovatif, saat itu Ken menyongsong gerakan kampanye periklanan di surat kabar.
Kebetulan sejak masih duduk di bangku SMP dan SMA ia menyukai dan terlibat dalam penerbitan majalah sekolah. "Saya senang membuat layout dan mengarang," ujarnya. Kelebihan lain adalah kemampuannya yang baik dalam berbahasa Inggris dan Belanda.
Selepas SMA, ia masuk jurusan publisistik, yang ketika itu masih menjadi bagian Fakultas Hukum Universitas Indonesia. "Tapi saya juga mendapat kesempatan kuliah di Fakultas Ekonomi UI," kata penggemar musik klasik dan pop ini.
Pada 1971 ia mendirikan Matari, yang dimulai dari garasi sebuah rumah di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Waktu itu karyawannya cuma tiga orang: satu desainer, satu pembantu umum, dan satu pesuruh kantor. Usahanya mengalir seperti air. Klien pertamanya adalah Astra. Beberapa bulan berselang ia mendapat Toyota, Fuji, Xerox, dan Honda.
Tiga puluh empat tahun kemudian, karyawannya telah membengkak lebih dari 300 orang. Dan kantornya telah berpindah ke gedung mentereng di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Matari Inc. kini disebut-sebut sebagai biro iklan paling lengkap di Indonesia.
Perusahaan itu memiliki studio foto, amphi-theater, studio rekaman modern, perpustakaan, dan fasilitas komputer. "Perpustakaannya merupakan salah satu yang terbaik. Semua bahan periklanan tersimpan di sana," kata ahli manajemen pemasaran Rhenald Kasali. Kliennya sekarang tak kurang dari 30 perusahaan besar, antara lain Konimex, Singapore Airlines, Multi Bintang, dan Daihatsu.
Ken dikenal hangat dan sederhana dalam memimpin perusahaan. Tak cuma bicara, ia memberikan contoh-contoh kesederhanaan, misalnya dalam berpakaian. Hal itu membuat karyawannya segan berpakaian lebih keren dan mewah ketimbang sang bos.
Walau menekankan kesederhanaan, Ken bukan orang yang kikir. Ia tak segan membayar mahal orang agar mendapat hasil kerja yang bagus. "Dia paham ungkapan: If you give peanuts, you get monkeys," kata Rhenald.
Kenyamanan dan kebersamaan merupakan suasana yang selalu ia pupuk di kantor. Sejak masih berkantor di garasi, Ken selalu mengajak karyawan makan siang bersama. Setelah berkantor di gedung mentereng dan semua karyawan mendapat uang makan, manajemen tetap mengundang karyawan untuk makan siang bersama. "Biar uang makan yang mereka terima bisa ditabung," ujarnya.
Ken menyadari perusahaan membutuhkan karyawan yang loyal. Tapi ia tahu pula kesetiaan tak bisa dibeli. "Karyawan akan loyal kalau kita memberikan perhatian pada mereka," katanya. Maka, bila pergi ke luar negeri, ia menyempatkan membeli oleh-oleh untuk karyawannya. Demikian pula bila ada karyawan berulang tahun, ia memberikan hadiah. Hal itu membuat suasana kerja penuh persahabatan dan persaudaraan.
Bagi praktisi periklanan, Ken dipandang menjadi pionir bukan hanya dalam pemasaran produk dan citra perusahaan, tapi juga untuk pemasaran sosial dan politik. Dialah praktisi periklanan pertama yang terjun mengkampanyekan pentingnya perlindungan terumbu karang. Belakangan Matari terjun mengemas kampanye politisi yang ingin menjadi bupati atau gubernur. Perusahaan ini juga memberikan pelatihan bagi petugas hubungan masyarakat beberapa pemerintahan daerah, langkah yang lantas diikuti biro iklan lain.
Kenlah orang di balik penerapan electronic government di kampung asalnya, Kebumen, Jawa Tengah. Berkat kedekatan dengan Rustriningsih, sang bupati, ia pun membenahi kemampuan petugas hubungan masyarakat di pemerintah setempat. Sekarang Pemerintah Kebumen memiliki terbitan bernama Surat dari Bupati. Kini Kebumen juga punya radio FM, TV lokal, pustaka foto, film, dan video tentang Kebumen serta press center untuk kegiatan wartawan.
Dengan semua instrumen itu, kepopuleran Bupati Rustriningsih pun terdongkrak. Itu menjadi modal sang bupati untuk maju dalam pemilihan kepala daerah secara langsung yang akan digelar dalam waktu dekat. "Saya menjadi tim suksesnya, kami membuat kaus dengan slogan Terus, artinya Tetap Rustriningsih," kata Ken, yang gemar melahap tempe mendoan, sayur lodeh, dan jajanan pasar.
Rhenald mengakui Ken orang yang senang menjelajahi hal baru. Bila perlu, dia kerjakan dulu tanpa memikirkan biayanya. Jika sedang asyik dengan "mainan" baru, ia tak segan menggelar rapat-rapat sampai larut malam. "Dia sangat menghargai pengetahuan, benar-benar memiliki darah seorang pengiklan," katanya kagum.
Bersama beberapa praktisi periklanan lain, dia juga merintis penerbitan majalah Cakram. "Sebetulnya itu proyek rugi, tapi bermanfaat untuk menumbuhkan industri periklanan," ujar Rhenald. Atas dedikasinya, tahun lalu Ken mendapat anugerah Darmanyata Pariwara. Penghargaan atas capaian kalahayat itu biasa diberikan kepada pelaku, pengusaha, atau profesional periklanan.
Namun perjalanan Ken dengan Matari-nya tak selalu mulus. Beberapa kali Matari terantuk sandungan keuangan, bahkan nyaris bangkrut. Semua lantaran Ken tak cermat mengatur keuangan perusahaan.
Ia, misalnya, pernah berutang kiri-kanan untuk ekspansi usaha. Ternyata usaha barunya gagal. Pada awal krisis ekonomi, Matari secara teoretis bahkan telah bangkrut. Nilai hartanya sudah lebih rendah ketimbang utangnya. Tapi, berkat bantuan sejumlah klien dan sahabat, ia berhasil membawa Matari menghindar dari kesulitan.
Ditemui pekan lalu di rumahnya yang megah dan asri di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Ken menjelaskan ihwal pengunduran dirinya. Kepalanya terlihat hampir pelontos tanpa rambut akibat kemoterapi. Tapi penampilannya tampak sehat dengan senyum hangat tak lepas wajahnya. Tubuhnya tak terlihat gemuk, juga tidak kurus. "Saya melakukan diet dan bermeditasi," ujarnya menjelaskan rahasianya tampil segar.
Pada akhir 2003, dalam acara rapat kerja paripurna perusahaan, ia sebenarnya pernah menyatakan akan mundur dari kegiatan operasional dan akan berfokus pada kerja sosial. Tak disangka, sebulan kemudian dokter mendiagnosis ia terkena kanker limfoma di tulang sumsum.
Ken langsung berobat dan delapan bulan kemudian dinyatakan sembuh. Tapi, pada akhir September 2004, saat melakukan pemeriksaan kesehatan, ada tanda-tanda mencurigakan di usus. Setelah diperiksa, ternyata ada sel-sel kanker tahap awal.
Akhirnya perutnya disodet 35 sentimeter dan ususnya dipotong 20 sentimeter. Namun sebulan kemudian muncul benjolan di pinggang dan tangan. Ternyata kanker limfomanya kambuh lagi. Ken terpaksa menjalani kemoterapi dan perawatan di Singapura.
Ketika mengetahui Ken sakit parah, banyak orang terperanjat. Seluruh keluarga dan direksi Matari datang menjenguk. "Saat itu saya seperti godfather di film-film yang menghadapi saat akhir, lalu timbang terima kepada generasi berikutnya," katanya sambil tersenyum.
Toh, Ken mengaku saat sakit merupakan waktu yang tepat untuk lengser. Dan ia tak khawatir dengan perkembangan perusahaan karena telah menyiapkan tim inti untuk alih generasi. Pada 16 Maret lalu, ia mengulang keputusan mengundurkan diri itu di hadapan seluruh karyawan. "Kebetulan saya bisa hadir di antara mereka," ujarnya.
Untuk kegiatan sosial, bersama pimpinan perusahaan ia mendirikan perusahaan baru bernama Yayasan Matari Karya Bakti. Ia ingin mengembalikan sebagian rezeki yang telah diterima kepada masyarakat. Yayasan itu akan membantu yayasan lain dalam membuat program komunikasi, brosur, pelatihan, dan iklan layanan masyarakat tanpa bayar.
Selama sakit dan harus bolak-balik ke Singapura, otaknya tetap berputar. Muncul ilham untuk menerbitkan majalah Matari Health News and Directory. Pemicunya lantaran banyak handai taulan membutuhkan informasi pelayanan kesehatan yang canggih. Berbekal kerja sama dengan sejumlah rumah sakit di Negeri Singa, ia berencana segera menerbitkan majalah tersebut di Indonesia.
Keinginan lain adalah menerbitkan buku sejarah periklanan Indonesia, dengan Matari sebagai salah satu pemeran utamanya. Buku itu sedang ditulis oleh Bondan Winarno, dan rencananya selesai tahun ini.
Masih banyak impiannya. Dia juga ingin membangun museum periklanan. Di sana bisa disimpan peralatan cetak kuno milik Matari. Terakhir, "Saya ingin pula mendirikan sekolah tentang periklanan." Semoga Ken masih dikaruniai banyak kesempatan untuk mewujudkan semua cita-cita itu.
Nugroho Dewanto, Eni Saeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo