Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Golkar dan Kampanye Anti-KKN (1)

SETELAH membaca TEMPO Edisi 29 Maret-4 april 2004, rubrik Nasional, halaman 38, berjudul Siapa Koruptor yang Dituding Surya?, saya ingin berkomentar. Saya berkesimpulan bahwa dalam persaingan peserta konvensi presiden dalam Partai Golkar, Akbar Tandjung banyak menggunakan kapasitasnya sebagai ketua umum dengan otoriter. Seperti pada kampanye Golkar di Pekanbaru, Riau, 11 Maret lalu, saya dengar dari berita di sebuah radio di Jakarta, baik Surya Paloh maupun Akbar Tandjung mendapat jatah waktu yang sama untuk berorasi. Tapi, dengan kapasitasnya sebagai ketua umum, Akbar menghabiskan waktu untuk berorasi itu sendirian sehingga Surya Paloh hanya mendapat sisa waktu lima menit.

Menurut saya, tema yang dipakai Surya Paloh, yaitu anti-korupsi dengan dimulai dari diri sendiri (Golkar), itu tidak salah dan bukan kampanye negatif buat Golkar. Dengan mengakui adanya korupsi dalam tubuh partainya sendiri, Surya Paloh menunjukkan keseriusan niatnya untuk membasmi segala korupsi, termasuk yang ada di partainya sendiri. Bagaimana Golkar bisa membersihkan korupsi di Indonesia kalau dia tidak mau memulai dari tubuhnya sendiri? Padahal, diakui atau tidak, korupsi sudah merajalela di Indonesia, termasuk di dalam Golkar. Jadi, kampanye Surya Paloh tidak negatif karena dia menunjukkan bahwa Golkar mau berubah dan serius untuk membersihkan korupsi, baik di dalam partainya maupun di luar partainya.

Dengan kapasitasnya sebagai ketua umum, Akbar Tandjung membuat Surya Paloh mendapat teguran dari Badan Pengendali Pemenangan Pemilu Golkar. Kalau memang Akbar Tandjung bersih dari korupsi, buat apa dia merasa tersindir? Apalagi keputusan pengadilan sudah memenangkan Akbar Tandjung. Juga pada kasus Prabowo, ia sudah meminta slot iklan pada Badan Pengendali, tapi tidak pernah ditanggapi karena iklan hanya khusus hak untuk Akbar Tandjung. Bukankah ini tidak adil?

Kesimpulannya, Akbar Tandjung sudah bisa berbuat tidak adil terhadap para pesaingnya di konvensi Golkar, padahal mereka masih berada di partai yang sama, Golkar. Dari sini sudah terlihat ketidakjujuran Akbar Tandjung. Saya harap presiden yang sangat kita harapkan melalui pemilu kali ini bukan calon presiden yang tidak jujur seperti ini. Bila dengan kawan satu partainya saja (bukankah seharusnya mereka adalah kawan/rekan?) dia bisa berbuat tidak jujur dan tidak adil seperti ini, apalah artinya rakyat kecil seperti kita ini di matanya? Maukah dia bersikap jujur dan adil kepada kita, rakyat kecil, yang dia sama sekali tidak kenal, sedangkan terhadap rekan-rekan satu partainya saja dia sudah tidak adil? Bisakah dia memimpin negara Indonesia tercinta ini? Sebagai ketua umum sebuah partai saja, dia sudah tidak memimpin dengan adil dan jujur. Saya harap kawan-kawan sebangsa bisa sama-sama membayangkan bagaimana negara kita ini bila dipimpin oleh orang semacam itu, dan saya yakin kita semua ingin pemimpin yang jujur dan adil yang bisa memimpin dan menyejahterakan negara dan rakyat Indonesia ini.

BOY UTAMA
Jalan Kayu Putih I No. B5
Pulogadung, Jakarta Timur


Golkar dan Kampanye Anti-KKN (2)

HUBUNGAN antara para peserta konvensi calon presiden dari Partai Golkar kini mulai memanas. Dalam pekan terakhir, ada kesan bahwa beberapa peserta konvensi terlibat dalam perang pernyataan di media massa, khususnya setelah calon presiden peserta konvensi, Surya Paloh dan Prabowo Subianto, mendapat teguran dari DPP Partai Golkar. Keduanya mendapat teguran dari DPP partai berlambang pohon beringin itu karena mereka dianggap melanggar aturan yang ditetapkan. Surya Paloh ditegur karena mengusung isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang ditabukan oleh partai tersebut. Adapun Prabowo mendapat peringatan karena waktu tayang iklan dirinya dinilai terlalu panjang.

Dapat dipahami, pengungkapan soal KKN bisa menyinggung perasaan Ketua Umum DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung, yang juga salah seorang peserta konvensi calon presiden Golkar. Akbar baru saja divonis bebas oleh Mahkamah Agung dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog. Putusan MA ini dipertanyakan oleh masyarakat.

Teguran terhadap Surya Paloh ternyata menimbulkan pro dan kontra. Surya menyatakan keheranannya atas teguran tersebut. Sebab, sepanjang pengetahuannya, tidak ada aturan yang melarang juru kampanye Golkar mengusung tema korupsi. Padahal, menurut dia, isu pemberantasan KKN strategis diangkat sebagai tema kampanye karena rakyat merindukan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sepanjang praktek KKN masih terjadi, bangsa ini tak akan mampu bangkit mengejar ketertinggalannya. Karena itu, bangsa ini dan Partai Golkar membutuhkan figur pemimpin yang jujur dan dapat dipercaya. Dan untuk itu, Partai Golkar harus bersih dari orang-orang yang korup dan terlibat KKN.

Teguran demikian seharusnya tidak dilayangkan kepada mereka. Sebab, pihak yang berhak menegur adalah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Karenanya, banyak kalangan yang menyesalkan teguran itu karena hal tersebut malah dapat merugikan partai itu sendiri.

Dengan mengangkat tema antikorupsi, sebenarnya citra Golkar bisa terangkat karena mengesankan partai ini bertekad memberantas tindak korupsi. Ini berarti mencitrakan bahwa Golkar mampu menyerap aspirasi masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi.

R. WISANGGENI
[email protected]
Jalan Satrio Wibowo 54A
SURAKARTA, Jawa Tengah


Tentang Iklan PDIP

BELAKANGAN ini banyak berita yang menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran dalam penayangan iklan ”Moncong Putih PDI Perjuangan” di media televisi. Dalam kesempatan ini, saya ingin memberikan klarifikasi. Dua hal yang telah menjadi rancu perlu dijelaskan, yakni ihwal penayangan jumlah spot iklan berdurasi 30 detik dan penayangan running text.

Kami sebagai biro iklan PDI Perjuangan selalu berprinsip untuk mengikuti peraturan yang berlaku, dalam hal ini yaitu Keputusan KPU No. 701 Tahun 2003. Kami mempunyai dokumen autentik pembelian spot berdurasi 30 detik yang sesuai dengan peraturan KPU yang berlaku, yaitu 10 spot per hari untuk setiap stasiun televisi dengan spot iklan berdurasi 30 detik.

Menurut data monitoring Nielsen Media Research pada 11-13 Maret 2004, memang terlihat ada stasiun televisi yang menayangkan lebih dari jumlah spot berdurasi 30 detik yang kami beli. Hal ini selayaknya ditanyakan langsung pada pihak stasiun televisi yang bersangkutan, karena hal ini berada di luar kontrol dan tanggung jawab kami maupun PDI Perjuangan sebagai klien kami.

Soal running text, di sini terjadi kerancuan pengertian. Seharusnya orang tidak langsung menuding bahwa telah terjadi pelanggaran sebelum mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Soalnya, running text memang tidak diatur oleh KPU. Demikian klarifikasi ini dibuat sesuai dengan fakta yang ada.

ANDOKO DARTA
EURO RSCG AdWork!, Indonesia


Koreksi dari PT Nusa Halmahera

Perkenankan kami, PT Nusa Halmahera Mineral, memberikan hak jawab terhadap artikel dalam rubrik Lingkungan yang dimuat dalam Majalah TEMPO Edisi 23-29 Maret 2004. Data yang disajikan dalam infografik di bawah judul Perusahaan yang Kemungkinan Mendapat Izin Operasi di Kawasan Lindung adalah keliru. Berikut data yang benar.

  1. Kegiatan: eksplorasi dan eksploitasi/produksi.
  2. Produk: emas dan mineral lainnya.
  3. Luas area: 29.622 hektare (total kontrak karya).
  4. Status area: hutan konservasi (0), hutan lindung (+/- 10.800 hektare), hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan konversi dan non-hutan (+/- 18.822 hektare).

Penting untuk diingat bahwa untuk membangun pertambangan skala kecil-menengah seperti yang dilakukan PT NHM, hanya dibutuhkan lahan 25 hektare untuk tiap deposit yang cuma secuil bagian dari total areal kontrak karya yang disediakan.

JOHN BLAKE
General Manager PT Nusa Halmahera Mineral

Terima kasih atas koreksi Anda. Data tersebut kami peroleh dari database Jaringan Advokasi Tambang.


Dana Kampanye Partai

KITA kini tenggelam dalam pesta demokrasi. Bendera, umbul-umbul, dan poster-poster partai meramaikan jalan-jalan. Tak cukup itu, partai-partai juga mengobral janji melalui televisi, radio, dan sarana media massa lainnya, termasuk pohon-pohon pun digunakan untuk menyampaikan program partai. Pertanyaannya, berapa biaya yang harus mereka keluarkan untuk kegiatan itu. Jutaan, miliaran, ataukah triliunan rupiah?

Kami sebagai pengelola pendidikan swasta sungguh prihatin melihat keadaan itu. Jika saja biaya tersebut digunakan untuk mengelola pendidikan, jutaan anak akan terbebas dari biaya pendidikan. Mereka bersekolah dengan tenang karena mendapat pendidikan gratis tanpa biaya. Adakah partai yang peduli pada pendidikan?

ROSI SUGIARTO
Semarang


Ihwal Antek Soeharto

SAYA ingin menanggapi pernyataan Ketua Umum Partai Karya Peduli Bangsa, Jenderal (Purn.) R Hartono, beberapa waktu lalu, yang mengajak orang menjadi ”antek Soeharto”.

Antek artinya ”pengikut, kaki tangan, anak buah”, seperti disebutkan dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer susunan Drs. Peter Salim, M.A. dan Yenny Salim, Bs. Sc, halaman 8. Contoh penerapannya dalam kalimat: ”Antek-antek yang mendalangi gerakan subversif harus dibasmi sampai tuntas.”

Kalau yang dimaksud Jenderal (Purn.) R. Hartono sebagai antek Soeharto dalam makna sebagai pengikut setia, selayaknya kita sampaikan salut karena hal tersebut menunjukkan sikap konsisten, taat asas (ajek), tidak mencla-mencle (tidak ambivalen).

Tetapi, kalau sikap antek itu dijadikan bahan kampanye pemilu dan ajakan kepada masyarakat, saya berpendapat tidak tepat dan sangat naïf karena rakyat tidak hanya tahu tetapi juga merasakan secara lahir-batin tindakan represif-autoritarian di masa pemerintahan rezim Orde Baru. Tentu saja terkecuali kroni dan antek-anteknya.

Apalagi kalau antek menurut arti padanannya dalam bahasa Jawa: begundal/penjilat. Apakah mungkin secara sadar kita rakyat Indonesia akan sengaja menjerumuskan diri lagi ke dalam jurang penderitaan masa lalu?

F.S. HARTONO
Purwosari RT/RW 04/59
Sinduadi, Yogyakarta 55284


Klarifikasi Manulife Card

Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami oleh Bapak Arfan Yap Bano selaku salah satu pemegang polis, mengenai penawaran kartu kredit Manulife Card yang dimuat di Majalah TEMPO Edisi 22-28 Maret 2004.

Kami sedang mengambil langkah-langkah positif untuk menghilangkan ketidakjelasan yang timbul di dalam komunikasi kami kepada para pemegang polis mengenai Manulife Card. Dengan ini kami juga meyakinkan para pemegang polis bahwa bukanlah kebijaksanaan perusahaan membagi/memberi data ataupun informasi mengenai pemegang polis kepada pihak-pihak lain tanpa persetujuan yang bersangkutan.

SYARIFUDIN YUNUS
Manager Corporate Communication
PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia


Dosen Pembimbing di UI

SAYA baru saja lulus dari Program Studi Magister Management Universitas Indonesia, Jakarta. Sungguh suatu kebanggaan bagi saya diterima di universitas terkemuka dan lulus dengan nilai baik.

Di ujung perkuliahan, sebagai syarat kelulusan, peserta harus menulis tesis. Mulanya saya ragu dan takut karena menulis tesis bukanlah pekerjaan ringan. Tapi, alangkah mengejutkan bagi saya, saat dibimbing oleh salah seorang dosen, ternyata saya tidak dibimbing sama sekali. Bahkan, saya melihat bahwa ia tak tahu banyak mengenai teman-teman yang mengutip tesis para lulusan terdahulu dengan begitu saja. Selama masa bimbingan, yang bersangkutan hanya mengoreksi bahasa, lalu meluluskan saya. Saya memang selesai cepat, tapi sungguh saya tidak puas dengan kualitas bimbingan asal-asalan. Kemudian teman-teman memberi tahu bahwa pada masa yang bersamaan ada puluhan teman lain yang dibimbing oleh dosen yang sama.

Memang Magister Management UI menerima mahasiswa yang kualitasnya bagus-bagus, sehingga tanpa dibimbing pun kami siap diuji. Tapi, sebelum nama MM-UI tercemar, ada baiknya seluruh pihak mewaspadai hal ini.

P. WIDIATMOKO
Bekasi, Jawa Barat


Pelayanan PT KAI

KELUHAN mengenai pelayanan PT Kereta Api Indonesia di wilayah Jakarta dan sekitarnya sudah bertebaran di mana-mana. Salah satunya tentang penumpang ilegal di kereta api ekspres AC. Bisa dibilang, belakangan ini jumlah penumpang ilegal semakin banyak. Dan sialnya, para oknum pegawai PT KAI (kondektur dan masinis) justru membiarkan praktek seperti itu. Bahkan mereka melegalkan praktek seperti itu dengan menerima uang dari penumpang ilegal tersebut. Mereka biasanya naik melalui lokomotif.

Jika praktek ilegal itu bisa terjadi di kereta eksekutif, apalagi di kereta kelas ekonomi. Yang membuat saya makin bingung adalah bahwa PT Kereta Api selama ini selalu mengeluhkan bisnisnya di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Bagaimana mungkin PT KAI bisa untung jika para pegawainya hanya berusaha membesarkan perut sendiri dan melupakan kepentingan perusahaannya?

Saya berharap manajemen PT KAI harus sering-sering mengontrol oknum pegawainya agar kebocoran ini tidak makin besar.

Yang juga perlu dicatat, PT KAI sama sekali tidak menghormati konsumen yang punya niat baik untuk naik kereta api dengan membayar karcis secara resmi. Kalau hal ini berlangsung terus-menerus, jumlah mereka yang punya niat baik ini akan menyusut. Dan KAI tinggal menunggu waktu untuk bangkrut.

M. Taufik
Taman Kebalen Indah,
Bekasi


Hak Pilih Warga Tionghoa

HASIL penelitian Rebeka Harsono, Direktur Eksekutif Yayasan Anti Diskriminasi, menunjukkan bahwa ratusan ribu warga Tionghoa terancam hilang hak pilihnya karena soal surat bukti kewarganegaraan. Mereka tidak dapat ikut pemilihan umum karena tidak dapat menunjukkan surat bukti kewarganegaraan RI (SBKRI) yang sudah tidak diterbitkan lagi oleh Departemen Kehakiman.

TEMPO Edisi 7 Maret 2004, halaman 21, menurunkan tajuk berjudul: Bebas! Ini sebagai tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan atas Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Kesimpulannya: ”Putusan Mahkamah Konstitusi final sifatnya, tak bisa diubah lagi, kekuasaannya berfungsi sebagai penentu politik hukum yang keabsahannya didasarkan pada kemutlakan kaidah UUD 1945.

Jadi, paling tidak putusan Mahkamah Konstitusi bisa dianggap sebagai keharusan bagi DPR dan pemerintah untuk segera memperbaiki setiap undang-undang yang mengandung kesalahan serupa. Sementara perbaikan belum dilaksanakan, pasal-pasal diskriminatif harus dibekukan atau tidak dijalankan lagi.”

Jelas dan tegas, pasal-pasal diskriminatif harus dibekukan dan tidak dijalankan lagi!

Sekaranglah waktunya kita menerbitkan undang-undang antidiskriminasi terhadap sesama anak bangsa. Ingat wasiat Bung Karno: ”Karmane, fadikarate, mapalesyu, kadatyana. Kerjakan engkau punya kewajiban, tanpa menghitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu, kerjakan! (Bung Karno, Revolusi Belum Selesai, jilid 1, Mesiass, Semarang, 2003, hlm. 17).

I.H. Kendengan
Taman Alfa Indah Blok A 15/15
Joglo, Jakarta Barat


Pengalaman sebagai KPPS

Kami ingin berbagi pengalaman sebagai Ketua Panitia Pemungutan Suara (KPPS) di Desa Jatimulya, Bekasi, Jawa Barat, yang terpaksa harus mengundurkan diri karena fakta di lapangan menggelikan, absurd, sekaligus mengharukan.

Saya diambil sumpah pada 13 Maret 2004, tanpa dijelaskan dulu tugas, wewenang, hak, dan tanggung jawab saya. Tempat kami berkantor juga minim perlengkapan. Petugas Komisi Pemilihan Umum dan aparat desa pernah menerangkan, untuk pembuatan sarana-prasarana tempat pemungutan suara, anggaran yang disediakan Rp 280 ribu. Dengan dana ini, KPPS wajib menyediakan sarana seperti tenda, kursi, meja, papan berukuran besar, kayu, dan tali. Padahal pada hari biasa saja sewa tenda mencapai Rp 120 ribu per tenda. Dalam perkiraan kami, butuh kurang-lebih 2 tenda, 25 kursi, meja minimum 5 buah. Biaya yang diperlukan kurang-lebih sudah mencapai Rp 300 ribu. Ini belum termasuk kayu dan tali pembatas serta papan berukuran besar.

Lalu, untuk makan saja, buat 9 anggota PPS dibutuhkan Rp 270 ribu. Kami mesti makan tiga kali, dengan dana masing-masing Rp 10 ribu. Ini belum termasuk minuman dan snack.

Kami tidak bermaksud membandingkan KPPS dengan KPU Pusat atau daerah. Kami tahu tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya jauh berbeda. Mereka yang menjadi anggota KPU Pusat notabene adalah orang yang terpilih karena serba pintar, hebat, serba tahu, dan serba lihai. Maka, wajar terjadi ketimpangan yang sangat luar biasa, gaji mereka per bulan Rp 10 juta sampai Rp 12 juta, sedangkan kami sebesar Rp 50 ribu per bulan untuk ketua dan Rp 40 ribu untuk anggota. Wajar pula kalau mereka mendapat fasilitas kendaraan, ada Toyota Camry, Altis, Terrano X trail, CRV, dan lain-lain.

Mereka serba berlebihan, sedangkan kami yang bekerja dari pagi sampai malam tidak ada anggaran untuk uang makan. Anggarannya hanya Rp 280 ribu, untuk semuanya. Inikah cermin dari wajah politik kita yang sebenarnya, fenomena kecil yang menggambarkan arogansi orang pusat?

KELIK RICKYANTORO
Jatimulya, RT 15/11
Bekasi, Jawa Barat


Keluhan Nasabah Bank Mandiri

SAYA ingin membagi pengalaman saya sebagai nasabah Bank Mandiri. Pada 31 Maret 2004, saya menarik dana Rp 50 juta di Bank Mandiri Cabang Pembantu Mal Pondok Indah, Jakarta Selatan. Setelah saya menyelesaikan beberapa keperluan pembayaran, sisanya saya setorkan ke Bank Niaga Cabang Pembantu Plaza Pondok Indah hari itu juga.

Alangkah terkejutnya saya, ternyata dari bundel uang Rp 5 juta yang terdiri atas uang lima puluh ribuan, terdapat selembar uang seribuan yang menyelip di antara lembaran lima puluh ribuan sehingga seolah membuat genap Rp 5 juta.

Bagaimanapun, setelah saya keluar dari Bank Mandiri, mereka tidak bertanggung jawab lagi atas segala kemungkinan, misalnya uang palsu, jumlah uang kurang, atau seperti yang menimpa saya, lembar uang diganti dengan lembar ribuan.

Saya percaya ini hanya ulah oknum Bank Mandiri yang mencoba mengambil sedikit keuntungan dari kepercayaan nasabah. Bagaimanapun, pada umumnya nasabah cukup percaya dengan melihat jumlah uang yang dihitung melalui mesin hitung.

Rasanya aneh dan membuang banyak waktu kalau kita harus menghitung dan melihat sosok uangnya secara fisik lembar demi lembar, apalagi kalau jumlahnya sampai puluhan juta rupiah. Tapi setidaknya saya punya pengalaman baru dengan bank terkemuka ini.

Dan saya anjurkan agar semua nasabah Bank Mandiri jangan terlalu malas menghitung dan melihat sosok fisik uang yang ditarik lembar demi lembar, yang tentu saja akan membuat antrean bertambah panjang di depan kasir.

Iman Brotoseno
Rek. 1010004023956
[email protected]


Ulah Peserta Kampanye PDIP

PDI Perjuangan harus bertanggung jawab atas peristiwa yang menimpa pelajar SMUN 2 Nganjuk, Jawa Timur, dalam kampanye 20 Maret 2004. Para simpatisan partai yang menggunakan atribut PDI Perjuangan itu meraba-raba dada, mencolek pantat, dan melakukan perbuatan tak senonoh lainnya. Sedangkan pelajar putra yang berjalan bersama-sama pelajar putri ditendang dan dipukuli serta sepedanya dirusak. Akibat sikap brutal itu, sejumlah pelajar putri mengalamai tekanan batin.

Kami sangat menyesalkan peristiwa itu. Kampanye yang seharusnya dijadikan ajang pendidikan politik masyarakat justru digunakan sebagai ajang pamer kekuatan dan kebebasan melakukan tindak asusila.

Sehubungan dengan itu, selain meminta pertanggungjawaban PDI Perjuangan, kami ingin menyampaikan rasa simpati yang mendalam kepada para pelajar SMUN 2 Nganjuk karena menjadi korban kebrutalan. Kami juga menuntut pihak kepolisian menindak tegas para pelaku dan memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku.

M. Sudjatmoko
PB Pelajar Islam Indonesia
Jakarta


Korban Apartemen Laguna, Pluit

Pada 2 Februari 1996, saya membeli satu unit Apartemen Laguna, Pluit, Jakarta Utara, dan dijanjikan pihak pengembang, PT Jawa Barat Indah, fisik bangunan akan diserahkan Januari 1998.

Namun, hingga saat ini, selama enam tahun saya terus dipermainkan dan dijanjikan saja dan bahkan secara sepihak kami diminta melakukan pembayaran tambahan. Saya telah berulang kali berusaha menemui Direksi PT Jawa Barat Indah, namun mereka tetap menghindar.

Kami mengimbau kepada para pembeli Apartemen Laguna Pluit supaya bersatu dan melakukan tindakan hukum terhadap Direksi PT Jawa Barat Indah, dan dapat menghubungi Paguyuban Korban Apartemen Laguna Pluit di telepon 6128877.

WONG JONG KHENG
Pluit Timur Blok L ORT/10
RT 001 RW 009
Penjaringan, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus