Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program Keluarga Harapan tak sesuai harapan.
Soal para artis mengampanyekan omnibus law.
Bantuan tunai rawan korupsi.
Soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja
BANYAK artis dan publik figur lain yang mengunggah tanda pagar #IndonesiaButuhKerja di laman media sosial mereka. Unggahan tagar yang mengacu pada Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja itu tentu menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat, mengingat banyak sekali kerugian yang akan dialami para pekerja jika RUU tersebut benar-benar disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat sebagian besar masyarakat menolak, para publik figur justru menyuarakan dukungan terhadap RUU yang akan merugikan tenaga kerja Indonesia itu. Meski pada akhirnya sebagian di antaranya meminta maaf karena ketidaktahuannya, masyarakat telanjur kecewa atas tindakan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkan saja, saat mempromosikan tagar itu, mereka menerima Rp 5-10 juta per unggahan. Angka yang fantastis, mengingat banyak pekerja di luar sana yang bekerja selama satu bulan ditambah lembur tapi gajinya tidak mencapai nilai nominal tersebut.
Kekecewaan dan kritik yang disampaikan masyarakat kepada para publik figur yang mendukung RUU Cipta Kerja tentu memiliki alasan. Jika menilik lagi perubahan di dalam RUU omnibus law itu, ada banyak sekali poin yang merugikan pekerja. Regulasi cuti ditentukan oleh perusahaan, waktu lembur ditambah menjadi empat jam, tidak ada pembahasan untuk cuti hamil dan melahirkan, tak ada peraturan yang menjamin pekerja bisa melakukan ibadah sesuai dengan waktu dan ketentuan yang telah ditetapkan, uang penghargaan atas masa kerja dihapuskan, pesangon ditiadakan, uang santunan dihapuskan, dan sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun juga dihapuskan.
Jadi siapa yang diuntungkan oleh RUU Cipta Kerja? Saat peraturan ketenagakerjaan begitu ketat mengatur hak dan kewajiban antara perusahaan dan pekerja saja masih banyak perusahaan yang tidak patuh, apa yang akan terjadi jika RUU ini disahkan pada September nanti? Kenapa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat begitu antusias menyelesaikan RUU ini? Di mana pemimpin berpijak saat rakyat menjerit atas rencana ini?
Saya berharap pemerintah benar-benar mempertimbangkan hal ini. Meskipun saat ini saya bukan pekerja, melainkan pelaku usaha, ketika RUU Cipta Kerja disahkan, bisa dipastikan tingkat kekhawatiran masyarakat meningkat, dan sektor usaha akan mengalami dampak yang kurang baik. Sudah terlalu banyak rapor merah yang didapat oleh pemerintah. Jangan lagi lukai kami dengan penindasan dalam pembuatan peraturan.
Ade Trias
Bandar Lampung
Bantuan Tunai Rawan Korupsi
BERATNYA hidup karena pandemi Covid-19 makin terasa. Bukan hanya di Indonesia, hal ini juga terasa di Singapura, Amerika Serikat, India, bahkan di seluruh dunia.
Pada 12 Agustus 2020, pemerintah Indonesia mengumumkan pemberian bantuan tunai sebesar Rp 2,4 juta untuk jutaan pelaku usaha mikro, seperti tukang sate, tukang martabak, dan tukang ketoprak. Calon penerima bantuan ini sudah terdata secara valid di bank negara dan badan usaha milik negara lainnya. Walau begitu, tentu masih banyak yang belum terdata. Paling tidak calon penerima bantuan yang sudah terdata akan mendapat bantuan lebih cepat dari yang belum terdata.
Pemerintah mengatakan bantuan ini direncanakan mulai ditransfer kepada para calon penerima pada pertengahan Agustus 2020. Namun pemerintah belum menjelaskan bagaimana cara menyalurkan dana bantuan ini kepada calon penerima yang tidak mempunyai akses ke bank atau tidak memiliki rekening di bank atau koperasi. Untuk ini, hanya ada dua kemungkinan bagi mereka: tidak menerima bantuan atau menerima bantuan secara langsung yang sangat mungkin berkurang dari jumlah yang seharusnya.
Sebagai perbandingan, dalam tiga bulan terakhir, pemerintah Singapura memberikan bantuan uang tunai kepada warga Singapura, termasuk penduduk tetap (permanent resident). Bantuan tersebut langsung dikreditkan ke rekening bank masing-masing. Sebagian kecil masyarakat yang tidak mempunyai rekening bank menerima cek yang hanya dapat diuangkan oleh mereka. Dengan demikian, tidak ada uang tunai yang didistribusikan melalui tangan petugas di lapangan.
Membandingkan Singapura dengan Indonesia akan selalu salah karena ukuran Singapura yang terlalu kecil. Karena itu, mari kita lihat sistem pemberian bantuan di India, negara yang jauh lebih besar dengan jumlah penduduk hampir empat kali lipat dari Indonesia.
Pada Agustus 2014, Perdana Menteri India Narendra Modi mengumumkan dimulainya program Pradhan Mantri Jan-Dhan Yojana (PMDJY). Sebuah program finansial yang terbuka bagi seluruh penduduk India, termasuk anak-anak berusia minimal 10 tahun, asalkan membuka rekening bersama walinya. Tujuan utama program ini adalah membuka akses finansial, seperti rekening tabungan, pengiriman uang, kredit, asuransi, dan dana pensiun, bagi orang-orang yang sejatinya belum memiliki cukup dana untuk mempunyai akses ke bank.
Sebanyak 15 juta rekening dibuka pada saat hari peluncuran program. Selanjutnya, PMJDY terus dilaksanakan dan pada 27 Juni 2018, sebanyak 318 juta rekening telah dibuka melalui program tersebut.
Implikasi positif program ini adalah kemudahan bertransaksi tanpa uang tunai. Hal ini terlihat pada 8 November 2016, saat pada pukul 20.00 pemerintah mengumumkan uang lembaran 1.000 dan 500 rupee tidak berlaku mulai tengah malam hari itu juga. Betul, saat itu kepanikan terjadi di mana-mana. Bahkan penulis yang sedang berada di Mumbai pun kesulitan menukarkan lembaran uang tersebut. Tapi, tidak lama kemudian, masyarakat menjadi terbiasa melakukan transaksi nontunai di mana pun.
Implikasi positif yang lain adalah dalam pemberian subsidi untuk liquefied petroleum gas (LPG). Seperti halnya di Indonesia, pemerintah India memberikan subsidi untuk LPG. Di India, subsidi ini diberikan melalui program Direct Benefit Transfer (DBT). Awalnya, program ini dibuat untuk menghindari kebocoran dana dengan mengkreditkan dana subsidi langsung ke rekening orang yang berhak menerimanya. Dengan begitu, tidak ada dana yang “disunat” atau penerima siluman. Mulai 2016, penerima DBT yang tidak berhak mendapat subsidi (minimum satu orang dalam keluarga tersebut berpenghasilan kena pajak sebesar 1 juta rupee atau Rp 198,255 juta) diwajibkan mengisi formulir untuk mengembalikan DBT tadi.
Bagaimana di Indonesia? Jangankan bantuan dana langsung (cash), bantuan paket bahan kebutuhan pokok saja sering kali disunat atau diberikan kepada penerima siluman. Karena itu, untuk menutup kemungkinan-kemungkinan bantuan tadi dikorupsi, ada baiknya pemerintah meniru beberapa program yang dilaksanakan oleh pemerintah India tersebut, tentunya disesuaikan dengan karakteristik masyarakat di Indonesia. Penulis berpikir, alangkah baiknya bila Kementerian Keuangan mencanangkan program pembukaan rekening untuk semua warga dan menjadikannya sebagai program yang wajib dilaksanakan oleh semua bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta, tanpa terkecuali. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki, bukan?
Lucky Nurafiatin
Singapura
Program Keluarga Harapan
MENGENAI Program Keluarga Harapan (PKH), awalnya kami menganggapnya sebagai perhatian pemerintah kepada warga sipil yang dinilai “miskin” dan “rentan miskin”. Aparat mendata warga dari seluruh penjuru kampung.
Pendataannya panjang, lama, dan alot diwarnai drama dan mungkin juga adu argumentasi dengan pelbagai pihak, tak terkecuali dari masyarakat itu sendiri. Apalagi setelah bantuan PKH itu sudah mulai digulirkan. Isu miring mengenai penyunatan hingga ketidaktepatan sasaran menjadi trending topic pada setiap wacana.
Yang saya jumpai, tidak jauh dari lingkungan desa saya sendiri, ada kecurangan. Ada pensiunan tukang kebun sebuah sekolah dasar—yang artinya beliau menerima tunjangan pensiun setiap bulan—yang memiliki sebidang tanah yang disewakan menjadi sawah/ladang garapan mendapat kartu PKH. Setiap bulan orang tersebut rutin mendapat bantuan bahan kebutuhan pokok yang dilayani di kios-kios tertunjuk, lalu beberapa bulan sekali menerima sejumlah uang yang bisa diambil melalui anjungan tunai mandiri.
Mirisnya lagi, anak orang tadi adalah pegawai divisi keuangan di sebuah universitas swasta, tapi juga mendapat kartu PKH. Jadilah dua orang dalam satu rumah, meski berbeda kartu keluarga, mendapat bantuan PKH.
Sementara itu, di sudut kampung, terdapat beberapa warga yang renta, tinggal sendirian, rumahnya reyot dan tak berbentuk, tapi sama sekali tidak tersentuh bantuan. Sekadar mengikuti pendataan warga miskin pun tidak.
PKH sudah berjalan lama. Dampak yang ditimbulkan pun sudah mulai terlihat. Beberapa yang tepat sasaran, dalam arti bantuan diberikan kepada orang yang tepat, memang sungguh membuahkan hasil. Kehidupan ekonomi yang tadinya jauh dari cukup berangsur membaik. Namun ada juga keresahan, tentunya bagi warga yang mulai sensitif dan kritis menanggapi adanya bantuan semacam ini. Mereka resah karena tidak juga menemukan sisi keadilan dalam pembagian bantuan.
Ada baiknya pelaksanaan PKH ini ditinjau kembali, serta diubah struktur pendataannya. Teliti dengan lebih cermat siapa warga yang benar-benar pantas dikategorikan sebagai “warga miskin” atau “warga rentan miskin”.
Genoveva Dian
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo