Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program KIP kuliah
Tentang kekuatan ekonomi kerakyatan
Tentang Program KIP Kuliah
SETELAH mengurus berbagai keterangan untuk bisa mengikuti program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, akhirnya anak saya, Thrisa N.L., mendapat kabar dari kampusnya. Pada akhir Agustus 2020, dia diberi tahu bahwa namanya tercantum dalam surat keputusan resmi dari lembaga pendidikan swasta yang ditandatangani pimpinannya. Intinya, dia menjadi satu dari 20 mahasiswa baru D-4 perhotelan di lembaga itu yang ditetapkan sebagai penerima KIP Kuliah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Urusan ternyata menjadi agak berbelit karena Thrisa, yang lulusan sekolah menengah kejuruan, sebelumnya terdaftar sebagai mahasiswa program Pendidikan Vokasi Berkelanjutan (PVB) D-1 perhotelan di lembaga yang sama. Kami diminta memilih: menjadi penerima KIP Kuliah atau tetap di program PVB yang paralel dengan program lain untuk belajar dan bekerja di Jerman. Saat ini Thrisa sedang menempuh kursus bahasa intensif untuk mendapatkan sertifikat di Goethe-Institut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah diusulkan secara resmi oleh lembaga pendidikan untuk mendapat KIP Kuliah tapi akhirnya dipaksa memilih memang terasa menyesakkan. Kejadian ini setidaknya membuktikan bahwa KIP Kuliah adalah program yang nanggung. Kampus beralasan bahwa program PVB D-1 dan D-4 berbeda. Sementara itu, mengutip keterangan pihak kampus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan syarat lebih mengekang untuk mempermudah pengecekan dan pengontrolan terhadap peserta terkait dengan verifikasi penyaluran KIP Kuliah.
Entah siapa yang lebih berperan sehingga pilihan menjadi begitu. Dari kacamata kami yang awam, kebijakan yang memaksa kami memilih itu sedikitnya terkesan mengurangi substansi, bahkan kontradiktif dengan keinginan lain pemerintah. Khususnya terkait dengan bagaimana mendorong si mahasiswa (penerima KIP Kuliah) punya pengalaman belajar dan bekerja di luar negeri dalam sebagian masa studinya.
Program KIP Kuliah nanggung karena tidak bisa mendukung dan mengakomodasi mahasiswa Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) lewat jalur PVB yang sudah berjalan yang disebut berjenjang dari D-1. Padahal, menurut informasi yang sejauh ini dikumpulkan, program PVB juga bisa sampai D-4, hanya memang mesti diperpanjang setahun demi setahun. Juga dengan keterangan bahwa mata kuliah PVB adalah versi operasional yang lebih pendek dari mata kuliah program D-4 reguler.
Padahal jelas program ke luar negeri dengan kesempatan bekerja sekaligus kuliah ini lebih mengembangkan kemampuan mahasiswa. Jelas pula tak ada yang dirugikan: pemerintah bisa menyalurkan subsidi pendidikan, kampus tetap mendapat bayaran, dan si mahasiswa terbantu. Tapi pasti ada pula minusnya, antara lain bagaimana memonitor studi mahasiswa serta mahasiswa tidak bisa ikut aktif dalam kegiatan kampusnya dan tak dapat hadir secara fisik saat diperlukan Kementerian Pendidikan untuk verifikasi kebenaran penyaluran KIP Kuliah.
Sekali lagi, yang disesalkan adalah alasan teknis program KIP Kuliah tidak dimungkinkan karena adanya dua nomor mahasiswa yang aktif pada satu orang. Padahal, kalau mau simpel, ya diakui dan diakomodasi saja secara administrasi. Sedangkan cek silang, baik ke kampus maupun ke mahasiswa, di era Internet ini semestinya sangat gampang tanpa kendala ruang-waktu: Kementerian Pendidikan tinggal membuka aplikasi video conference dan langsung bisa mencocokkan apa yang hendak diverifikasi.
Apa yang dipaparkan semoga bisa menjadi masukan untuk bisa lebih mengakomodasi penerima KIP Kuliah dengan mengendurkan persyaratan bahwa peserta program PVB (yang D4-nya dicicil) tetap dapat memperoleh bantuan subsidi pemerintah. Khususnya bagi warga tak mampu yang begitu lulus sekolah menengah kejuruan bisa mendapat kesempatan mengikuti program belajar dan bekerja di luar negeri dalam jangka waktu lebih dari setahun atas usaha (dan biaya) sendiri.
Terlebih kampusnya sendiri juga sudah mempunyai dan menjalankan program PJJ yang, sayangnya, bobot mata kuliahnya disebut dibedakan dengan program D-4 reguler. Apalagi kebijakan “Kampus Merdeka” Menteri Pendidikan Nadiem Makarim sudah setengah menyatakan secara formal bahwa mahasiswa semestinya punya pengalaman kerja praktik di luar negeri. Bahkan, konon, kabar yang beredar menyebutkan mahasiswa harus punya pengalaman minimal setahun belajar dan/atau magang di luar negeri.
Masukan ini semata-mata ditulis sebagai harapan agar ada perbaikan penyaluran KIP Kuliah yang bukan sekadar mendukung (dan menghasilkan) mahasiswa yang cenderung jago kandang, tapi juga mahasiswa dengan pengalaman bekerja dan kuliah, terutama bisa sekaligus mendapatkan sertifikasi dari luar negeri. Di luar sana mungkin masih banyak mahasiswa yang juga membutuhkan KIP Kuliah tapi tidak berdaya karena terbentur aturan kampus dan persyaratan Kementerian Pendidikan.
Nurfani Abidin
Pasar Minggu, Jakarta
RALAT
Terdapat kekeliruan pengutipan narasumber dalam artikel Ilmu dan Teknologi edisi 7-13 September 2020 yang berjudul “Macetnya Pembangkit Energi Betung”. Tertulis "… ucap Rifai, 8 Agustus lalu.". Seharusnya "… ucap Yudas, 8 Agustus lalu.". Kami mohon maaf.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo