Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH enam bulan pandemi Covid-19 mencekik dunia dan Indonesia. Selama itu pula pasar finansial terus terombang-ambing oleh sentimen positif-negatif yang datang silih berganti. Dan ketika gejolak terlihat agak mereda, dalam sepekan terakhir hawa pesimistis mendadak kencang berembus mengharu biru. Nilai rupiah terus melorot, kembali mendekati 15 ribu per dolar Amerika Serikat. Di pasar saham, harga berjatuhan hingga indeks harga saham gabungan sempat ambles di bawah batas psikologis 5.000.
Sebelum gejolak kali ini tiba, situasi medan pertempuran melawan Covid-19 sebetulnya tampak baik-baik saja. Pemerintah terus memompa sentimen positif ke pasar bahwa solusi final untuk mengatasi pandemi sudah di depan mata. Optimisme ini berlandaskan pada satu keyakinan: pada akhir tahun ini sudah tersedia vaksin untuk melawan pagebluk. Maka pemerintah sangat serius mengerahkan segala daya untuk menjamin pasokannya. Indonesia harus mendapat persediaan yang cukup begitu vaksin sudah siap. Perlindungan vaksin yang efektif mencegah Covid-19 tentu akan membuat masyarakat merasa aman beraktivitas. Ekonomi pun bisa kembali bergerak dengan cepat.
Strategi ini tidak keliru. Tapi ada beberapa titik rawan di sana. Pertama, belum ada jaminan bahwa vaksin pencegah Covid-19 benar-benar akan tersedia secepat itu. Kemudian, konsentrasi pada vaksin menimbulkan kesan bahwa pemerintah melepas upaya pencegahan, setidaknya tampak lebih longgar dalam melawan penyebaran virus.
Kendati demikian, ayunan optimisme masih lebih kuat. Ekonomi mulai bergeliat walaupun wabah sebenarnya belum punah. Walhasil, pergerakan harga aset finansial dan nilai tukar rupiah lebih banyak bergantung pada urusan lain di luar dampak wabah. Misalnya kabar tentang independensi bank sentral yang terancam lenyap karena pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berencana mengubah Undang-Undang Bank Indonesia. Fokus perhatian pasar juga lebih tertuju pada niat Presiden Joko Widodo terus meminta Bank Indonesia mengatasi defisit anggaran pemerintah hingga 2022.
Hingga kemudian muncul kenyataan pahit. Kasus baru Covid-19 justru bertumbuh makin cepat setiap hari. Sejak akhir Agustus lalu, angka penambahan kasus baru terus mencatat rekor, mulai menembus 3.000 per hari.
Melihat perkembangan yang makin mengkhawatirkan ini, pemerintah tampak mengubah taktik. Ketika memulai sidang kabinet, Senin, 7 September lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa kesehatan tetap nomor satu. Perkara menyalakan kembali mesin ekonomi harus menunggu sampai urusan kesehatan tertangani dengan baik.
Puncaknya, Rabu, 9 September lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengambil kebijakan yang ia ibaratkan sebagai menarik rem darurat. Jakarta akan kembali menerapkan rezim pembatasan sosial berskala besar yang lebih ketat seperti di awal masa pandemi, bukan lagi transisional dengan berbagai pelonggaran. Begitulah. Keesokan harinya, harga saham dan nilai rupiah langsung luruh. Pasar seolah-olah tak lagi peduli bahwa cadangan devisa Indonesia kini kembali mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah, US$ 137 miliar di akhir Agustus.
Dan, akhirnya, perdebatan awal tentang strategi penanganan wabah kembali memanas. Apakah pemerintah mengutamakan kesehatan dan keselamatan publik atau lebih berpihak pada upaya memulihkan ekonomi? Yang paling merepotkan para analis, tarik-ulur ini justru berlangsung sangat seru di antara pejabat pemerintah sendiri. Tak ada konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah, bahkan di kalangan pembantu presiden sendiri. Menteri-menteri di bidang ekonomi, misalnya, keras mengkritik langkah Anies.
Hingga akhir pekan itu, tiga hari setelah Anies menarik remnya, para analis di pasar masih belum mendapat kejelasan. Sejauh mana pembatasan aktivitas akan berlangsung dan bagaimana dampaknya terhadap ekonomi? Dalam situasi tak menentu seperti ini, yang biasanya terjadi adalah pergolakan tajam harga aset finansial. Pasar cenderung merespons segala sesuatu secara berlebihan. Tapi, bagi mereka yang punya urat nyali tebal dalam menanggung risiko dan berspekulasi, inilah saat-saat yang justru menggairahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo