Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Tahun Dangdut

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah kerasnya persaingan dunia hiburan, dangdut tetap memiliki banyak penggemar. Aliran musik Melayu yang menggunakan alat musik tabla, gendang ala India, berbunyi "dang-ding-dut" itu masih dipentaskan di berbagai pelosok Tanah Air.

Majalah Tempo edisi 5 Mei 1979 menurunkan laporan utama tentang dangdut yang sedang berada di puncak kejayaannya. Begitu berkuasanya dangdut, musikus pop hingga rock pun berbondong-bondong hijrah ke jenis musik ini.

Animo terhadap musik "dang-ding-dut" ini tampak jelas pada festival dangdut se-Jakarta di Gedung Gelanggang Remaja, Jakarta Timur, April 1979. Lebih dari 5.000 orang berimpitan di gedung olahraga yang hanya berkapasitas 2.000 penonton itu. Elvy Sukaesih "mampir" dan ikut mendendangkan empat lagu di sana.

Memang, 1979 layak disebut tahun dangdut. Tahun itu dangdut—dipimpin Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih—merajalela di radio, televisi, diskotek, hingga pesta hajatan.

Presiden Direktur Yukawi, Leo Kusima, memperkirakan peredaran kaset dangdut di Indonesia mencapai jutaan per tahun. Bahkan rekaman Rhoma volume I, yang beredar sejak 1976, masih tetap diburu. Produsen kaset menggeber produksi lagu dangdut. DD Records, misalnya, dari 16 volume kaset yang diproduksi, 11 di antaranya kaset dangdut.

Kuatnya pamor dangdut menyebabkan para produsen kaset berlomba mendangdutkan hampir semua penyanyi pop bahkan rock. Salah satu korbannya adalah Ucok Harahap. Penyanyi yang terkenal brutal di atas panggung itu terpaksa membuat "rock dangdut" bersama Duba Records. Achmad Albar, yang konon bercita-cita setia kepada rock murni, terpaksa menekuk cengkok, menggarap dangdut, meski dengan embel-embel "dangdut warna lain". Begitu juga Titi Qadarsih, yang sebelumnya "antidangdut". Ia bersama DD Records membuat dua album dangdut bernama Gemes.

Sebagian artis lain berpindah haluan dengan sukarela. Seperti Melky Goeslaw. Ia mendendangkan lagu Goyang-goyang, Syarifah Gadis Malaysia, Kami Asyik Kamu Asyik. Meski atas kemauan sendiri, Melky mengeluh juga saat jatuh-bangun mengikuti lekukan irama dangdut. "Orang yang beragama Kristen seperti saya ini pasti akan sulit menyanyi dangdut," katanya. Yok Koeswoyo, anggota Koes Plus, juga sempat membuat lagu dangdut Cubit-cubitan.

Tentu tidak semua penyanyi pop menyerah kepada dangdut. Chrisye, misalnya, masih pikir-pikir untuk ikut berdangdut. Alasannya, "Karena saya tidak bisa," ucapnya kala itu. Franky Sahilatua juga enggan dan memilih setia kepada musik country. Begitu pula Bob Tutupoly. "Biarkan penyanyi dangdut menikmati masa panennya sekarang, tidak usah kami recoki. Kami dulu juga pernah panen," ujarnya.

Pesona dangdut juga merasuk ke kampus-kampus. Delapan mahasiswa Universitas Indonesia membentuk grup dangdut Orkes Moral Pancaran Sinar Petromak, disingkat PSP. Awalnya sekadar iseng, tapi sejak mereka muncul pada perayaan dwiwindu TVRI bersama Elvy Sukaesih, nama Petromak alias lampu stromking itu melejit. Tawaran manggung membanjir, kaset rekaman mereka laku keras. "Lebih-kurang 50 ribu kaset terjual selama selama sebulan ini," kata Direktur DD Records Dodo Wirawan kala itu.

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tidak ketinggalan. Salah satu kampus tertua di Indonesia itu memiliki dua grup dangdut bernama Jaran Goyang di Fakultas Teknik dan OM Jetset, singkatan dari Orkes Mahasiswa Jelek tapi Stil, di Fakultas Psikologi. Seperti halnya PSP, mereka mengusung aliran "dangdut lucu" dengan musik yang sederhana, lucu, santai, dan terang-terangan meski memang keliwat banyak bicaranya.

Heboh dangdut memunculkan gagasan muluk dari Guruh Sukarno Putra. Anak Presiden Sukarno itu berharap dangdut bisa tumbuh seperti musik tango, samba, dan bossa nova. "Yang semula merupakan musik rakyat kelas bawah di Brasil tapi kemudian menjadi musik yang disukai orang di seantero jagat," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus