Tak lagi bersama tempo

ADA pertemuan pasti ada perpisahan. Tapi, perpisahan kami dengan A. Dahana kali ini menimbulkan rasa haru sekaligus bangga. Wajar sebenarnya kami terharu, karena Dahana sudah 17 tahun bersama kami, baik dalam keadaan suka maupun duka. Bahkan, di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa pascasarjana di Cornell University, pertengahan 1970-an, atau ketika ia harus berkutat di Universitas Hawaii sampai menggondol gelar doktor, 1986, Dahana tak pernah putus berhubungan dengan TEMPO. Terakhir, ahli Cina ini menjadi Ketua Jurusan Sastra Cina di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan tetap merangkap di TEMPO -memegang jabatan penanggung jawab rubrik Luar Negeri. Namun, ketika harus melepas Dahana, 1 September yang lalu, terbersit pularasa bangga pada kami. Kenapa tidak? Dahana meninggalkan TEMPO untuk memanggul jabatan lain yang cukup membanggakan: direktur eksekutif Fullbright, sebuah badan pemberi beasiswa yang berada di bawah Lembaga Kerja Sama Indonesia-Amerika (Aminef). Fullbright sudah cukup dikenal di sini, terutama di kalangan dosen dan peneliti sosial. Karena, lembaga itu memberikan beasiswa untuk banyak orang Indonesia guna mengikuti program strata 2 (S2) atau S3 di Amerika. Dahana sendiri termasuk salah seorang alumni Fullbright itu. Selain Dahana, ada beberapa orang TEMPO lainnya yang mendapat beasiswa dari Fullbright. Bambang Harymurti, misalnya, sebelum diangkat menjadi Kepala Biro TEMPO di Washington, ia menyelesaikan program S2 di Harvard atas beasiswa dari Fullbright. Kini Sandra Hamid, reporter -- Biro Jakarta, sedang belajar di sebuah perguruan tinggi di Amerika, -- juga dengan beasiswa lembaga itu. Mereka terpilih untuk memperoleh beasiswa itu tentu saja setelah melalui seleksi yang ketat. Tak sedikit di antara penerima beasiswa itu kemudian menjadi tokoh di Indonesia, antara lain: Mochtar Kusumaatmadja (bekas Menteri Luar Negeri), Ishadi (bekas direktur televisi), Ali Alatas (Menteri Luar Negeri), dan Amin Rais (dosen Universitas Gadjah Mada). Tahun ini genap 40 tahun berdirinya Fullbright di Indonesia. Cerita mengenai lembaga ini kami tulis di rubrik Pendidikan nomor ini. Salah satu sumber penting untuk mendukung cerita ini tentunya Dahana, yang awal bulan depan akan menduduki kursi direktur eksekutif Fullbright menggantikan Pamela Smith, seorang Amerika. Menjelang serah terima jabatan pimpinan Fullbright ini, Dahana sibuk luar biasa. Bulan-bulan ini ia sulit ditemui di Jakarta. Pekan lalu, ia berada diPadang. Kepada Fachrul Rasyid, wartawan TEMPO di Padang, Dahana mengatakan bahwa ia turun ke daerah itu untuk memperkenalkan diri di beberapa perguruan tinggi dan kepada para pejabat di lingkungan Departemen P dan K. Dan, yang lebih penting dari itu, tentunya mempromosikan Fullbright itu sendiri. Meskipun Dahana telah meninggalkan kami, hubungan kami tetap terjalin baik. Yang menggembirakan kami, dosen mata kuliah Sejarah Diplomasi Republik Rakyat Cina (RRC) dan Sejarah Politik RRC di Universitas Indonesia ini setelah berada di luar kini malah rajin membaca TEMPO. "Ketika saya masih terlibat menulis, majalahnya jarang saya buka," kata Dahana berseloroh. Maklumlah Dahana sudah tahu lebih dahulu isi majalah itu sebelum diterbitkan. Dan, Dahana berjanji tak akan melupakan dunia wartawan, paling tidak, ia membayangkan akan sering didatangi wartawan.