Sehubungan dengan dimuatnya soal eks-Heiho (TEMPO, 10 Agustus 1991), kami, Forum Pusat Komunikasi Eks-Heiho Indonesia, memberi tambahan informasi kepada TEMPO bahwa jumlah Eks -Heiho kini telah terdaftar 16.000 orang (di TEMPO tertulis 15.000 orang). Jumlah janda eks-Heiho adalah 7.000 orang (di TEMPO 8.000). Kami juga merasa perlu menanggapi keterangan Tuan Keiichi Hayasyi (staf Deplu Jepang) dan Tuan Kaoru Hatta (staf Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta). Kepada Tuan Keiichi kami perlu menegaskan kembali bahwa kedatangan kami ke Jepang adalah untuk menuntut hak-hak kami sebagai pribadi. Namun, dalam pertemuan di Departemen Luar Negeri Jepang, 5 Agustus 1991, Tuan menghadapi kami seakan-akan sebagai orang-orang yang mewakili negara kami lalu menghubungkan kami dengan Perjanjian Pampasan Perang pada 1958 yang ditandatangani Menlu Indonesia dan Menlu Jepang. Padahal, kedatangan kami tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Juga kepada Tuan Kaoru Hatta. Tuan katakan bahwa dalam Perjanjian Pampasan Perang itu kerugian yang diderita Heiho telah dibayar. Padahal, jelas dalam perjanjian itu tidak ada butir atau klausul yang memuat soal Heiho. Maka, dalam pertemuan Forum on War Repatriation for The Asian-Pacific Region di Tokyo, awal Agustus silam, eks-Heiho Indonesia mengajukan beberapa tuntutan. Antara lain, agar pemerintah Jepang membayar sebagian gaji kami yang dahulu belum kami terima, memberikan pesangon, menganggap Heiho sebagai tentara resmi (reguler) Dai Nippon seperti Heitai, dan menaikkan pangkat kami. Bilamana pemerintah Jepang menganggap soal Heiho telah selesai dengan dasar Perjanjian Pampasan Perang itu, berarti hak-hak individu eks-Heiho telah dirampas. Dan bilamana Pemerintah Jepang tidak mau membayar sebagian gaji selama menjadi Heiho yang belum kami terima, berarti Pemerintah Jepang menggelapkan hak-hak individu kami. S. TASRIP RAHARDJO, S.H. Direktur Forum Pusat Komunikasi Eks-Heiho Indonesia Blok C-V no. 8 Jatikramat Indah II Pondok Gede Jakarta 17421
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini