Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM TEMPO Edisi 12-18 Mei 2003, rubrik Buku, dimuat artikel berjudul Konflik Besar, Analisis Minimal. Tulisan yang dibuat oleh Prasetyohadi ini mengupas buku Media dan Konflik Ambon karya Eriyanto, editor di majalah Pantau. Saya sungguh tertarik untuk memberikan komentar. Dengan mengambil contoh Suara Maluku dan Ambon Ekspres, dalam buku dan juga artikel itu tergambar peran media massa dalam konflik Ambon.
Sebagai orang yang ikut membidani lahirnya Ambon Ekspres, saya sangat tidak sependapat dengan pandangan sementara pihak yang selalu menjadikan media massa sebagai kambing hitam yang ikut memperpanjang konflik. Kebetulan saja Ambon Ekspres, yang berdiri pada 12 Juli 1999, dikelola oleh orang-orang Islam, dan tidak serta-merta pula media ini menjadi pesaing bagi Suara Maluku.
Saya tidak sependapat dengan artikel itu, terutama paragraf kedua. Di situ dinyatakan, antara lain, karena rumahnya terbakar, anak-istrinya mengungsi, atau saudara sekampungnya diserang, wartawan tak lagi menempatkan diri di tengah konflik. Apa pun alasannya, saya kira wartawan di Maluku masih punya hati nurani.
Dalam peristiwa pembunuhan puluhan warga Loloda di atas KM Sinar Jaya II pada 2000 dan pembunuhan ratusan warga di lokasi transmigrasi Tobelo, memang ada keluarga wartawan yang menjadi korban. Meski demikian, tidak sampai hati hanya karena saudara atau sepupunya dibunuh, mereka lantas bersikap tidak netral. Itu saya kira naif.
Terlalu subyektif kalau saya mengatakan bahwa koran Ambon Ekspres tidak berpihak atau tak provokatif selama konflik. Semua orang pasti tahu bahwa akibat konflik, orang di Ambon, baik di pemerintahan, swasta, TNI/Polri, maupun media massa, tak ada yang tidak larut dalam konflik. Untuk mengukur kadar keberpihakan itu perlu ada takaran yang jelas, sehingga dari situ kita bisa mengetahui seberapa jauh kadar provokasi yang dilakukan media massa, termasuk Ambon Ekspres.
Saya yakin, konflik ketika itu terjadi bukan karena media. Peristiwanya sendiri terjadi jauh sebelum media memberitakannya. Makanya aneh jika pers selalu disoroti menjadi contoh dari sebuah konflik yang berkepanjangan di Maluku. Saya heran, mengapa kok pers yang acap menjadi kambing hitam. Dan lebih aneh lagi, mengapa kasus Suara Maluku dan Ambon Ekspres acap menjadi contoh. Bukankah semua tahu bahwa konflik di Maluku itu terjadi karena banyaknya elemen yang ikut bermain di sana?
AHMAD IBRAHIM
Pemimpin Redaksi
Harian Pagi Ambon Ekspres
Jalan Sultan Babullah 9, Ambon
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo