Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahad petang, sehari menjelang Sidang Umum MPR, sebelas tahun silam. Ruang pertemuan utama Hotel Sahid Indonesia tiba-tiba saja tersaput kegaduhan. Ratusan orang berjas dan bersafari berdesakan. Mereka adu cepat menuju meja pemimpin sidang.
Ada door prize? Tidak. Anggota dari Fraksi Karya Pembangunan itu berebut menorehkan tanda tangan pada blangko dukungan. Mereka secara bulat mencalonkan Soeharto dan Try Sutrisno sebagai presiden dan wakilnya. Tak ada perdebatan menegangkan. Semua orang seperti berbalapan ikrar kesetiaan. Ikrar untuk memilih pada zaman yang tak ada pilihan.
Ya, saat itu memang tak ada pilihan. Presiden dan wakilnya bisa dipastikan jauh sebelum pemilihan. Calon tak perlu mengungkapkan visi, misi, apalagi program. Jika terpilih, tinggal bertitah. Semuanya siap melaksanakan. Gaya khas rezim yang dipuncaki para serdadu.
Kini situasinya berbeda. Perdebatan terjadi di mana-mana. Ada kelompok?dengan ingatan cukup panjang?yang bergerak menentang kembalinya militer dan gaya kepemimpinannya. Sebaliknya, ada juga yang menyambut tentara dengan sukacita. Ini proses pemelajaran demokrasi. Kalaupun belum sempurna, pilihannya jauh lebih banyak. Suara publik pun kini lebih berharga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo