Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, 5 Oktober 1979. Puluhan pelajar berebut menyalami Jenderal Muhammad Jusuf, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), seusai peringatan hari ulang tahun ke-34 ABRI. Tokoh yang satu ini sedang populer. Mungkin ucapan-ucapannya yang jujur dan terkadang terasa ”melawan arus” dirasakan bagai angin segar oleh masyarakat.
Dua pekan sebelumnya, contohnya, dia melarang semua perwira ABRI aktif melakukan usaha perdagangan secara langsung. Tujuannya adalah agar para perwira bisa memusatkan perhatian pada tugasnya. Yang tidak mematuhi ketentuan ini akan diberhentikan atau pensiunnya dipercepat.
Praktek bisnis tentara memang sudah dianggap biasa, meskipun bukan tanpa kritik dan keluhan dari masyarakat. Usaha tentara dianggap bisa menyaingi pihak swasta secara tak sehat. Padahal, sejak 1974, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 sebenarnya telah melarang praktek ini.
Bukan cuma bisnis pribadi yang disorot Jusuf. Para perwira yang bertugas di Yayasan Kartika Eka Paksi perlu pula menarik diri. Yayasan milik Angkatan Darat yang didirikan pada 1968 ini memayungi sekitar 14 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, dari perkayuan sampai tekstil.
Kini keterlibatan perwira ABRI—sekarang telah berubah menjadi TNI—disorot lagi. Soalnya, masih ada perwira aktif, karena posisinya di Angkatan Darat, terlibat langsung mengurus Yayasan Kartika Eka Paksi. Selain itu, telah muncul undang-undang baru yang melarang yayasan berbisnis atau memiliki lebih dari 25 persen saham di sebuah perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini