NEGERI ini memang tidak begitu pandai menyadari kelebihan isi-nya. Dan jika Laksmi Pamuntjak meluncur di bumi Indonesia yang semrawut ini—bukan di Singapura yang sudah rapi atau di AS yang sudah maju—pasti itu ada tujuannya. Setidaknya tujuan agar kita bisa menghargai kekayaan tanah air bernama Indonesia ini, yang luar biasa dengan berbagai rasa. Laksmi menunjukkan itu dengan cintanya kepada makanan dalam buku Jakarta Good Food Guide 2002-2003.
Lahir di Jakarta 31 tahun silam, Laksmi menempuh pendidikan formal Jurusan Asian Studies and Political Science di Murdoch University, Perth, Australia. Tak aneh jika ia sangat fasih berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris (tanpa cacat) dan Indonesia (tanpa cacat). Meski sesekali ia pernah mencoba menulis kolom politik—dan akan sangat mampu menjadi kawan debat politik yang luar biasa—pembaca Indonesia selama ini lebih mengenalnya sebagai pianis dan belakangan sebagai food critique alias penulis buku Jakarta Good Food Guide, yang pertama kali dia luncurkan tahun 2001 silam.
Siapakah sesungguhnya Laksmi Pamuntjak? TEMPO mencoba mengikuti hidupnya hanya dalam beberapa jam menelusuri beberapa restoran. Siang itu, bersama putrinya, Nadia Larasati (enam tahun), Laksmi mengajak TEMPO menikmati makanan di sebuah restoran Korea. Sembari membuat orat-oret di atas serbet kertas—karena dia tak ingin manajernya memberikan pelayanan yang berlebihan—Laksmi mengaku, "Sejak berusia 12 tahun, saya tahu saya ingin menulis." Dia mengakui, setelah dewasa, karena minatnya begitu banyak, mulai isu politik, film, hingga soal gourmet, dia menulis berbagai tema di harian The Jakarta Post.
Dari rutinitas mengisi harian The Jakarta Post itulah lahir ide untuk menulis sebuah buku yang menjadi panduan bagi penduduk atau pengunjung Jakarta yang ingin menikmati makanan enak. Selain itu, ia mengaku telah terinspirasi oleh perilaku almarhum budayawan Umar Kayam, yang juga dikenal sebagai penikmat makanan-makanan yang mak nyus. "Kayam itu seperti pengawal bagi makanan-makanan enak," kata Laksmi.
Tak kurang dari 575 resto, kafe, dan warung yang dia kunjungi. Setiap saat, ia mengerahkan roso untuk menikmati makanan, atmosfer, dan arsitektur lengkap dengan pelayanan para pelayannya. Dana Rp 85 juta yang sebagian keluar dari koceknya dan sebagian dari sponsor—karena Laksmi pantang menerima iklan dari restoran yang ditulisnya untuk menjaga independensi—serta delapan kilogram berat badan yang sempat melebarkan tubuhnya itu memang sebuah risiko yang dihadapinya. Ia ingin menunjukkan cinta kepada kehidupan; cinta kepada makanan.
Bagi Laksmi, ada perbedaan antara "cinta" dan "suka" kepada makanan. Simaklah apa yang ditulisnya tentang kecintaan Umar Kayam terhadap makanan di majalah ini saat sastrawan itu berpulang: "…kata 'suka' bersifat kuantitatif (yang terbayang adalah seseorang yang gembrot, lahap, seperti babi hutan), dan kata 'cinta' merujuk kepada sesuatu yang kualitatif (seorang gourmet atau gastronome tidak bisa tidak mencintai makanan, karena minatnya terhadap makanan dilandasi apresiasi terhadap kenikmatan yang dihasilkan). Orang yang 'suka' makan juga tidak otomatis harus mencintai apa yang dimakan; seperti halnya dalam mencintai seseorang, cinta menimbulkan semua yang mulia itu: toleransi, kepedulian, kehangatan, dan kelemahlembutan, tapi juga menghadirkan semua yang agresif dan cenderung bermata-dua: nafsu, berahi, obsesi. Namun, dalam arti semurni-murninya, cinta melibatkan keluruhan diri dalam yang dicintai. Dan biasanya cinta macam itu merasuk ke dalam, menjadi bagian dari hidup."
Karena begitu seriusnya Laksmi dalam membuat sesuatu—sama seriusnya dengan jabatannya sehari-hari sebagai Direktur Operasional Toko Buku Aksara—ketika ia menyelinap ke berbagai restoran bersama TEMPO, baik yang mewah seperti Lan Na Thai, warung nasi uduk Gondangdia, maupun yang funky seperti Izzy Pizza, dia akan mengucapkan dengan fasih bahwa chef (koki)—yang dianggap sebagai roh sebuah rumah makan—A sudah berpindah tempat ke resto B, atau koki C sudah menurun mutu masakannya. Ia juga fasih mengenali arsitektur dan interior setiap kafe yang dikunjunginya, seperti dia fasih dengan musik klasik yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Kemampuannya mencintai hidup—di Jakarta, di Indonesia—yang sumpek ini, dan keinginannya untuk membagi rasa itu, pasti menjadi penyebab kenapa dia harus lahir, tumbuh, dan hidup di negeri ini.
Ignatius Haryanto/LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini