Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demam gaya hidup Boy kian menular. Dialah ikon pemuda masa kini. Di malam hari, para pemimpi Boy itu biasa nongkrong di pusat-pusat keramaian, disko, pub, dan restoran di hotel berbintang. Pakaian mereka tak kalah keren dengan para bos perusahaan bonafide. Pakaian buatan negeri seberang, tata rambut olahan salon, dan mobil mutakhir.
Di bilangan Kebayoran Baru, yang termasuk rute ngeceng para ”si Boy” Ibu Kota, mereka ngeceng dengan mobil—yang tentu saja dibelikan orang tua mereka. Para pemuda melarat? Sebisa mungkin bergaul dengan yang kaya agar bisa ikut menumpang di mobil mewah. Boy, dengan segala isinya yang gemerlap, telah menyihir para pemuda, tidak hanya di Jakarta.
Entah mana yang benar. Apakah Boy dalam film Catatan Si Boy I dan II yang mewakili kondisi anak muda saat itu, ataukah Boy yang menjadi panutan? Yang jelas, film ini laku keras, menjerat lebih dari satu juta penonton bioskop, dan membuat si karakter utama bak pemuda sempurna. Jantan, sopan, menawan, gaul, rajin beribadah, dan masih banyak lagi.
Era si Boy telah berlalu. Pemuda masa kini bukan lagi pemuda yang sibuk keluyuran menghabiskan uang orang tua—meski tentu masih banyak juga yang tetap begitu. Sebuah survei menyebutkan, pemuda dan pemudi masa kini cenderung ingin tampil beda dan mandiri. Tanpa mengurangi pergaulan atau hobi, mereka bahkan mampu menjadikan hobinya menjadi mesin pengeruk uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo