TEMPO, 23 Juni 1973

JAKARTA di usia 446 tahun. Gubernurnya, Ali Sadikin, tengah menghadapi ujian. Keputusannya mem-bolehkan segala macam bentuk perjudian dan ”kemewahan” telah memicu kontroversi. Salah satu alasan kritik terhadap kasino, klub malam, pacuan kuda, gedung bioskop megah, dan yang semacam itu ialah semua itu menampakkan kepincangan kekayaan. Selain itu, banyak orang khawatir eksesnya akan merambat ke mana-mana. Menghadapi tekanan itu, Gubernur Ali Sadikin menjawab dengan filsafatnya yang ter-kenal: yang kuat membantu yang ”lemah”. Tempat-tempat mewah itu ia adakan justru untuk ”diperas” pajaknya guna biaya pelayanan terhadap warga kota yang lain—yang sebagian besar tidak berada. Setelah melewati kelokan panjang perdebatan, Bang Ali akhirnya menyerah. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) melarang segala macam bentuk perjudian di seluruh wilayah Jakarta. Pengusaha tempat perjudian pun terpaksa menyimpan kartu-kartu serta menggudangkan mesin-mesin jackpot dan roda-roda kasino mereka. Ali Sadikin tak kurang akal. Untuk menambal bocornya sumber pemasukan setelah judi dilarang, dia berencana menaikkan pajak sampai delapan kali lipat. Alternatif lain: pungutan pajak atas tanah dan rumah. Jakarta di usia 475 tahun. Gubernur Sutiyoso mengikuti jejak pendahulunya. Dia mengusulkan agar judi sebaiknya dilokalisasi di Kepulauan Seribu. Alasannya, daripada ”pajak” atas judi liar masuk ke kantong oknum-oknum, lebih baik pemerintah daerah saja yang mengelolanya. Sampai pekan lalu, ide Sutiyoso ini masih menimbulkan pro dan kontra.