Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menjadi Turis di Negeri Sendiri

Memoar Sobron Aidit: Gajah di Pelupuk Mata ini, menurut penerbitnya, bisa dianggap sebagai sebuah renungan pengarangnya tentang banyak hal yang diintip dari kejauhan, baik dari jarak waktu maupun jarak tempat.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

B>Memoar Sobron Aidit: Gajah di Pelupuk Mata Penulis : Sobron Aidit Penerbit : Jakarta, Grasindo, 2002 Tebal : viii + 270 hlm. Sobron Aidit lahir di Belitung pada 1934. Sastrawan Lekra ini menghabiskan masa remaja dan dewasa di Jakarta sampai 1963, sebelum 10 tahun bekerja di Beijing sebagai guru besar di Institut Bahasa Asing Beijing dan penyiar di Radio Beijing. Dari Tiongkok, dia kemudian hijrah ke Paris, Prancis, dan bermukim di sana karena keterpaksaan. Ia tidak bisa kembali ke Indonesia sejak 1966 karena termasuk orang yang harus ditangkap seperti 10 ribu rakyat Indonesia lainnya, atau dibunuh seperti halnya nasib tiga juta orang yang—menurut pengakuan Sarwo Eddy—dibantai Orde Baru. Ia bisa saja pulang, tapi sesampai di tanah airnya ia harus siap menjalani pemeriksaan (baca: penyiksaan), mungkin diadili atau disekap dalam penjara. Mengingat situasi politik yang menakutkan itu, ia memilih tinggal di luar negeri dan akhirnya menjadi warga negara Prancis. Jika pun datang ke Indonesia, dia tak lebih adalah sama dengan turis asing lainnya, hanya melancong, menjenguk keluarga, sahabat, dan harus kembali "mudik" ke Prancis karena masa berlaku visanya sudah habis. Dalam beberapa kali perjalanannya ke Indonesia itu, Sobron merekam, dengan hatinya, luapan kangen serta cintanya yang tidak sampai pada tanah air dan rakyatnya. Juga luapan perasaan kecewa, trenyuh, dan marah, serta sketsa potongan-potongan pengalaman perjalanan baik fisik, mental, maupun spiritualnya. Ia sempat berkelana (istilahnya "berlibur") ke kampung halamannya di Belitung, Cibubur (Jakarta), Sanur, Nusa Dua di Bali, dan Pelabuhan Ratu. Di Belitung, dia punya banyak ke-luarga dan sahabat. Di pulau itu memang banyak pengalaman hidupnya bersemayam, baik sebagai anak-anak, seniman, mahasiswa, guru, maupun aktivis gerakan kebudayaan (Lekra). Dalam kepalanya, Sobron merangkai semua kenangan, keinginan, endapan bawah sadar, aspirasi politik, pengalaman hidup di Tiongkok ataupun Prancis, keluarga, dan pekerjaan. Setelah pensiun dari Restoran Indonesia yang dibangunnya di Paris dan punya waktu luang, tiba saatnya bagi dia menghidupkan kembali kepengarangannya yang telah menghasilkan beberapa buku, salah satunya adalah Gajah di Pelupuk Mata ini. Buku ini berisi 50 catatan yang mengangkat berbagai hal dan oleh penerbitnya disebut personal essay. Buku ini ditulis dari April 1999 sampai Februari 2000. Memoar Gajah di Pelupuk Mata dibuka dengan pengalaman hidupnya serumah dengan Chairil Anwar di Gondangdia Lama Dalam, Jakarta, pada 1948, dan kekagumannya terhadap penyair yang meninggal karena penyakit menular seksual itu. Sobronlah yang—bersama S.M. Ardan—pertama kali menyelenggarakan peringatan hari meninggalnya Chairil pada 1951 di Balai Prajurit sebagai tanda kekagumannya terhadap penyair Aku itu. Bagi Sobron, Chairil bagaikan angin yang menghidupkan semangatnya. Sobron juga mengisahkan anekdot kecil tentang Chairil, yang suatu ketika di-sebutnya sebagai "maling kecil". Chairil ketika itu bekerja sebagai redaksi di Mimbar Indonesia. Ketika Sobron menanyakan honor tulisannya, Chairil menjawab ringan, "Yah, kan kita sudah makan sate waktu itu. Ingat enggak, waktu malam-malam kubawakan makanan, dan kau dengan lahapnya makan sate pakai lontong? Ingat enggak?" (hlm. 5). Membaca buku ini, kita juga diajak menyusuri masa kecilnya di Belitung, yang kini sudah banyak berubah. Rasa prihatin, kangen, dan jengkel men-cekam ketika ia harus tinggal di hotel karena tak satu pun anggota keluarganya yang mau menampungnya di rumah mereka karena takut terkena "Litsus Bersih Lingkungan". Sobron me-nulis dalam Menjadi Asing di Kampung Sendiri (hlm. 44-49) antara lain: "Terakhir aku berada di kampungku pada 1961, kemudian setelah "terdampar di luar negeri" selama 33 tahun, barulah aku datang lagi pada 1996, artinya aku berpisah dengan kampungku selama 33 tahun…. Dan Pulau Bitung, terutama yang kulihat ibu kotanya Tanjungpandan, menjadi sepi. Pergedungan dan perumahan sudah tidak terawat baik. Sekitar perumahan dan pergedungan penuh ilalang, semak belukar, dan kotor. Pemandangan yang dulu indah, bagus, dan menarik, kini bagaikan perempuan tua yang sudah sangat uzur, yang dulu bukan main cantik menariknya (hlm. 45). Keluargaku takut dan khawatir dengan keberadaanku di Belitung, karena takut tersangkut "tak bersih lingku-ngan", dan sangat khawatir gara-gara hanya bertemu sebentar saja bisa-bisa hilang mata pencaharian, hilang pekerjaan, di PHK-kan…. Betapa sedihnya kami, aku, dan keluargaku, tidak ngomong tetapi saling mengerti. Tidak berani mengajak menginap tetapi berani datang ke hotel buat ngobrol dan berkangenan, berani mengajak Loulou cucuku.…. Betapa ketika itu aku menjadi sangat asing di kampung halamanku, namun demikian aku harus mengerti dan memahaminya mengapa semuanya itu bisa terjadi." Kisah mengenaskan seorang eksil yang terasing juga diceritakan dalam Kecemasan dan Kekhawatiran (hlm. 55-57) sebagai berikut: "Ketika itu kami belum bisa pulang karena belum punya paspor. Sedangkan paspor yang kami miliki ketika itu ada tulisan yang sangat mencolok: 'berlaku untuk seluruh dunia, kecuali Republik Indonesia…,' yang justru ke sanalah kami paling mau dan rindu." Sobron juga sangat kecewa pada—tapi dapat memahami—sikap teman-teman dekatnya. Ketika berada di Jakarta, dia menelepon teman-temannya yang pernah menginap di rumahnya di Paris dan pernah menawarkan untuk mampir ke rumahnya kalau sedang berada di Jakarta. Ternyata jawaban yang diperoleh Sobron, "Waduh, sayang Mas, ya, akhir-akhir ini saya bukan main sibuknya dengan pekerjaan kantor. Rapat setiap hari, dan begitu pulang sudah larut malam. Kapan ya sebaiknya bisa ketemu?" Dari temannya yang sejak kecil sangat akrab dan sering bersurat-suratan, Sobron memperoleh jawaban: "Aduh, kapan ya kita bisa ketemu? Saya ini sedang sibuk memperbaiki rumah, renovasi agak besaran. Jadi sekarang bagaikan kapal pecah rumah kami ini. Sangat tak sedap dilihat mata." Kepada kedua temannya itu, Sobron selalu memberikan jawab: "Ya, kapan-kapan sajalah. Kalau sampean punya waktu saja nanti. Pokoknya saya kan dalam dua-tiga minggu ini masih di rumah ini. Bisa sampean menelepon saya kalau ada waktu dan sempat." Ternyata, sampai ia pulang ke Paris, tak satu pun temannya menelepon. Sobron menceritakan juga pengalamannya bersekolah di Taman Siswa dengan tokoh sentral lembaga pendidikan itu, Pak Moh. Said. Dari Taman Siswa, Sobron mendapat pelajaran bagaimana mempertanggungjawabkan tindakannya yang tidak benar dan menerima hukuman atas perbuatannya memalsu tanda tangan Pak Said untuk mengambil uang di bendahara sekolah guna membiayai sebuah acara yang sudah disetujui oleh Pak Said. Dari beberapa ceritanya, seperti Mistik di Keluargaku, Spesialisasi, Oleh-Oleh dari Tiongkok dan Praktek Feng Shui, kita mendapat kesan bahwa Sobron sangat percaya pada ilmu paranormal, ilmu arah angin dan air. Feng shui, menurut Sobron, "…mengemukakan tentang menangkap napas kosmis naga yang vital, atau chi, yaitu tenaga yang beredar dan bergerak dalam lingkungan, di dalam rumah dan di luar rumah, di tanah, di air di pegunungan. Chi ada di mana-mana, suatu energi. Kata orang, chi itu adalah tenaga dalam" (hlm. 96). Sobron juga menceritakan pengalamannya menginap di rumah seorang keponakan: "…selama dua hari dua malam aku menginap di sana, sama sekali tidak bisa tidur, rasa gelisah dan panas, dan ada rasa mengerikan. Ketika aku tanyakan ada apa dengan kamar ini, keponakanku menjawab, ternyata ada beberapa orang yang pernah menginap di kamar itu, yang merangkap kamar buku, perpustakaan, juga tidak bisa tidur dan merasa gelisah yang amat sangat. Jadi bukan aku yang tak bisa tidur di kamar itu…. Kucari sebab-sebabnya. Ternyata dekat talang loteng ada tiga buah senjata tombak, disimpan di kamar perpustakaan itu. Senjata tombak itu ternyata sudah berkarat, tetapi masih kuat dan kukuh. Sekali kupegang, terasa magnetnya mendebarkan jalan darahku. Salah satu dari tombak itu 'sudah pernah makan darah orang'" (hlm. 97). Sesudah tombak itu dipindahkan atas nasihat Sobron, orang yang tidur di kamar tersebut menjadi tenang dan lelap. Sobron selama di Tiongkok tidak hanya belajar feng shui, tetapi juga akupunktur (tusuk jarum) dan taicuan atau silat lemah. Melalui bukunya ini, Sobron juga memberikan klarifikasi tentang ayahnya, yang bukan Masyumi, tetapi menjadi anggota DPR sebagai wakil Partai Komunis Indonesia. Juga bagaimana hubungannya dengan Achmad Aidit, yang kemudian dikenal sebagai D.N. Aidit, tokoh PKI yang sudah dibantai tentara entah di mana. Setelah selesai membaca ke-50 tulisannya, akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa buku ini semacam autobigrafinya. Sebab, pembaca akan mengetahui sejarah perjalanan hidup Sobron, perspektif politiknya, siapa saudara-saudara, siapa istrinya, meninggal di mana, berapa anaknya, laki-laki atau perempuan, sudah punya cucu berapa, apa saja yang dikerjakannya di Prancis, hobinya, pendapatnya yang miring tentang AIDS, konflik apa yang terjadi ketika keponakannya menikah dengan jenderal, dan banyak hal lainnya yang menyangkut dirinya. Pemahaman kita tentang seorang eksil politik seperti Sobron menjadi lebih luas. Sobron telah hidup kembali sebagai pengarang, memperkaya wawasan berpikir kita. Tapi, mungkin karena sudah terlalu lama hidup di luar Indonesia, bahasa Indonesianya menjadi agak-agak kacau. Terkadang kita harus berhenti sejenak untuk memahami makna kalimat yang ditulisnya. Putu Oka Sukanta (penulis, akupunkturis)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus