Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta, 1 Oktober 1992. Hari itu, perhatian terpusat ke Gedung MPR/DPR di Senayan. Inilah hari pelantikan 1.000 orang anggota MPR/DPR, yang disiarkan langsung oleh TVRI.
Seribu anggota MPR/DPR yang dilantik itu berasal dari beragam unsur. Sebanyak 400 orang anggota DPR terpilih dari tiga kontestan pemilihan umum dan 100 orang diangkat dari Fraksi ABRI. Sisanya, 500 orang, adalah anggota MPR. Ada anggota majelis perimbangan hasil pemilu, ada utusan golongan, dan ada utusan daerah. Sebagian besar diangkat dan bernaung di payung Golkar. Seribu wakil rakyat inilah yang akan menentukan agenda sidang pada Maret tahun berikutnya untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Juga menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Tempo, ketika itu, mengangkat laporan soal sejumlah nama yang terpilih dan masuk daftar anggota yang diangkat. Sebagian besar dari mereka adalah tokoh muslim yang punya peran penting di masyarakat: ulama, cendekiawan, birokrat, pemuda, pendidik, pengusaha, dan lain-lain. Sampai-sampai, menurut sejumlah pengamat, Golkar tampak semakin hijau—istilah untuk menyebut kelompok Islam.
Pekan lalu, 1 Oktober 2004, adegan yang sama terulang. Bedanya, kali ini tak ada lagi wakil rakyat yang terpilih karena proses pengangkatan. Semuanya dipilih melalui pemilihan umum. Komposisi wakil rakyat di parlemen juga berubah. Tidak ada lagi separuh DPR separuh MPR.
Pada para wakil itulah rakyat Indonesia menggantungkan harapan. Tapi sejarah menunjukkan, wakil-wakil di Senayan tak selalu mewakili kepentingan rakyat jelata. Apakah para anggota legislatif baru ini juga demikian? Sejarah yang akan mencatat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo