Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UDARA dingin musim gugur langsung menyergap ketika burung besi bernama Scandinavian Air mendarat di bandar udara Helsinki. Suhu sekitar delapan derajat Celsius membuat tubuh saya, yang biasa dipanggang matahari Jakarta, menggigil. Saya cepat-cepat mengeluarkan jaket. Teringatlah saya pada nasihat karib saya, seorang gadis Bangka yang menikah dengan pria Swedia dan kini menetap di Stockholm. Ia sebelumnya mewanti-wanti lewat sepotong e-mail-nya: kalau ke Helsinki, jangan lupa bawa jaket, udara kini sedang dingin-dinginnya. Jangan lupa pula mandi sauna di sana….
Finlandia bisa dibilang negeri sauna. Hampir setiap rumah di negeri seluas 338 ribu kilometer persegi itu memiliki sauna. Ini salah satu cara penduduk membersihkan sekaligus menghangatkan tubuh mereka. Maklum, selama setahun, negeri yang terletak di pinggir Laut Baltik itu hanya disinari cahaya matahari paling lama tiga bulan.
Helsinki bukan kota yang besar. Ibu kota Finlandia itu luasnya sekitar 185 kilometer persegi dan warganya tak lebih dari 600 ribu orang. Kota ini mempunyai sejarah masa lalu yang panjang. Dibangun oleh Raja Swedia Gustav Vasa pada 1550, kota ini pernah diserbu dan dikuasai Rusia dua kali. Pertama kali Rusia merangsek ke wilayah ini pada 1809 dan kedua saat meletus Perang Dunia I. Finlandia sendiri memproklamasikan kemerdekaannya pada 6 Desember 1917. Jejak-jejak kejayaan Rusia masih terlihat di sana-sini. Misalnya patung Alexander II, yang berdiri gagah di depan Gereja Katedral, atau patung Tsarina, permaisuri Tsar Nicholas I, di pinggiran Laut Baltik.
Saya menginap di Hotel Kamp, sebuah hotel di jantung Helsinki yang dibangun pada 1884 oleh Carl Wilhelm Kamp. Arsitekturnya bergaya neoklasik dengan dominasi warga cokelat dengan kayu tebal-tebal. Memasuki hotel ini, saya sempat merinding. Suasananya mengingatkan pada museum atau lorong-lorong di Keraton Surakarta, yang selalu melemparkan pikiran orang ke masa lalu. Tapi untunglah, suasana abad ke-18 atau pernik-perniknya tak muncul satu pun di kamar hotel. Kamar hotel bintang lima ini berfasilitas modern.
Dulu, Kamp merupakan hotel terbesar di Finlandia. Kedai kopinya, Kamp Coffee Shop, terkenal sebagai tempat kongko para pemusik, penyair, dan seniman terkemuka di Helsinki. Kamp juga menjadi tempat transit para pebisnis yang akan pergi ke Kota Stockholm atau St. Petersburg, Rusia. Saat itu Wilhelm Kamp, sang pemilik hotel, menyediakan kereta kuda untuk tamunya yang akan pergi ke pelabuhan kapal yang letaknya tak lebih dari 500 meter dari Hotel Kamp. Dari sini para tamu biasa berlayar ke Stockholm, memakan waktu sekitar 15 jam.
Finlandia adalah negeri hutan. Delapan puluh persen daratan negeri ini terdiri dari hutan cemara, pinus, pohon birch, dan danau-danau. Finlandia menjadi salah satu negara yang terbagus dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pemerintah memberi subsidi kepada masyarakat untuk mengelola hutan dan sungai-sungai. Kesadaran warga Finlandia untuk melestarikan lingkungan pun tinggi. Tak mengherankan jika negeri ini selalu dijadikan model dan bahan studi banyak negara untuk urusan mengelola dan melestarikan lingkungan.
Karena hutan dikelola dengan baik, sejak puluhan tahun silam Finlandia dikenal sebagai pengekspor terbesar kayu dan bubur kayu pulp. Kini tak hanya kayu yang dijual oleh negeri berpenduduk sekitar 5 juta ini. Setidaknya 10 tahun terakhir, Finlandia juga merupakan "pengekspor" terbesar handphone merek Nokia. "Anda hanya mengenal Nokia sebagai handphone yang berasal dari Finlandia, padahal di sini Nokia juga membuat televisi dan juga ban mobil," ujar Heli Merja Lumes, perempuan Helsinki yang sehari-hari bekerja sebagai pemandu wisata. Kendati Finlandia adalah "negeri Nokia", aneh bin ajaib, saya tidak menemukan baliho Nokia satu pun di jalanan. Tak hanya iklan Nokia, juga iklan lainnya. Pemerintah kota rupanya berpendapat papan-papan reklame semacam ini mengganggu lingkungan.
Kenyamanan saya rasakan pula saat menjelajahi jalan-jalan di Helsinki yang resik. Tata kotanya apik. Jalan-jalannya dibuat dari con-block sehingga air hujan dengan cepat meresap ke tanah. Setiap jalan selalu punya jalur khusus untuk sepeda dan orang berjalan kaki. Saya tidak melihat sampah menumpuk dan got yang kumuh. Yang saya temukan justru cemara-cemara yang berderet di setiap ruas jalan dan meneduhi bangku-bangku kayu berwarna cokelat tua di bawahnya. Tapi saya jarang melihat orang duduk di bangku yang bersih itu. Saya pernah mencobanya di suatu siang. Tak lebih dari setengah menit, badan saya langsung menggigil dan hidung seperti menjadi batu.
Transportasi utama warga kota adalah trem, yang karcisnya 1 euro atau sekitar Rp 11 ribu, dan metro (kereta bawah tanah), yang berkarcis 2 euro, serta sepeda. Tak ada sepeda motor sebiji pun yang tampak berkeliaran di jalanan. Selintas saya teringat Jalan Sudirman di Jakarta. Di kawasan segi tiga emas itu, ratusan tukang ojek setiap hari berjubel di sepanjang pintu gedung-gedung perkantoran. Bukan hanya membuat pemandangan tak sedap, tapi juga membuat orang tak nyaman berjalan di trotoar.
Di dekat Hotel Kamp, ada sepotong jalan bernama Kluuvikatu. Ada dua larik cemara di kanan dan kiri jalan yang panjangnya sekitar 300 meter tersebut. Tak ada kendaraan lalu-lalang di sini. Yang ada hanya bangku-bangku panjang dan manusia yang hilir-mudik. Para pria nyaris semuanya memakai jaket atau jas dan dasi. Perempuannya, dengan pipi yang halus kemerahan, memakai baju tebal atau jaket selutut. Syal warna-warni melingkar di leher para perempuan itu, sementara sepatu berhak tinggi membungkus kaki mereka. Mereka berjalan dengan tenang, sesekali saling menyapa atau melempar senyum. Saya senang berdiri di tepi Kluuvikatu karena seperti berada di bibir catwalk.
Di ujung Kluuvikatu ada Esplanade Park, taman paling terkenal di Finlandia. Taman ini dibuat untuk mengenang seniman rakyat Finlandia, Vart Land, yang meninggal pada 1885. Di musim panas, taman ini menjadi tempat wisata warga Helsinki. Pada saat itulah parade musik digelar di taman ini. Dari Esplanade Park ini, kita berjalan kaki ke Katedral Uspenki, gereja Ortodoks yang dibangun pada awal abad ke-18. Di depan gereja ini terdapat patung Tsar Alexander II, Raja Rusia. Seputar tempat ini setiap hari ramai dikunjungi para wisatawan lokal dan asing. Memandang patung Alexander itu kita seperti diingatkan akan kebesaran Tsar, kejayaan Kerajaan Rusia.
Para pelancong juga bisa mengunjungi Gedung Senat dan Universitas Helsinki, yang terletak di kiri dan kanan lapangan Alexander. Para mahasiswa Helsinki lebih banyak menggunakan sepeda sebagai alat transportasi mereka. "Sepeda tidak merepotkan, dan ramah lingkungan," ujar Arto Teras, mahasiswa Jurusan Elektro Universitas Helsinki. Seperti mahasiswa atau murid sekolah mana pun di Finlandia, Arto tak membayar sepeser pun untuk biaya kuliahnya. "Semua gratis, kecuali buku pelajaran yang beli sendiri," tuturnya.
Sekitar 300 meter dari Patung Alexander terdapat pelabuhan Helsinki. Di sini terdapat sejumlah kapal yang khusus untuk mengantar para pelancong yang ingin menikmati keindahan pantai Baltik atau sungai-sungai di pinggiran Helsinki yang bersih dari sampah. Sekali berkeliling, tarifnya sekitar 15 euro (sekitar Rp 165 ribu). Di dekat pelabuhan ini pula terdapat pasar rakyat. Di situ berdiri patung Tsarina Alexandra, istri Tsar Nicholas I, yang dibuat pada 1835 sebagai kenangan atas kunjungannya ke Helsinki. Patung itu masih bersih dan terawat.
Patung, sarana transportasi, taman kota dengan cemara-cemaranya merupakan tiga hal yang mendapat perhatian utama pemerintah Kota Helsinki. Patung-patung yang didirikan di Helsinki untuk mengenang seorang budayawan yang telah meninggal terlihat di mana-mana. Begitu bersihnya bus dan trem serta metro, sehingga orang lebih betah naik kendaraan ini ketimbang bawa mobil sendiri.
L.R. Baskoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo