Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Tentang orang utan tanjungputing

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya tercengang membaca berita tentang orang utan di Taman Nasional Tanjungputing (TEMPO, 18 Desember, Lingkungan). Di situ disebutkan orang utan terbiasa makan roti dan susu. Juga tentang penyadapan darah 30 orang utan, dimandikannya mereka secara rutin, dan kematian 22 dari 85 ekor orang utan yang diterima dari PHPA. Saya sudah lama tahu tentang orang utan, sejak tahun 1983. Bahkan, saya pernah merawat orang utan selama lima tahun. Jadi, saya tahu berita itu tidak benar. Saya tak tahu dari mana informasi yang dapat mengganggu opini masyarakat itu didapat. Dalam merawat orang utan, saya tidak memandikan anak-anak orang utan kecuali bila anak-anak orang utan itu terlihat gatal-gatal. Memandikannya tidak menggunakan sabun wangi, melainkan sabun antiseptik. Anak-anak orang utan itu juga dilepas agar bisa belajar membuat sarang dan mencari makan di hutan, sehingga kelak setelah dilepas di hutan, mereka dapat mandiri. Pemberian makan orang utan dilakukan bervariasi agar terpenuhi kebutuhan gizinya, mengingat orang utan di habitatnya, hutan tropik, memakan 200 jenis tanaman yang berbeda. Itu dilakukan hanya pada masa perawatan. Bila mereka sudah dapat mandiri, baru dilepas di hutan. Hanya sesekali anak-anak orang utan diberi susu. Soalnya, anak-anak orang utan itu masih menyusu pada induknya hingga umur 5-6 tahun. Kematian orang utan memang cukup banyak. Itu terjadi sejak tahun 1971 (saat dimulai usaha rehabilitasi) hingga sekarang. Dari periode 1991 hingga sekarang, mati sembilan ekor. Empat ekor mati karena lahir prematur, satu ekor mati karena sudah berumur 30 tahun serta sering melahirkan bayi yang prematur, dan empat ekor lagi mati dalam usia lebih kurang empat tahun karena serangan penyakit kulit. Periode sebelumnya mati 11 ekor. Itu, antara lain, disebabkan oleh radang paru-paru, keracunan air sungai yang tercemar insektisida, serta cacing askaris dan capillaria yang masuk ke hati, jantung, dan paru-paru. Semua usaha rehabilitasi memang akan mengutamakan back to nature. Tapi, dalam masa perawatan, perlu diberikan beberapa perlakuan. Tentu saja bayi orang utan tak akan didiamkan begitu saja bila menangis dan perlu kehangatan. Dan orang utan yang sakit tak akan dibiarkan mencari obat dari hasil alam yang mereka makan. Kita ini belum tahu benar komposisi makanan orang utan yang jumlahnya ratusan itu. Jadi, dilakukan pendekatan secara psikologis dan ekologis terhadap anak-anak orang utan selama perawatan. Tentang pengambilan darah, setahu saya, itu bukanlah untuk dijual, tapi untuk penelitian guna mengetahui susunan DNA (asam deoksiribonukleat). Ini dengan tujuan agar suatu ketika kita dapat membedakan asal-usul orang utan, misalnya dari daerah Kalimantan mana orang utan tersebut berasal.DRS. EDY HENDRAS WAHYONOSekretaris Yayasan Orang Utan Indonesia Jalan Hasanuddin No. 10/Belakang Pangkalan Bun 7411 Kalimantan Tengah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus