Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas perusahaan tambang dari Amerika Serikat itu pernah dituding merusak topografi Gunung -Carstensz (Jayawijaya), yang berjarak sekitar 5 kilometer dari area penambangan. Majalah Tempo edisi 27 Juli 1991 mengulas polemik itu dalam artikel berjudul “Lumut Hitam di Puncak Carstensz”.
Setelah 24 tahun menutup pintu, Free-port Indonesia Inc akhirnya mau juga menguak jendelanya. Atas permintaan Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim, tim dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya datang melihat dampak lingkungan penambangan Free-port Indonesia Inc. “Supaya mereka bisa mendapat informasi yang benar,” begitu alasan Emil.
Tuduhan bahwa perusahaan Amerika yang menambang di kawasan seluas 10 x 10 kilometer di tengah Irian Jaya sejak 1967 itu telah merusak lingkungan memang sudah lama dilontarkan aktivis lingkungan dan para pendaki. “Carstensz Meadow yang penuh rumput dan tumbuhan lain kini sudah dilalui truk. Dua kali saya ke sana, es makin ciut, dan beberapa tempat penuh debu hitam,” ujar salah seorang pendaki.
Debu hitam ini, menurut orang yang pernah ke sana, berasal dari asap kendaraan Freeport. Penambangan juga mengakibatkan munculnya lubang galian raksasa. Tanah bekas galian ini diduga dibuang ke sungai dan menimbulkan pendangkalan. Yang juga ditakutkan adalah pencemaran Sungai Ajkwa dan rusaknya Taman Nasional Lorentz, yang mengungkung kekayaan ribuan flora-fauna endemis.
Freeport membantah semua tudingan itu. Menurut Presiden Direktur -Freeport Hoediono Hoed, perusahaannya selalu memperhatikan masalah lingkungan. -Freeport, misalnya, sudah membuat analisis dampak lingkungan (andal) pada 1983. Andal ini diperbarui pada 1988-1991 oleh Freeport serta Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung. Kajian ulang andal itu menunjukkan hampir semua tuduhan tersebut tidak benar.
Pengolahan mineral tambang, misalnya, diklaim tidak mencemari Sungai Ajkwa. “Reagen (pelarut) kimia yang dipakai sebagian besar terikat dalam konsentrat yang diambil, dan sisa yang dibuang sangat sedikit,” kata Hoediono. Namun, ia mengakui, warna sungai agak berubah karena penggunaan kapur untuk memisahkan kandungan tembaga, emas, dan perak. Adapun dampak terhadap tumbuh-tumbuhan diatasi Freeport dengan menanam tumbuhan baru di padang lain.
Ketua Laboratorium Geologi Teknik dan Lingkungan ITB Sampoerno mengatakan andal Freeport punya kelemahan dasar karena tidak berlandaskan pada pengamatan awal dan akhir. Tidak ada penelitian saat Sungai Ajkwa belum tercemar. “Sungai Ajkwa yang tercemar dianggap masih dalam batas aman karena disetarakan dengan kondisi Sungai Aghawagon, yang dianggap memiliki ciri hampir sama dengan Ajkwa tapi tidak tercemar,” ucapnya.
Tercemarnya Sungai Ajkwa, kata Sampoerno, yang pada awal Mei lalu mengadakan pendataan di lokasi Freeport, disebabkan oleh limbah penambangan yang masih mengandung bahan kimia, yang berbahaya bagi ikan dan manusia. Akibat lain: sisi sungai terkikis dan air cenderung mengalir ke samping karena tingginya sedimen limbah. Belum lagi masalah pembuangan batu sampingan akibat penambangan.
Untuk menghasilkan 1 ton bijih, batu sampingan ini bisa dua-tiga kali lipat. Kini, dengan kapasitas produksi yang akan dinaik-kan dari 32 ribu menjadi 52 ribu ton tiap hari, batu buangan jelas akan bertambah banyak. Andal Freeport hanya mengakui sebagian kecil permukaan lembah Carstensz selatan yang berawa-rawa dan tertutup rumput kini bertambah tinggi sampai 15 meter.
Menteri Emil Salim menilai, setelah berkunjung ke sana Januari lalu, dampak penambangan Freeport masih baik. Pihak Freeport dianggapnya menunjukkan niat baik dalam melestarikan lingkungan. PT Freeport bahkan sudah menyatakan kesediaan kepada pemerintah mengembalikan konsesi lahan yang masuk area Taman Nasional Lorentz, yang luasnya tak sampai 1.000 hektare.
Meski dikecam, kehadiran Freeport di padang belantara Irian tampaknya tak akan terusik. Dua kali berturut-turut perusahaan ini terpilih sebagai pembayar pajak terbesar dengan jumlah pajak perseroan pada 1989 mencapai US$ 56,9 juta. “Yang penting adalah bagaimana supaya pembangunan jalan terus, tapi lingkungan juga diselamatkan,” kata Emil Salim.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 27 Juli 1991. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo