Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapa mahal biaya pengambilalihan tambang Free-port oleh pemerintah yang dibungkus dengan nasionalisme semu. Lewat perusahaan negara, pemerintah mesti mengeluarkan duit senilai Rp 55,8 triliun untuk menguasai 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia. Kini, kita pun harus menanggung kerusakan lingkungan akibat limbah tambang alias tailing yang tidak dikelola dengan baik.
Sesuai dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada 2017, nilai kerugian lingkungan itu mencapai Rp 185 triliun. Kerusakan lingkungan terjadi karena tidak layaknya penampungan tailing di sepanjang Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika, Papua. Kerugian lingkungan di area hulu diperkirakan mencapai Rp 10,7 triliun, muara sekitar Rp 8,2 triliun, dan Laut Arafura Rp 166 triliun. Pelanggaran serius terjadi karena area penampungan tailing sebetulnya telah dibatasi hanya 230 kilometer persegi di wilayah hulu, tapi merembes hingga ke muara sungai.
Pemerintah semestinya menyelesaikan urusan itu saat tambang emas masih dikendalikan Freeport-McMoRan. Perusahaan itu seharusnya diberi sanksi berat. Masalah yang tidak dibereskan selama bertahun-tahun ini akhirnya menumpuk menjadi risiko lingkungan yang amat mahal. Saat negosiasi pengambilalihan Free-port, pemerintah pun kurang lihai menggunakan isu lingkungan ini sebagai senjata untuk menekan harga pembelian saham.
Freeport telah membuang limbah tambang area hulu Sungai Ajkwa sejak 1995. Dengan kapasitas produksi 300 ribu ton, menurut penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan, rata-rata 230 ribu ton limbah dihasilkan setiap hari. Maklum, dari seluruh tanah yang dikeruk dan diolah perusahaan tambang ini, hanya 3 persen yang mengandung mineral. Sisanya sebagian besar dibuang. Melimpahnya tailing Freeport menyebabkan pencemaran air serta kerusakan hutan dan kebun sagu. Masyarakat setempat pun menjadi terisolasi.
Masyarakat di sekitar tambang boleh jadi terlena oleh besarnya santunan yang diberikan perusahaan tambang emas itu. Freeport rajin membagi-bagikan uang kerohiman kepada penduduk dengan nilai sekitar Rp 85 miliar per tahun. Dana kompensasi itu disalurkan lewat Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Mimika, dan Lembaga Masyarakat Adat.
Setelah memegang mayoritas saham Freeport lewat PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), pemerintah kini harus siap menanggung segala konsekuensinya. Pemerintah mesti membuktikan bahwa perusahaan itu bisa mengelola limbah dengan lebih baik. Kerusakan lingkungan yang lebih besar harus dicegah. Peta jalan penyelesaian masalah limbah—hasil kesepakatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Freeport—mesti benar-benar dijalankan. Urusan yang perlu segera dibereskan antara lain pengurangan sedimen non-tailing di area tambang dan pembangunan tanggul baru di bendungan penampungan agar tailing tidak merembes sampai jauh.
Dilihat dari segi lingkungan, opsi menurunkan produksi demi mengurangi tailing mungkin sangat masuk akal. Tapi hitung-hitungan ekonomi tentu lain. Jika produksi Freeport turun, pemasukan buat negara juga merosot. Apalagi pemerintah juga harus membuktikan bahwa investasi pembelian saham PT Freeport segera kembali atau balik modal.
Kini pemerintah mesti menyelesaikan semua pekerjaan rumah PT Freeport tanpa bisa menyalahkan pihak lain. Pemerintah juga harus memastikan tragedi lingkungan akibat limbah perusahaan ini tidak akan terulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo