BURUH-buruh UKA Pelabuhan Samarinda tak mengeluh lagi. Selain
ada perbaikan dalam hal OPP/OPT, juga uang buruh yang semula
dibagi-bagikan pada beberapa instansi dihapus. Uang ini pula
yang pernah dituntut buruh dan sempat diadukan kepada Opstib
akhir tahun lalu. "Sekarang apa yang menjadi hak buruh kita
serahkan" kata Erwin Hutabarat, Adpel Samarinda.
Tapi sekarang keluhan datang dari para pengusaha pemakai jasa
para buruh itu. Di samping pihak ini menuduh para buruh suka
bertingkah, juga antara kedua pihak ini mempunyai penafsiran
berbeda tentang pasal-pasal dalam SK Menteri Perhubungan 23 Juni
1978. Misalnya tentang jam kerja pemuatan barang ke kapal.
Menurut SK tadi pemuatan baru dapat berhenti pada jam 10 malam.
Inhutani umpamanya mempunyai tafsiran tersendiri. Para buruh,
katanya, tidak mentaati peraturan menteri sebab mereka hanya
bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 2 siang. Padahal pada saat
buruh UKA berhenti bekerja target pemuatan belum tercapai. Juga
pada hari Minggu buruh tidak mau bekerja. Akibatnya pemuatan
yang semestinya selesai dalam waktu 3 hari tertunda.
"Selama beberapa bulan ini kita cukup banyak dirugikan" keluh
seorang pengusaha pelayaran (shipping). Pemuatan yang tertunda
selalu dirasakan pihak shipping sebagai kerugian besar. Sebab di
samping tidak memperoleh bonus dari pemilik kapal, lebih-lebih
lagi karena pihak pengusaha pelayaran harus membayar denda
karena pemakaian kapal melebihi masa kontrak.
Kayu Tenggelam & Uang Tunggu
Pihak buruh menafsirkan lain. "Target jumlah pemuatan tidak
selamanya bisa dipenuhi" kata Ardiansyah, seorang kepala buruh
UKA. Menurutnya faktor kondisi waktu pemuatan sering
berpengaruh. "Misalnya gelombang besar dan alat mekanis ada yang
rusak memaksa kita menghentikan pemuatan sebelum target
tercapai" sambungnya lagi. Begitu pula, tentang waktu kerja
sampai jam 10 malam menurut Ardiansyah "hanyalah waktu kerja
yang disediakan." Yaitu selama jumlah pemuatan cukup, alat
mekanis bekerja lancar dan tak ada gangguan gelombang.
"Pengertian kami bukan harus bekerja sampai jam itu" tambahnya.
Kesimpang-siuran penafsiran terjadi juga tentang pasal-pasal
lainnya. Antara lain pengertian kayu tenggelam dan uang tunggu.
SK tadi menetapkan tarif pemuatan kayu tenggelam lebih besar
dari kayu biasa. Tak disebutkan kayu tenggelam yang bagaimana.
Tapi para pengusaha mengartikannya sebagai kayu yang benar-benar
tenggelam. Dan pihak buruh menafsirkannya dengan melihat kepada
jenis kayunya. Menurut pihak UKA sekitar Rp 10 juta upah
pemuatan kayu tenggelam ini belum dibayar oleh pihak shipping.
Soal uang tunggu, misalnya: karena derek rusak atau sementara
tutup palka belum dibuka, buruh menuntut uang tunggu untuk
selama 2 jam. Pengusaha hanya bersedia membayar 1 jam. Suatu
ketika hujan turun setelah palka dibuka. Karena tak mungkin
bekerja palka ditutup. Bagi buruh kejadian itu sudah termasuk
jam tunggu. Pihak pengusaha mengartikan sebaliknya. "Seharusnya
SK itu dirubah dan diperjelas lagi" kata S. Effendy, Sekretaris
UKA-Samarinda.
Kalau tidak dirubah, tambah Effendy, kesimpangsiuran penafsiran
akan berlarut-larut. Masing-masing pihak merasa dirugikan.
Selama ini pihak pengusaha dan pejabat pelabuhan tampaknya lebih
banyak mengalah pada keinginan buruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini