DALAM dua edisi TEMPO terakhir (12-19 Agustus dan 20-26 Agustus) terdapat tiga tulisan tentang penyalahgunaan sarana internet yang menyangkut Indonesia. Dua tulisan tentang kemungkinan keterlibatan dua warga negara Indonesia dalam memasok bahan pornografi anak-anak ke suatu situs internet di Forth Worth, Texas, yang membuat agen-agen FBI Amerika Serikat sibuk menggerebek rumah pemilik situs porno tersebut dan sudah tentu ingin mencekik leher para pemasok gambar porno anak-anak, termasuk dua orang yang disebut orang Indonesia.
Tulisan lain adalah tentang kasus penyalahgunaan nama perusahaan jamu di internet oleh seorang pengusaha Indonesia.
Yang menarik dari ketiga tulisan tersebut adalah kesimpulan bahwa walaupun Indonesia sudah berkecimpung dalam dunia internet selama satu dasawarsa (lebih kurang 10 tahun) ternyata Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan tentang internet (cyberlaw). Benarkah FBI Amerika Serikat tidak bisa masuk ke Indonesia kalau nanti ternyata dua orang yang memakai nama Indonesia tersebut, yang disebut-sebut sebagai pemasok gambar porno anak-anak, adalah benar warga negara Indonesia? Pantaskah perkara penyalahgunaan nama perusahaan jamu di internet hanya dipandang sebagai kasus pembajakan merek dagang dan cukup diselesaikan berdasarkan KUHP tapi juga telah menimbulkan perdebatan hukum yang panjang? Meng-apa Singapura, yang hanya berpenduduk sekitar 3 juta jiwa, sejak 1998 sudah punya cyberlaw dan sudah pernah menghukum orang Indonesia karena membobol situs milik pemerintah Singapura? Bagaimana nanti kalau ada orang Batam atau orang Pasarminggu di Jakarta, umpamanya, secara iseng ataupun sengaja tiba-tiba punya situs porno yang benar-benar hot di internet, apakah juga cukup diselesaikan dengan KUHP?
Dalam dunia internet, selain bergentayangan para hacker dan cracker yang mampu memasuki dan bahkan merusak situs internet milik pemerintah berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, juga kini perlu diwaspadai tindak kriminal yang dilakukan oleh para carder, yaitu yang menggunakan nomor kartu kredit milik orang lain secara tidak sah dengan memesan (membeli) melalui e-mail (internet) berbagai macam barang.
Untuk mengetahui nomor kartu kredit orang lain secara tidak sah, para carder sudah tentu mengerti caranya, seperti informasi dari pegawai hotel dan bank, kasir mal, toserba, supermarket, biro perjalanan, dan restoran, yang bisa disogok oleh para carder. Apakah kegiatan haram para hacker, cracker, dan carder ini cukup kita tekuk hanya dengan (lagi-lagi) KUHP?
Penting dan perlunya Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan tentang sarana komunikasi internet (cyberlaw) pada waktu ini, menurut saya, adalah sudah saatnya. Departemen Kehakiman dan HAM, DPR RI, para ahli telekomunikasi dan informasi di instansi pemerintah serta perguruan tinggi, para konsultan hukum dan pengacara, perlu segera duduk bersama. Pem-bahasan dan penyusunan cyberlaw Indonesia janganlah dibuat bertele-tele. Contoh dan pengalaman negara lain sudah ada. Kalau perlu, pakailah konsultan ahli dari Singapura, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, cukup satu atau dua orang saja dari setiap negara/kelompok negara.
A.S. SIAGIAN
Pejaten Barat, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini