PERISTIWA pembajakan pesawat tampaknya selalu menjadi berita menarik. Itu sebabnya ketika pesawat Kuwait dibajak, Selasa pekan lalu, semua media melaporkan perkembangannya setiap hari. Sejak pembajakan pesawat TWA auni 1985) - makan waktu 16 hari dan mengambil korban seorang penumpang ditembak mati - maka inilah peristiwa pembajakan pesawat yang termasuk menegangkan. Bukan saja karena kejadiannya mulai memasuki minggu kedua, tapi Juga karena ancaman pembajak ternyata bukan gertak sambal. Seorang penumpang berkebangsaan Kuwait ditembak, dan mayatnya dicampakkan begitu saja ke luar pesawat, ketika permintaan tambahan bahan bakar belum juga dipenuhi di pelabuhan udara Larnaca, Siprus, Sabtu pekan lalu. Senin pekan ini, korban bertambah lagi. Seorang penumpang ditembak di bagian kepalanya. Kalau pekan ini peristiwa itu kami angkat sebagai laporan utama, tentu bukan semata-mata karena kejadian terakhir di Siprus itu. Sejak awal kejadian, kami sudah menyiapkan jaringan koresponden kami di seluruh wilayah Timur Tengah. Yang pertama dikontak adalah Sharif Imam Jomeh, pembantu TEMPO di Teheran. Ia segera mengabarkan perkembangannya setelah pesawat dipastikan mendarat di Mashhad, Iran Timur. Jomeh, orang Iran yang menjadi koresponden TEMPO sejak tahun lalu, lebih sering mengadakan kontak dengan Jakarta atau kantor TEMPO di Tokyo. Termasuk, yang terakhir berita pembebasan beberapa sandera dan ke mana mereka diterbangkan. Segera kami menghubungi beberapa koresponden yang berada di Timur Tengah dan Eropa. Djafar Bushiri, misalnya, koresponden kami sejak 1986 di Kairo, diminta mendapatkan bahan, terutama sekitar siapa sebenarnya si pembajak itu. Ia juga mengumpulkan laporan mengenai profil ketiga sandera dari kerabat dekat penguasa Kuwait itu. Dari Bushiri, mahasiswa Indonesia pada Universitas Al Azhar di Kairo itu, kami mendapat gambaran lebih jelas drama pembajakan itu. Ia mewawancarai salah seorang sandera Laela Hesham, pegawai maskapai penerbangan Kuwait di Kairo dan pemegang paspor Palestina. Kecuali Timur Tengah, kami juga mengerahkan koresponden di Eropa. Yudhi Soerjoatmodjo di Inggris kami minta menjemput sandera yang diterbangkan ke London. Di ruang VIP bandara Heathrow, Jumat pekan lalu, ia meliput kedatangan 22 penumpang Inggris yan dibebaskan pembajak. Ia berhasil mewawancarai Susan Silcock, 21 tahun. Gadis asal Ashfrod Kent itu baru saja pulang berlibur dari Indonesia, Malaysia, dan Muangthai ketika pesawatnya dibajak. Yudhi, yang menjadi koresponden kami sejak 1987, juga mewawancarai suami-istri Susan dan David Carew Jones. "Ketika saya turun, pundak saya ditepuk-tepuk seorang pembajak," kata David kepada Yudhi, "seolah saya teman lamanya." Sampai saat terakhir ketika Laporan Utama ini kami persiapkan, Yudhi dan Bushiri tetap kami siagakan untuk memantau perkembangan. Apalagi, mulai awal pekan ini, si pembajak "beraksi". Di Jakarta, tim dipimpin oleh Bambang Bujono, redaktur pelaksana yang membawahkan rubrik Luar Negeri. Ia dibantu Didi Prambadi yang menulis dan sekaligus mengkoordinasikan koresponden luar negeri. Penulis lainnya ialah Praginanto, A. Dahana, dan Syafiq Basri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini