Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Pengembaraan Wim Wenders Dalam Sinema

Film-film dan karya fotografi Win Wenders menunjukkan sebuah kesenian membaca visual. Ia adalah seorang pengembara yang tak pernah berhenti.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI langit Berlin ada sepasang malaikat Damiel dan Cassiel. Mereka memiliki sepasang sayap, tapi tak memiliki darah dan keringat. Mereka mampu membaca nurani dan pikiran manusia, tapi tak mampu mengubah takdir. Maka, suatu ketika, saat Damiel (diperankan Bruno Granz) bertemu dengan seorang pemain sirkus jelita bernama Marion (Solveig Dommartin), ia pun memutuskan "melepas" sayap-sayapnya untuk terbang bersama "sayap-sayap" yang memperkenalkannya kepada rasa cinta dan gairah: wings of desire.…

Inilah kisah dua malaikat dalam film Wings of Desire karya Wim Wenders, yang menjadi pembuka dalam acara Pameran Foto dan Pemutaran Film Karya Sineas-Fotografer Jerman Wim Wenders. Acara yang diselenggarakan Galeri Foto Jurnalistik Antara atas kerja sama dengan Goethe Institut ini—masih berlangsung di Jakarta hingga akhir pekan dan dilanjutkan di Bandung hingga pertengahan Oktober—memutar delapan dari puluhan karya Wim Wenders, sineas terkemuka yang namanya melejit sejak meraih kemenangan Palme d'Or di Festival Film Cannes pada 1984 untuk film Paris, Texas.

Dalam pameran foto—menampilkan karya panorama Australia—dan film-filmnya, Wenders menunjukkan diri sebagai seorang pengembara sejati. Wenders identik dengan kembara, dengan perjalanan. Ia hidup dan tinggal dalam "pengembaraan" sepasang matanya. Itulah sebabnya ia menamai perusahaan filmnya Road Movies dan itulah sebabnya dunia yang ditampilkannya dalam fotografi dan sinema adalah dunia sebagai sebuah tempat transit, tempat persinggahan di mana manusia, ruang, dan waktu adalah sesuatu yang fana.

Lahir di dekat Sungai Rhein, Duesseldorf, 14 Agustus 1945, dengan nama Ernst Wilhelm Wenders, ia lebih dibesarkan di rumah kakeknya, satu-satunya rumah yang selamat di antara puing-puing bangunan yang musnah akibat Perang Dunia II.

"Kenangan pertama saya adalah puing-puing, tumpukan reruntuhan, corong-corong asam yang seperti jari-jari sedang menuju ke langit, sebuah trem yang bergerak melintasi bukit reruntuhan.…" Tampaknya, itulah masa awal Wenders yang membawanya pada suatu "kesenian memandang dan melihat", the art of seeing, yang kemudian menjadi salah satu inti dari karya-karya sinematiknya.

Masa pertumbuhannya yang diwarnai perpindahan yang kerap itu pula yang memengaruhi keinginannya untuk terus mengembara: empat tahun di Koblenz, kembali ke Duesseldorf, masuk SMU di Benrath, hingga akhirnya kuliah kedokteran di Breisgau, Freiburg. "Namun, kuliah itu tak selesai seperti halnya kuliah psikologi, filosofi, dan sosiologi," tutur Wenders dalam sebuah wawancara. Ia berhasil menyelesaikan studinya di Perguruan Tinggi Film dan Televisi di Muenchen. Dan mulailah ia mengepakkan sayapnya sebagai seorang kritikus film dan sineas. Perjalanan penting dalam hidupnya adalah ketika ia hijrah ke Amerika Serikat dan tinggal di sana selama tujuh tahun untuk kemudian kembali ke Jerman dan mengejutkan dunia dengan karya-karya sinematiknya. Kehidupannya di AS sangat memengaruhi karya-karya Wenders, yang tidak hanya melibatkan musik rock and roll dan aktor-aktris Hollywood, tapi juga terkadang menyelipkan parodi terhadap budaya Amerika.

Film-film dokumenter Wenders pada awal karirnya—juga diputar dalam pekan film ini—seperti Silver City-Revisited, adalah upaya awal Wenders pada 1968 untuk menangkap realitas "seperti apa adanya" dan dengan cara yang sederhana. Dengan kamera statis, Wenders merekam ruang-ruang di sebuah kota, jalan-jalan dan rumah, dan rel kereta api. Film dokumenter sepanjang 25 menit yang dikerjakan seluruhnya oleh dirinya ini—dari produksi, sutradara, penyuntingan, tata kamera, hingga skenario—menampilkan gambaran sebuah kota, pandangan lenyap dalam ruang dan waktu; jalan-jalan dan rumah-rumah, bangunan, sebuah stasiun kereta api; pagi dan malam. Film Silver City-Revisited adalah sebuah penghormatan pada jenis sinema yang selalu memotivasi Wenders. Dengan mengambil Kota Muenchen sebagai latar, Silver City-Revisited tidak bertutur tentang napas Kota Muenchen, tapi tentang sebuah kerinduan akan ketidakmampuan manusia; berbicara tentang surga, sebuah film tentang kedamaian yang mutlak. Karena itulah Kota Muenchen tak terpancar sebagaimana yang dikenal orang.

Pada filmnya ini, Wenders kemudian menyadari bahwa membuat film tentang realitas tak sekadar membuat "apa adanya". Sebab, realitas tak pernah bisa benar-benar terungkap oleh sebuah gambar yang direproduksi dalam satu momen. Film, seperti fotografi, adalah sebuah representasi. Apa yang kita saksikan melalui karya-karta fotografi ataupun film Wenders adalah representasi, bukan realitas.

Mungkin itu pula yang menjelaskan ketika Wenders mulai membuat film-film pendek eksperimental semacam Same Player Shoots Again, yang memperlihatkan bagaimana sebuah film adalah bentuk representasi. Sebuah gambar—diam atau bergerak—mengandung multi-interpretasi. Film hitam-putih sepanjang 12 menit itu hanya memperlihatkan sepasang kaki lelaki—diperkirakan milik lelaki yang mengenakan jas panjang, dengan senapan panjang otomatis di tangannya—yang berjalan sempoyongan. Kamera hanya menyorot pinggang ke bawah selama 12 menit penuh tanpa potongan dan mempertunjukkannya sebanyak lima kali dalam teknik bayangan yang berbeda: dalam hitam-putih, hijau, sepia, biru, dan merah. Kamera mengikutinya dari samping dan hanya mengambil gambar kaki dan tubuh bagian bawah pria itu, juga batu-batu jalanan dan beberapa tiang. Film ini terlihat seperti akhir atau awal sebuah film bioskop, sebuah refleksi tentang cerita film yang mengingatkan kita pada film-film gangster di masa silam. Namun, dalam film Same Player Shoots Again itu, sang pria tidak memiliki identitas. Apakah dia seorang tentara bayaran atau anggota mafia yang terluka atau mabuk? Atau apakah ia orang yang membuntuti atau yang dibuntuti? Ia sempoyongan karena kelelahan dan terdengar sebuah tembakan dari kursi belakang mobil yang sedang berjalan. Sang pria dengan mantelnya bersimbah darah…. Tapi kemudian kamera pun beralih dengan cepat ke pemandangan lain: kepala seorang pria yang terkulai.

Kedua film eksperimental Wenders ini adalah titik awal "kesenian memandang dan melihat" (the art of seeing) sebagai sebuah pemikiran film, yang nantinya kemudian menjadi salah satu cikal-bakal gerakan New German Cinema. Keistimewaan Wenders dalam menekankan kesenian dalam memandang dan tafsiran terhadap visual ini begitu pentingnya sehingga faktor lain seperti editing, musik, dan narasi seolah menjadi periferal. Karakter film Wenders yang unik ini penting dalam membentuk pemikiran para sineas di zamannya. Sebab, sesudah Perang Dunia II, film-film Jerman yang ada seolah kehilangan karakter.

Sejarah perfilman Jerman—pernah sukses di masa Weimar Cinema dan kandas di masa fasisme— perlahan merangkak terutama karena ingin membendung serbuan film Hollywood. Saat itu, seusai perang, para distributor tentu saja lebih suka memperdagangkan film porno dan film Hollywood karena memang jenis itulah yang dianggap mudah diterima masyarakat.

Karena itulah sekumpulan sineas muda Jerman seperti
Wim Wenders, Rainer Fassbinder, Alexander Kluge, Volker Schlondorff, Werner Herzog, dan Hans-Jurgen Syberberg pada 1977 tampil sebagai sederetan sineas Eropa yang menunjukkan karakter dan pembaruan. Film Germany in Autumn yang dibuat pada 1977 oleh sekumpulan sineas independen Jerman (independen dalam mencari dana produksi dan dalam visi penggarapan film) memang bukan sebuah manifesto, tapi nama-nama itu mempunyai misi dan visi yang sama, yakni membuat film alternatif. Implikasi dari pandangan ini tentu menjadi berkembang karena setiap sutradara itu memiliki karakter yang unik dalam film-filmnya. Nama besar seperti Wenders, Fassbinder, ataupun Herzog tidak memiliki persamaan dalam gaya ataupun penggarapan sinematik. Karena itu, New German Cinema tidak bisa dikatakan sebagai sebuah aliran atau isme. Kelompok ini mungkin bisa dianggap sebagai sebuah gerakan moral yang menentang kemapanan dan dominasi komersialisasi (baca: film Hollywood ataupun film Eropa komersial) dan yang menawarkan wacana baru dalam dunia perfilman.

Posisi Wim Wenders, dalam hal ini, agak unik. Sebagai "pemula". Di masa mudanya, dia pernah menjajaki dunia Amerika yang penuh warna dan buih hiburan massa. Dari sana dia mengenal budaya Los Angeles dan Texas yang serba plastis, tapi dari sana pula musik rock and roll menyerap ke dalam tubuhnya melalui pori-porinya. Tak aneh, meski dia termasuk sebagai sutradara New German Cinema yang menentang komersialisasi dan pembuatan film asal-asalan (terutama karya Hollywood), Wenders selalu memasukkan American flavor ke dalam film-filmnya: aktornya (Dennis Hopper, Andie MacDowell, Peter Falk, Nicholas Ray, ataupun Willem Dafoe), musiknya (Rolling Stones), atau bahkan lokasinya. Ia menggabungkan gaya film Hollywood dengan unsur pengungkapan yang justru menolak gaya film Hollywood.

Maka, filmnya tidak jatuh menjadi sekadar film hiburan, tapi lebih sebagai film renungan. Salah satu filmnya, berjudul The American Friend (Der Amerikanische Freund), yang dibuat pada 1977, berkisah tentang seorang kurator Jerman di pengujung hidupnya—karena digerogoti leukemia—yang terpaksa menerima sebuah "proyek" pembunuhan seseorang karena imbalannya yang menggiurkan itu dibutuhkan untuk pengobatannya. Proyek itu "sukses" meski dikerjakan secara amatiran. Tapi apa yang dilakukan ketika "pesanan kedua" tiba?

Film yang dibintangi oleh Bruno Granz, Dennis Hopper, dan Nicholas ini dibuat berdasarkan novel karya Patricia Highsmith berjudul Ripley's Game. Yang membedakan film ini dengan film detektif Hollywood, Wenders tak menekankan pentingnya suspense atau kejar-mengejar dengan mobil atau tembak-menembak yang seru. Ia lebih merenungkan bagaimana seseorang yang sudah mendekati ajal bisa melakukan apa saja demi segumpal udara (lagi) yang masih diinginkannya untuk dihirup. Film ini melibatkan unsur kriminalitas dan senapan, tapi ledakan atau pembunuhan tidak menjadi daya tarik utama, bahkan cenderung dikesampingkan.

Tokoh Jonathan Zimmerman, seperti halnya sosok dalam film-film Wenders yang lain, adalah tokoh soliter, yang mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dan cenderung mencari jawaban. Pengembaraan adalah sebuah "rumah" bagi tokoh-tokohnya. Dan karena itu, hampir semua tokohnya punya alasan untuk melakukan perjalanan jauh (Alice in the City, Lisbon Story, Die Linkshandige Frau, Summer in the City, dan Paris, Texas).

Dalam film-filmnya, kota-kota yang dikunjunginya hampir selalu menampilkan sisi lain dari karakter kota itu. Dalam Tokyo Ga (film dokumenter penyusuran jejak sutradara besar Jepang Yazujiro Ozu dengan latar Kota Tokyo), Alabama: 2000 Light Years (film dokumenter pendek tentang Kota Alabama dari rekaman seorang pengembara, diiringi musik Bob Dylan, Jimi Hendrix, dan Rolling Stones), dan Silver City-Revisited, Wenders menghindari rekaman turistik yang mempercantik visual sebuah kota dan menjauhi gambar jurnalisme yang cenderung merekam sisi dramatik sebuah peristiwa. Kamera Wenders tidak mencari-cari peristiwa. Sebab, hidup dan mati kota itu adalah sebuah peristiwa. Kameranya malah menangkap sudut-sudut kota yang ditinggalkan (warga ataupun jiwa), reruntuhan, puing, atau bangunan yang kusam, seperti halnya yang digambarkan dalam film terbaru Wenders, Buena Vista Social Club (TEMPO, 19 September 1999). Kota yang seolah telah dibuang warganya itu menjadi simbol jiwa-jiwa yang koyak.

Tapi, sebetulnya, daya pikat utama dari film-film Wenders adalah pandangannya tentang kehidupan: dunia transitory, sebuah dunia—seperti yang pernah diciptakan dalam lukisan Frida Kahlo—yang non-eternal, sebuah dunia sebagai tempat persinggahan belaka. Itulah sebabnya Wenders banyak bergerak di kawasan pertanyaan antara hidup dan mati (Nick's Film, Lightning over Water, The American Friend) di mana tokoh-tokohnya menggapai-gapai pada hidup di ujung kematiannya.

Meski kehidupan, bagi Wenders, pada akhirnya adalah sebuah aktivitas "passing through" alias "numpang lewat belaka", kedua malaikat utamanya, Damiel dan Cassiel (Otto Sander), toh mencicipi "nikmatnya" aktivitas numpang lewat itu. Sementara dalam film Wings of Desire Damiel terjun menjadi manusia karena jatuh cinta (dan bertemu dengan para eks malaikat, seperti Peter Falk), dalam sekuel film ini, Far Away So Close (yang menampilkan Natasya Kinski sebagai malaikat Raphaela, Willem Dafoe sebagai sosok antagonis Emit Flesti, dan bekas Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev yang memerankan dirinya sendiri), malaikat Cassiel menjadi manusia dengan cara yang tragis dan akhirnya tewas dengan cara yang tragis pula.

Sementara dalam film Wings of Desire sepasang malaikat itu melayang-layang di atas Berlin yang masih terbagi antara Barat dan Timur, dalam sekuelnya—dibuat pada 1994—para malaikat mengadakan "patroli" di atas Berlin yang sudah bersatu secara politik tapi justru semakin runtuh karena penuh oleh gangster, dengan kriminalitas yang meningkat, bagai kota tak bernyawa.

Film yang durasinya lebih dari dua jam ini menampilkan sosok Damiel yang sudah menikah dengan Marion dan mempunyai seorang anak perempuan—dan hidup sebagai keluarga kecil yang sederhana dan bahagia. Tiba-tiba saja ia bertemu kembali dengan "kawan lama dari dunia sana": Cassiel, yang sudah meninggalkan "sayapnya" dan kucir rambutnya untuk menjadi manusia. "Anda sudah berhenti melakukan perjalanan?" tanya Doria, putri cilik Damiel, kepada Cassiel. Cassiel menyangka jejak kakinya di bumi adalah awal dari perjalanannya.

Tapi hidup di dunia, yang hanya sementara, meski merasakan lembap gerimis di tengkuk dan asinnya rasa darah, menjadi serangkaian kerumitan bagi Cassiel. Tak putusnya ia dirundung problema, menjadi anak buah gangster, memegang pistol, merampok warung, menjelma menjadi pemabuk, untuk kemudian sebentar lagi terdampar menjadi sampah warga dunia.

Sekilas, beberapa bagian film ini seolah terputus dari serangkaian prosa liris Wenders yang terbentuk dalam Wings of Desire. Sosok Willem Dafoe—lebih mirip seperti "setan dalam diri manusia"—serta hal remeh-temeh seperti aroma pizza, olives, cappuccino, dan gemerincing uang logam menyentakkan kita pada sebuah rutinitas hidup

Tapi pertemuan Cassiel pada dunia kematian akhirnya mengembalikan kita pada tesis Wenders semula: hidup hanyalah tempat persinggahan sementara. Dan Wenders, sang pengembara yang pernah singgah di Jakarta 20 tahun silam, belum berhenti sampai di sini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus