Sidang Umum MPR tak lama lagi akan berlangsung. Selain memilih dan menetapkan presiden dan wakilnya, MPR juga bertugas menetapkan suatu arah pembangunan dalam garisgaris besarnya (GBHN). GBHN itulah yang dijadikan landasan bagi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan lima tahun berikutnya. Pada masa tersebut, peran DPR masih sangat penting, walaupun menurut beberapa kalangan, DPR kalah dominan dibanding dengan Pemerintah. Selemah apa pun DPR, mereka tetap wakil rakyat. Ada tiga hal yang akan saya sampaikan, yakni tentang utang luar negeri Indonesia yang dinilai semakin memberatkan, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai, dan semakin menjamurnya keluarga birokrat yang menjalankan bisnis. Sebelumnya saya mohon maaf kalau keliru dalam menafsirkan fakta-fakta, karena seperti tadi saya utarakan, saya hanyalah rakyat biasa. Seorang rakyat hanya berharap suaranya didengar para wakilnya, dan dicari penyelesaiannya menurut cara yang dianggap paling baik. Dari sebuah harian, saya sekarang tahu bahwa utang luar negeri kita mencapai US# 78 milyar. Setelah saya hitung secara kasar, ratarata tiap jiwa rakyat Indonesia ''menanggung'' utang sebesar hampir Rp 1 juta (semoga tak salah hitung). Dengan kata lain, jika setiap penduduk Indonesia -- tak peduli dia tua renta atau bayi kemarin sore -- membayar hampir Rp 1 juta, baru utang luar negeri itu terlunasi. Saya jadi ngeri, tapi sekaligus bingung, bagaimana besok anak cucu kita membayar utang tersebut. Semoga para cerdik cendekiawan yang telah dipercaya rakyat berhasil mencari jalan keluar terbaik. Kalau ada yang mengatakan jumlah penganggur di negeri kita sudah membengkak, barangkali kita sulit memungkirinya. Saya ingat cerita para sesepuh, ''iNdhisik, Le, wong kuwi sekolah angel nanging yen golek gawean gampang banget. Keno diarani gawean sing nggoleki wong, ora kok wong golek gaweanr'' (''Dulu, Nak, orang itu mau sekolah sulit tapi cari pekerjaan mudah sekali. Boleh dikatakan pekerjaan yang mencari orang, bukan orang mencari pekerjaan''). Saya tak tahu sampai seberapa jauh kebenaran cerita itu. Tapi saya juga melihat, para sesepuh kita yang mungkin sekolahnya hanya sampai sekolah dasar atau lanjutan, mereka toh punya kedudukan yang patut dibanggakan. Bandingkan dengan saat ini. Sekarang sekolah bukan lagi merupakan hal yang sulit. Mendapat gelar sarjana juga bukan lagi hal yang luar biasa. Tapi kenapa justru sekarang pekerjaan susah dicari? Berapa banyak sarjana yang hampir tiap hari keluarmasuk kantor mencari lowongan pekerjaan! Yang saya sesalkan, seringnya terjadi penipuan para calon tenaga kerja. Kita tak bisa menyalahkan ''kebodohan'' para pencari kerja begitu saja, tapi kita juga harus prihatin mengapa banyak orang tak bertanggung jawab yang tega memerasa rakyat di masa ekonomi yang sulit ini. Saya baca di koran, yang menggunakan kesempatan untuk memeras atau menipu calon tenaga kerja ini tidak hanya pihak swasta, tapi juga sudah melibatkan oknum instansi pemerintah. Saya berharap, oknum tak bertanggung jawab yang menipu rakyat, atau oknum yang menerima uang pelicin, suap, atau semacamnya dari para pencari kerja, dikenai hukuman yang berat. Kalau perlu, dibuat undangundang khusus (kalau memang belum ada) yang mengatur sanksi bagi para oknum yang sesat ini. Karena hukuman skors atau pemecatan bagi mereka terasa masih terlalu ringan, dan menggoda oknum lain berikutnya untuk mengulangi langkah serupa. Yang terakhir perlu saya sampaikan adalah banyaknya keluarga kalangan birokrat yang menjalankan roda bisnis dan (kebanyakan) sukses. Secara pribadi, saya tak punya rasa iri sedikit pun. Toh mereka juga rakyat Indonesia yang berhak mendapatkan hakhak seperti rakyat umumnya. Orang tak bisa menjatuhkan vonis, anak pejabat dosa jika berbisnis. Adalah salah jika terdapat aturan keluarga atau anak pejabat dilarang berbisnis. Hanya, saya minta, para wakil rakyat dapat mendeteksi, mana di antara para bisnismen itu yang menggunakan fasilitas karena kedudukan orang tua atau familinya. Ya, barangkali saja ada yang demikian. Untuk itu, memang perlu ditetapkan suatu undang-undang untuk mencegah kesewenangan kalangan birokrat dalam memajukan bisnis keluarganya. Dalam praktek barangkali usaha seperti itu akan terbentur berbagai hambatan, tapi dengan mengupayakan adanya hukum yang mengatur hal tersebut, paling tidak sangsi yang sepadan dapat dikenakan kepada mereka yang terbukti bertindak tidak jujur. Hanya itu saja, terima kasih atas kesediaan para wakil rakyat mendengar suara hari rakyatnya. JOKO PURWANTO Petoran RT 01 RW 07 Jebres Surakarta 57126
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini