Sudah dua puluh tahun saya merantau di Jakarta. Sejak lima belas tahun lalu, saya menekuni pekerjaan sebagai pemulung. Pekerjaan ini saya lakukan karena tergusur dari pekerjaan lama, sebagai petani di desa. Karena pekerjaan itu, kami, para pemulung, pada tahun 1989 diberi julukan oleh Presiden Soeharto sebagai ''Laskar Mandiri''. Bagi para pemulung, julukan tersebut sangat membanggakan. Sejak saat itu, banyak orang kemudian ikutikutan nimbrung mencari rezeki dari sampah. Mereka yang berdasi pun turun menggarap sampah. Banyak juga organisasi yang mengatasnamakan pemulung muncul bagai jamur. Kalau dibaca programnya sangatlah mulia, yaitu mengangkat harkat dan martabat kaum pemulung. Mereka hadir di tengah pemulung dengan program dan janji muluk. Ada yang membuat koperasi atas nama pemulung, menjanjikan pelayanan kesehatan gratis, mengajak transmigrasi, dan menjanjikan bantuan kredit lunak. Yang terakhir ini bahkan sudah tersebar ke masyarakat melalui berbagai koran, bahwa 200 pemulung mendapat bantuan Rp 2 miliar dari salah sebuah bank swasta. Tapi semuanya hanyalah janji, tidak ada kenyataannya. Perlu diketahui, nasib pemulung saat ini semakin terjepit oleh ulah segelintir orang. Sampah luar negeri membanjiri Indonesia, padahal sampah itu beracun. Selain itu, program pengepresan sampah semakin menjepit pemulung, khususnya di TPA (tempat pembuangan akhir) Bantargebang, karena sudah disortir lebih dahulu di Cakung. Nama pemulung banyak dicatut oleh orangorang yang ingin meraup keuntungan sendiri. Setelah ini, siapa lagi mau pakai nama pemulung? HUSIN Pemulung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini