Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA bulan lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan kondisi kelautan dan perikanan sangat mendukung konsep poros maritim. "Sekarang ikan melimpah dan pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan tinggi," katanya.
Pekan lalu, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Nilanto Perbowo menjelaskan, sepanjang kuartal pertama 2016, jumlah izin impor ikan yang dikeluarkan mencapai 29.035 ton. Kebijakan impor ditempuh karena sistem rantai dingin pasokan bahan baku ikan belum siap menampung produksi ikan yang berlimpah.
Tanpa sistem gudang pendingin, ikan tangkapan tak bisa dipasok ke pusat pengolahan yang tersebar dan berjarak jauh dari daerah produksi ikan. "Seharusnya produksi ikan dalam negeri cukup untuk konsumsi ataupun industri," ujar Sekretaris Jenderal Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Rendra Purdiansa pada 8 Juni 2016.
Pendeknya, ikan berlimpah tapi ribuan kapal tak bisa beroperasi. Menurut Rendra, ini akibat kapal terhambat sejumlah aturan. Antara lain larangan transshipment atau pengalihan hasil tangkapan ikan ke kapal lain di tengah laut. Larangan ini menyulitkan nelayan yang mencari ikan hingga ke tempat jauh. "Kalau harus pulang ke darat dulu, makan waktu dan biaya."
Kemudian surat larangan bagi kapal berkapasitas 150 gross tonnage (GT) beroperasi. Padahal, menurut dia, dalam aturan lain yang dikeluarkan Menteri, batas kapal yang boleh beroperasi mencapai 200 GT. Dia meminta Menteri Susi meninjau lagi aturan-aturan yang ada agar tidak tumpang-tindih dan menghambat nelayan lokal.
Tempo edisi 2 September 1989 pernah menulis soal impor ikan dengan judul "Tuna Ada, Kapal di Mana". Beberapa perusahaan ikan tuna mengeluh pelarangan impor kapal penangkap tuna. Mereka merasa hal itu bertentangan dengan aturan investasi yang ditetapkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1987, pemerintah menegaskan bahwa ikan tuna tak boleh ditangkap dengan kapal impor, tapi harus menggunakan kapal buatan dalam negeri. Permasalahannya, galangan kapal nasional, seperti PT PAL, belum mampu membuat kapal dengan cepat.
Selain itu, harganya jauh lebih mahal ketimbang kapal impor. "Saya juga sudah memesan, tapi tidak jelas kapan pesanan saya itu jadi," kata Harlan Bekti, Presiden Direktur Harlan Bekti Corp. Akibatnya, satu perusahaan tuna milik Harlan yang punya izin sejak 1982 hingga kini belum bisa beroperasi.
Memang pemerintah membolehkan impor kapal bagi perusahaan ikan tuna yang berdiri sebelum 1987-batas impornya Desember 1989. Tapi setiap impor harus disertai dengan pembelian kapal produksi dalam negeri. Jadi, kalau mengimpor dua unit, harus pula membeli kapal lokal dua unit. "Peraturan Menristek itu terlalu memaksakan pemakaian produksi dalam negeri, sementara teknologi pembuatannya belum dikuasai sepenuhnya," ujar Harlan.
Suara yang sama terdengar dari beberapa pengusaha tuna lainnya. Menurut mereka, pelarangan impor kapal penangkap tuna sangat bertentangan dengan investasi yang ditetapkan BKPM. Aturan penanaman modal, kata seorang eksportir tuna, membuka peluang seluas-luasnya bagi pengusaha yang berminat terjun di sektor ekspor ikan tuna.
Selain itu, menurut eksportir lainnya, mengimpor kapal jauh lebih murah dan lebih mudah. Contohnya Bali. Ada sebuah perusahaan eksportir tuna yang sebelum adanya pelarangan impor membeli kapal dari Jepang dengan harga US$ 400 ribu. Nah, pembayarannya tak harus dicicil dengan dolar, tapi cukup dengan menyetor ikan tangkapan.
Mirip sistem ijon, memang. Maklum, harga kapal itu harus dibayar dengan ekspor tuna. Tapi, buat sang eksportir, selain bisa memperoleh kapal, pasar turunnya pun terjamin. Namanya, dua sekali pukul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo