Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSELISIHAN mengenai royalti dan pajak antara pemerintah dan perusahaan tambang amat merugikan penerimaan negara. Dibiarkan berlarut-larut, sejak 2007 total tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang semestinya dibayar perusahaan tambang telah mencapai Rp 25 triliun. Ini angka yang tidak kecil, apalagi dalam situasi keuangan pemerintah yang cekak seperti sekarang.
Pemerintah mendapatkan royalti tambang dari perjanjian karya pengusahaan penambangan batu bara, kontrak karya mineral, dan izin usaha pertambangan, baik batu bara maupun mineral. Kebanyakan perusahaan kontrak karya belum membayar royalti karena dalam masa renegosiasi kontrak. Sedangkan royalti izin usaha seret lantaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak punya tangan di daerah. Meski izin usaha dikeluarkan pemerintah daerah, penerima royalti tetap pemerintah pusat. Masalah kontrak karya dan izin usaha ini cuma bersifat teknis, maka terasa mengherankan kalau pemerintah tak bisa segera menuntaskannya.
Yang pelik adalah urusan royalti perusahaan tambang batu bara, dengan tunggakan sekitar Rp 17 triliun. Pengusaha batu bara merasa memiliki piutang, yakni kelebihan bayar pajak pertambahan nilai (PPN). Mereka menuntut pemerintah mengembalikan dulu uang tersebut, baru mereka mau membayar royalti. Namun pemerintah tak kunjung tegas. Kementerian ESDM, yang berwenang soal royalti, dan Kementerian Keuangan, yang menangani pajak, seperti jalan sendiri-sendiri.
Akar masalahnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. Aturan ini membebaskan batu bara dari kelompok barang yang terkena PPN. Menyusul berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 144, terjadi tarik-ulur yang mengaitkan PPN dengan royalti. Perusahaan batu bara generasi ketiga, yakni yang mendapatkan perjanjian karya sejak 1997, merasa tak perlu lagi membayar pajak pertambahan nilai meskipun kontrak mewajibkan mereka.
Pihak Direktorat Jenderal Pajak berkukuh bahwa perjanjian karya perusahaan tambang generasi ketiga bersifat lex specialis dan tidak terpengaruh oleh perubahan peraturan pemerintah. Artinya, mereka terus menarik PPN. Kisruh pun terjadi, perusahaan batu bara membalas dengan menahan pembayaran royalti.
Tentu saja pemerintah tidak boleh kalah dalam sengketa fiskal ini. Bagaimanapun, pengusaha batu bara harus menunaikan kewajiban terhadap negara, apalagi jika itu secara jelas tertuang dalam perjanjian karya.
Namun negara juga mesti adil. Menurut para pengusaha batu bara, beda tafsir atas PP 144 terjadi karena pemerintah mendua: ada beberapa perusahaan generasi ketiga di daerah yang ternyata mendapatkan pembebasan PPN. Kalau itu benar, hentikan diskriminasi ini. Peraturan harus berlaku sama bagi semua perusahaan. Sering kali beda tindakan terjadi lantaran kurangnya koordinasi antara kantor pusat dan cabang di berbagai daerah.
Pajak dan retribusi penting bagi pengelolaan negara. Sebaliknya, negara juga membutuhkan perusahaan yang sehat dan kuat untuk memutar roda perekonomian. Maka sengketa royalti ini jangan dibiarkan berlarut-larut. Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan-dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak-dan pengusaha tambang perlu duduk bersama untuk memutuskan penyelesaian yang konkret. Kalau perlu, cari penengah yang adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo