INSIDEN Purbalingga adalah kebrutalan politik. Sebesar apa pun "dosa" Partai Beringin, penghadangan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung oleh massa beratribut PDI Perjuangan tak bisa dihalalkan. Pelecehan terhadap beberapa perempuan peserta temu kader Golkar yang diperintahkan mencopot kausnya dua pekan lalu itu sungguh di luar kepatutan adab. Tapi, di sisi lain, kasus itu juga menunjukkan bahwa pelarangan menteri berkampanye memang relevan. Rupanya, trauma atas berbagai patgulipat pemilu semasa Orde Baru telah beralih rupa menjadi sumbu yang selalu siap menyulut amuk massa.
Hal ini tercermin dari jajak pendapat TEMPO. Mayoritas responden mendukung keputusan Komisi Pemilihan Umum pada akhir Maret lalu, yang melarang kader partai dari unsur pejabat negara "jual program" di panggung kampanye. Publik beranggapan bahwa rambu itu penting untuk menyetop "kebiasaan" para menteri menyalahgunakan fasilitas dan anggaran negara, seperti yang terjadi pada ajang coblosan sebelumnya. Selain itu, ada juga yang berpandangan bahwa pejabat publik harus mengambil posisi netral terhadap partai politik mana pun.
Sikap kalangan yang tak setuju pelarangan didasari oleh dua hal. Pendapat terbanyak (47 persen) melihat peluang akal-akalan itu toh bisa ditutup tanpa perlu melarang menteri berkampanye, misalnya melalui kontrol ketat dan kewajiban mengambil cuti. Ada juga yang melihatnya dari sudut lain, berkampanye adalah hak asasi setiap warga negara, termasuk pejabat negara (44 persen). Yang menarik, ternyata amat sedikit yang berpendapat Komisi telah melampaui batas kewenangannya dengan pelarangan itu (8 persen). Sikap ini barangkali merupakan peneguhan dari tingginya kredibilitas badan yang dikomandani Rudini itu di mata publik. Jajak pendapat TEMPO pada edisi 5 April lalu memperlihatkan kecenderungan tersebut.
Citra positif Komisi semakin kuat dengan tanggapannya—secara tersirat, mereka menolaknya—atas pertimbangan hukum Mahkamah Agung yang keluar 26 Maret lalu. Opini publik menilai fatwa itu—sebutan populer untuk pertimbangan hukum—tidak tegas. Bahkan, untuk sebagian responden lain, isinya dinilai bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Bunyinya memang mengambang. Boleh atau tidak menteri berkampanye tidak tegas diputuskan. Kata akhir dikembalikan lagi ke tangan Presiden Habibie. Mahkamah Agung cuma menyampaikan dua pertimbangan. Pertama, Komisi tidak berhak mengatur pejabat negara. Kedua, Komisi memiliki kewenangan untuk melarang anggota partai dari unsur pejabat negara menyalahgunakan fasilitas negara selama kampanye.
Dengan opini publik terhadap fatwa MA yang seperti itu, tak mengherankan bila mereka menyatakan dukungannya jika Komisi menolak fatwa tersebut. Dari sudut supremasi hukum, sikap ini jelas mengkhawatirkan. Meski tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, secara moral setiap pertimbangan Mahkamah Agung harus dipatuhi setiap warga negara. Tapi kecenderungan itu juga harus dipahami dari sisi lain. Kredibilitas garda utama keadilan itu memang masih terpuruk.
"Bola panas" sekarang ada di tangan Habibie. Naga-naganya, jika menyimak penjelasan Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, keputusan pelarangan tidak akan pernah diambil. Peraturan pemerintah yang akan diteken sebelum masa kampanye dimulai cuma akan menegaskan soal larangan penyalahgunaan uang dan fasilitas negara oleh pejabat negara. Padahal, melalui jajak pendapat ini, rakyat punya suara lain. Mereka mendesak Presiden agar tidak melabrak "lampu merah" yang telah dipasang Rudini. Alasannya, Komisi adalah sebuah lembaga penyelenggara pemilu yang bebas dan mandiri. Apalagi di dalamnya juga duduk wakil pemerintah, yang mengantongi jumlah suara sama banyak dengan wakil-wakil partai.
Ada satu hal yang perlu direnungkan Habibie sebelum mengambil kata putus. Purbalingga adalah pelajaran berharga. Dan jika opini publik itu diabaikan, pemerintah dan Golkar tak bisa lagi "berlindung" di baliknya, walau di negeri-negeri yang maju demokrasinya, menteri bebas berkampanye.
Karaniya Dharmasaputra
INFO GRAFISSetuju pejabat negara dilarang kampanye? | Ya | 77%Tidak | 18%Ragu-tagu | 5% | Anda setuju karena: | Mencegah penyalahgunaan | 60%Pejabat negara harus netral | 40%Tidak tahu | 0% | Pandangan anda atas "fatwa" MA | Tindak tegas | 37%Bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat | 23%Sesuai rasa keadilan masyarakat | 18%Tidak sah | 8%Tidak tahu | 14% | Sikap anda jika KPU menolak "fatwa" MA? | Setuju | 57%Tidak setuju | 22%Ragu-ragu | 21% | Presiden boleh membatalkan keputusan KPU? | Tidak | 57%Ya | 33%Ragu-ragu | 10% | |
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 507 responden di lima wilayah DKI pada 31 Maret s/d 6 April 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini