LAKON "goro-goro pemilu" sudah digelar. Bentrok antarpendukung partai politik sudah meledak di berbagai penjuru, meskipun panggung kampanye belum resmi dibuka. Puncaknya, untuk sementara, adalah insiden di Stadion Wasesa, Purbalingga, Jawa Tengah, dua pekan lalu, saat ratusan massa beratribut PDI Perjuangan dengan beringas membuat kocar-kacir ribuan kader Golkar, termasuk Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung.
Tak hanya di Purbalingga. Kamis malam pekan lalu di Pemalang, Jawa Tengah, semua kaca jendela kantor Golkar setempat pecah dilempari batu. Di Surabaya, 40 truk yang mengangkut massa Beringin yang akan menghadiri apel akbar dicegat massa Banteng di bundaran Tol Waru, Wonocolo. Dan masih banyak lagi kejadian mencekam lainnya. Sasaran kemarahan agaknya banyak tertuju pada partai bersimbol warna kuning ini. Menerima kabar tak sedap ini, Akbar dengan geregetan berteriak, "Bila terus diganggu, Golkar akan bangkit melawan."
Padahal, Partai Golkar bakal menggelar hajat besar di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, 17 April nanti. Modelnya lagi-lagi temu kader dalam jumlah massal. Mudrick Sangidoe, Ketua DPC PPP Kodya Solo, meminta Akbar, yang Menteri Sekretaris Negara ini, membatalkan kenduri mirip kampanye itu. Alasannya, pengalaman traumatis atas perilaku Golkar semasa Orde Baru—seperti kuningisasi tempat-tempat umum—masih membekas di hati masyarakat. Dus, kalau Akbar ngotot meneruskan rencananya, Mudrick yakin insiden Purbalingga bakal terulang. "Jadi, jangan mengusik ketenangan kami," kata Mudrick. Agaknya, petinggi Beringin setuju.
Begitulah, akar Beringin yang selama ini kokoh secara dramatis dirongrong dari berbagai sudut. Akbar mengaku tak bisa mengerti kenapa Golkar terus dicerca di mana-mana. Padahal, parpol lain—PPP, PDI, dan sebagian besar tokoh parpol baru—turut mendukung tegaknya Orde Baru. "Kalau dibilang arogan, di mana letak arogansi kami?" tanya Akbar sambil menggigit bibir bawahnya. Apalagi, lanjut Akbar, meski terkesan lambat, Golkar toh sudah meminta maaf atas "dosa-dosa"-nya di masa lalu. Tapi, citra buruk Golkar, yang kerap diidentikkan dengan rezim lalu, tetap tak gampang dihapus.
Apalagi, proses hukum tak pernah ada. Bagi pendukung PDI Perjuangan, dosa berat yang tak terlupakan adalah rekayasa peristiwa 27 Juli 1996. Kala itu, PDI terbelah antara kubu Megawati dan Soerjadi. Pemerintah—yang diidentikkan dengan Golkar—dinilai memihak Soerjadi dan menindas Mega. Itulah yang membuat rasa antipati terhadap Golkar kian memuncak. "Kami tak suka Golkar. Sudah kapok. Golkar-lah yang mengacak-acak PDI tahun 1996," kata Samia Arifin, tukang ojek yang mengaku jadi kader PDI Perjuangan sejak tahun lalu.
Ada jutaan massa Banteng ketaton seperti Samia Arifin. Sedikit saja isu penyalahgunaan kekuasaan, bisa memicu kemarahan tak terbendung. Dulu, menurut cerita seorang mantan pejabat tinggi, Golkar memang terbiasa merekayasa. "Saya sendiri pernah melakukan. Sewa empat atau lima preman untuk bikin kacau acara yang kita kehendaki," katanya. Jejak rekayasa juga terlihat pada insiden Purbalingga. Menurut Kadispen Polri Brigjen (Pol.) Togar Sianipar, tiga dari sembilan tersangka yang ditahan mengaku anggota Pemuda Pancasila (PP), meskipun setelah dicek ternyata tidak ada kartu anggota PP yang dikeluarkan atas nama ketiga tersangka tadi.
Lepas dari rekayasa atau bukan, insiden antarparpol di berbagai tempat wajib diusut tuntas. Bila tidak, rangsangan menyulut kekerasan akan lebih besar. Menurut Eep Saefullah Fatah, pengamat politik dari Universitas Indonesia, ancaman Golkar—yang punya akses leluasa membayar preman kelas tinggi—juga tak kalah mengerikan. "Meskipun Akbar mengucapkan ancaman dengan santun, akibatnya bisa gawat," kata Eep.
Di sisi lain, kuda-kuda sudah mulai dipasang berbagai pihak. Di Kalibayem, Yogyakarta, seribu golok sudah dipesan secara massal. Di desa yang lain, Mangiran, sekitar 300 pedang juga telah dipesan orang yang diduga satgas parpol. Tak hanya itu. Ngelmu kebal pun sudah dilakoni. Sekelompok satgas PDI Perjuangan, yang tak mau disebut namanya, menelan "pil sakti" berupa 144 gotri (logam bulat yang antara lain ada dalam as sepeda) agar kulit mereka kebal sabetan golok atau tak tembus peluru (TEMPO, 15 Februari 1999).
Potensi konflik antara 48 parpol memang bukan main-main. Pemilu 1997—dengan cuma tiga kontestan—menelan sekitar 240 korban tewas selama masa kampanye. Nah, bisa jadi pemilu kali ini akan lebih berdarah.
Secara teoretis, Eep Saefullah, yang juga Ketua Umum Komite Pemberdayaan Pemilih, mencatat ada 40 titik rawan pelanggaran pemilu, dari saat pendaftaran, kampanye, sampai penghitungan suara. Ada sejumlah alasan. Inilah pemilu pertama setelah kejatuhan Orde Baru yang langsung disambut dengan kompetisi ketat 48 parpol. Alhasil, setiap kontestan, dengan masa kampanye sempit, 16 hari, terdorong menggeber segala cara untuk berebut kursi. Basis ideologi tak sekuat yang ditanamkan pada pemilu 1955. Nama dan lambang seluruh parpol pun belum tentu dikenal luas. "Ini potensi konflik yang cukup serius," kata Eep.
Kontrol memang bakal dilakukan sejumlah lembaga pemantau lokal dan asing. Tapi daya jangkau mereka masih sangat terbatas. Siapa bisa menjamin, misalnya, pencoblosan di kawasan terpencil Maumere, Irianjaya, bisa diawasi betul. "Akibatnya, cukup banyak terbuka ruang untuk kecurangan yang tidak ketahuan," kata Eep. Apalagi, sampai kini, jaringan pemantau pemilu masih belum siap bekerja. Unfrel (Jaringan Perguruan Tinggi Pemantau Pemilu), misalnya, baru sanggup merekrut sembilan ribu relawan. Padahal, target idealnya merekrut 165 ribu relawan.
Situasi ini diperburuk oleh birokrasi (khususnya lokal), polisi, dan TNI yang masih berpikir dengan logika lama. Buktinya terlihat saat Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Ahmad Arnold Baramuli bersafari ke wilayah Indonesia timur, beberapa waktu lalu. Menurut laporan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sulawesi Selatan, setiap bertemu kader, Baramuli menggunakan rumah dinas bupati. Ia selalu didampingi sederet pejabat setempat. Boleh jadi, Baramuli tidak meminta serangkaian fasilitas. Tapi, para pejabat daerah, yang masih berperilaku ala Orde Baru, dengan sukarela melayani Baramuli. Untuk servis semacam ini, batasan antara Baramuli sebagai kader Golkar dan pejabat negara sangat tipis.
Berbagai faktor pemicu kerawanan tersebut diperparah dengan persiapan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang kedodoran. Sepekan setelah masa pendaftaran pemilih dibuka, masih banyak pos pendaftaran dan petugas yang belum bekerja. Sebelas daerah tingkat dua (hasil pemekaran) baru, yang akan diresmikan bulan depan, mutlak membutuhkan persiapan ekstra. Tak usah jauh-jauh. Di Bogor, hanya 60 kilometer dari Jakarta, Panitia Pemilihan Daerah II baru terbentuk setelah jadwal pendaftaran pemilih berlangsung empat hari.
Di Jawa Timur lain lagi masalahnya. Gara-gara dana dari pemerintah belum turun, panitia pemilu setempat terpaksa ngutang dari parpol dan pemda untuk ongkos operasional pendaftaran pemilih. Kalau panitia wilayah yang notabene tak jauh dari pusat pemerintahan begitu amburadul, bisa dibayangkan bagaimana nasib tempat terpencil di pelosok hutan. Menurut Mulyana W. Kusumah, Ketua KIPP, persiapan makin rumit bila menyangkut daerah yang sedang didera konflik seperti Aceh, Ambon, Sambas, dan Timor Timur.
Walhasil, pemilu yang tinggal delapan pekan lagi ini agaknya bakal menempuh tikungan tajam berbatu. Syukurlah, niatan menggelar pemilu damai juga cukup kuat. Di Yogya, Minggu dua pekan lalu, digelar pawai kedamaian. Tiga puluh dari 38 parpol yang tercatat di Yogya ikut ambil bagian dalam pawai ini. Partai yang tidak punya cabang diwakili oleh tanda gambar yang diarak 50 pengikutnya. Ratusan peserta kampanye sejuk berjalan berdasar nomor urut parpol, mengitari kota dengan total jarak 15 kilometer. Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sambutannya mengajak parpol menggelar kampanye yang simpatik. "Jangan buat rakyat mengunci rumah," kata Sultan.
Sementara itu, KPU sedang menggodok aturan main untuk mencegah pemilu berdarah. Bila pendukung berulah, yang kena semprit adalah parpolnya. Dengan demikian, pimpinan parpol tak bisa cuma leha-leha menyaksikan tindakan brutal pengikutnya. Sanksinya bermacam-macam, bisa pembubaran atau pelarangan kampanye. Malah, kalau pelanggarannya tergolong parah, "Parpol itu bisa kena diskualifikasi. Tak boleh ikut pemilu," kata Rudini, Ketua KPU. Nah, kalau aturan mainnya ditaati, pemilu (mudah-mudahan) tidak lagi terkesan sangar.
Mardiyah Chamim, Dwi Arjanto,Edy Budiyarso, Hendriko L. Wiremer, Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini