DARAH, pertarungan, kematian. Adu ayam di Bali sekaligus memikat
dan mengerikan. Pelukis Affandi berkali-kali melukiskannya.
Ahli antropologi Clifford Geertz pernah membuat esei yang
mendalam tentangnya. Tapi apa artinya sebenarnya bagi orang Bali
sendiri upacara atau cuma judi?
Di tengah kerumunan pertandingan, dua ekor ayam jago bertaji
saling terjang. Penonton tegang membisu atau berteriak, memberi
semangat kepada ayam yang dijagoinya agar terus menyerang lawan.
Pada saat kedua ayam itu sudah kelihatan lelah dengan luka-luka
di tubuh, saya (wasit) memukul kempur (gong kecil). Jika salah
seekor ayam itu mati sebelum kempur berbunyi 3 kali, ia
dinyatakan kalah. Tapi bila lewat 3 kali pukulan kempur keduanya
hanya terengah-engah saja, maka ayam-ayam itu dimasukkan dalam
satu sangkar. Dalam sangkar ini, ayam yang paling dulu mematuk
lawannya itulah yang dinyatakan menang.
Dengan kepatuhan pada hukum tanpa KUHP itu para petaruh akan
setuju. Juga bila setelah dimasukkan ke dalam sangkar, kedua
ayam tadi tak berselera lagi saling mematuk lawan. Itu artinya
draw -- sama halnya jika keduanya sama-sama mati sebelum kempur
berbunyi 3 kali.
Dari sekian banyak jenis judi di Bali, menyabung ayam dengan
taruhan paling digemari. Separuh dari jumlah penduduk pedesaan
di Bali paling tidak memelihara 4 ekor ayam aduan. Bahkan ada
yang sampai memiliki 50 ekor. Bisnis jual beli ayam aduan ini
juga cukup ramai lebih-lebih bila ayam itu berasal dari Lombok.
Ayam aduan dari pulau ini terkenal gesit dan tangguh kehilangan
nyawa bila bertarung.
Makan Jangkrik
"Memelihara ayam aduan harus teliti," tutur Made Rawig, penjudi
terkenal dari Desa Abian Semal, Denpasar, yang juga memelihara
beberapa ekor ayam aduan. Seminggu sekali, katanya, ayam harus
dimandikan. Kakinya harus diberi parem bercampur tahi sapi.
Makanannya tidak cukup hanya nasi. Agar "lebih bergizi" harus
dicampuri rumput, jangkrik atau unsur lain yang dapat memperkuat
tubuhnya. Seperti juga petinju, ayam aduan juga harus setiap
hari diadu dengan sparing partner sebagai latihan. Jika fisik
ayam telah dianggap kuat, barulah diturunkan ke gelanggang
aduan.
Tapi untuk apa? Marilah kita tengok Taman Hiburan di Pemedilan,
Denpasar.
Sabungan di Pemedilan hanya diizinkan 16 kali dalam sebulan.
Taman Hiburan ini dikelola Pemda Kabupaten Badung. Tarifnya Rp
50.000 sebagai sewa tempat sekali pakai, ditambah karcis masuk
Rp 200 tiap orang. Penghasilan Pemda Badung tak kurang dari Rp
1,5 juta tiap bulan dari arena ini. "Pokoknya lumayan," kata
Kepala Humas Pemda Badung, Sutawan Sidik, "semua balai banjar di
sini dibangun dari hasil judi ayam Pemedilan."
Tapi tidak semua orang Bali meanggap judi sabung ayam dari segi
keuntungan belaka. Banyak yang mempersoalkannya sebagai judi
yang membawa kemelaratan. Dan lebih-lebih lagi, bertentangan
dengan agama Hindu. Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali, Ketut Wijana
SH, misalnya termasuk orang yang sejak 1971 paling gigih
mengusulkan agar judi serupa ini dihapus. Namun kegigihan Wijana
rupanya belum membuahkan hasil sampai sekarang. Buktinya, bukan
saja sabung ayam resmi masih terus muncul, tidak kurang subur
pula yang tidak resmi, yang di daerah ini lazim disebut tajen
malingan, adu ayam gelap.
Namun bukankah adu ayam juga termasuk upacara? Bekas Kepala
Bimas Hindu dan Budha Kanwil Depag Bali, I Gusti Ketut Kaler,
bilang begitu. Adu ayam, kata Kaler, sesungguhnya adalah bagian
dari upacara keagamaan. Tapi ia menambahkan justru karena itu
tidak boleh diperalat untuk judi. Ia menyebut upacara masesangi,
seperti yang biasa terlihat di Pura Hyang Api di Desa Klusa,
Kecamatan Payangan, Gianyar, sebagai upacara keagamaan untuk
melepas kaul karena panen berhasil atau ternak bebas dari
penyakit.
Polisi Kualat
Adu ayam dalam upacara masesangi memang dicertai taruhan.
"Rata-rata hanya bertaruh Rp 100, dan bukan dengan niat judi,"
tambah Kaler. Dengan taruhan itu si pemilik ayam merasa
terhormat, karena ayamnya yang diadu di pekarangan puri
diperhatikan si pemasang taruhan. Pada hari Kuningan, 10 hari
setelah Hari Raya Galungan, di Pura Hyang Api selalu terlihat
orang-orang datang menenteng ayam jantan dan sesajen. Namun tak
untuk taruhan habis-habisan.
Beberapa prasasti memang menyebut adu ayam sebagai salah satu
upacara keagamaan. Misalnya prasasti Batur Abang (bertahun Saka
933 atau 1011 Masehi) dan prasasti Batuan (1021 Masehi).
Keduanya berpangkal pada lontara Shiwa Tatwapurana yang lebih
tua.
Dalam lontara ini sudah dikenal Tabuh Rah, bagian permulaan
upacara keagamaan -- dengan menaburkan darah untuk menjaga
keharmonisan Buana Agung (alam semesta) dengan Buana Alit
(manusia dan mahluk lainnya). Untuk mendapatkan darah itu
dipergunakanlah darah ayam yang disabung dengan mempergunakan
taji.
Karena itu menyabung ayam di Bali tak mungkin dihapus. "Itu
lambang dari suatu tekad" kata Ketut Kaler. Maka yang masih
terus diperjuangkan pemuka-pemuka agama di Bali adalah
menghindarinya dari penyalah-gunaan oleh para penjudi.
Berbagai razia terhadap tempat-tempat penyabungan ayam gelap
memang dulu sering dilakukan. Tapi akhir-akhir ini kabarnya di
kalangan kepolisian di sana timbul kepercayaan jika merazia
sabung ayam, bisa kualat.
Soalnya, pernah seorang anggota Polri merazia penjudi-penjudi
yang sedang menyabung ayam di halaman sebuah pura. Para penjudi
memang lari tungganglanggang. Tapi waktu mengejar salah seorang
penjudi, kaki anggota Polri tadi tersandung pada sebuah batu
kecil. Ia jatuh dan sebuah jari kakinya luka. Luka ini tak
sembuh-sembuh, sehingga jari kaki itu harus dipotong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini