AGAK malu, ia mengaku datang dari keluarga broken home.
Ibu-bapanya cerai sebelum ia masuk sekolah dasar. Karena itu
hidupnya terlempar di antara kerabat"nya, terutama para paman
dan bibinya.
Hidup saya mirip pembantu," katanya tanpa canggung. "Tapi
bagaimanpun saya harus bisa sekolah."
Pemenang III bidang Kimia ini, Tri Winarni, dengan karyanya
Korosi dun Pencegahannya, memang gigih. Untuk menyusun
tulisannya, dari pondokannya di Demangan, Yogya, ia jalan kaki
ke Toko Buku Gunung Agung (sekitar 3 km) hanya untuk membaca
buku. Menghemat," kata cewek siswa STM Pembangunan kelas IV
Jurusan Kimi ini. Di perpustakaan sekolah buku itu memang tak
ada. Untuk membelinya, beasiswa Supersemar yang diperolehnya
sejak kelas III, sebesar Rp 6 ribu per bulan, tentu tak cukup.
Sebab "hidup saya tergantung beasiswa itu."
Dalam karya tulisnya memang tercantum daftar pustaka yang antara
lain menyebut dua buku: Engineering Metal dan Engineering
Chemistry. Dan anak ketiga di antara 6 saudara kandung yang juga
mempunyai 6 saudara tiri ini, mengaku bisa bahasa Inggris --
pasif.
Tapi mengapa korosi? "Korosi sepertinya tak diperhatikan
orang. Padahal kalau berlarut-larut negara bisa rugi besar." Ia
tidak omong besar: "Di Amerika Serikat, tercatat kerugian karena
korosi US$7 milyar setahun. Ia memang tak tahu berapa
kerugian itu di Indonesia. Ya, siapa tahu?
Kelompok yang dipuji dewan juri bidang Biologi, dan memperoleh
nomor pertama, terdiri dari satu cowok (Kalatiku Marthen anak
Toraja) dan tiga cewek (Rahajeng Purwianti, Trikora Margyani dan
Suratni). Ketiganya asal Jawa, anak para guru Trikora.
Keempat siswa SMAN 414 di Jayapura itu rupanya dibekali bakat
keingintahuan. Rahajeng, misalnya, pernah mencoba meneliti
mengapa terung muda tidak pahit, dan yang tua pahit. Tapi gagal,
karena tiada bimbingan. Dia ini pula yang berani mencoba
mencicipi ulat sagu. "Rasanya seperti rasa lemak, gurih,"
ceritanya.
Karya mereka, Siklus Hidup Ulat Sagu, membuktikan antara lain
ulat sagu berasal dari kumbang sagu -- bukan dari tepung sagu
sebagaimana dipercayai penduduk asli Irian Jaya.
Yang unik tentang ulat sagu ini, dalam karya tulis rekan mereka
dari sekolah yang sama (tidak menang), disinggung sedikit aspek
sosialnya. Ligya Soejono dan dua kawannya menulis bahwa mereka
tak berani mengatakan kepada penduduk kalau ulat sagu bukan
berasal dari tepung sagu, tapi dari kumbang. Mereka takut
penduduk tak akan mau lagi makan ulat itu, dan itu akan
merugikan mereka yang hidup di daerah rawan pangan itu.
Tapi lain dengan Rahajeng. Tanpa menyadari akibat yang bisa
timbul, ia mencoba memberi tahu beberapa penduduk. "Wah, mereka
tak percaya," katanya heran. Untunglah.
CEWEK lagi, Henny Indreswari, siswa kelas IV Sekolah Menengah
Pendidikan Sosial, Malang, karya tulisnya di bidang Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan terpilih sebagai yang
terbaik. Cewek ini pernah menang dalam lomba karya penelitian di
Institut Pertanian Bogor, tahun lalu. Dulu ia menelit Lembaga
Sosial Desa.
Karyanya yang sekarang, mendapat hadiah Rp 100 ribu, hasil
penelitian sebulan tentang kegiatan Karang Taruna di Kecamatan
Klojen, Malang.
Ada pemenang bidang teknologi yang sudah berhasil menjual
karyanya. Agus Supriyanto, kelas IV STM Pembangunan Semarang,
meraih pemenang I dengan karya pompa hidramnya pompa otomatis
yang mampu menaikkan air, digerakkan oleh aliran sungai.
Menurut guru pembimbingnya, Muhammad Basri, Agus belajar dari
brosur-brosur yang diperolehnya. Kemudian utak-atik membuat
konstruksi sendiri. Melihat utak-atiknya bagus, Pak Basri usul
bagaimana kalau dipraktekkan. Betul saja berhasil. Lantas dicoba
di daerah Kendal, Semarang, di sebuah desa. Ternyata mampu
menaikkan air sungai sampai ketinggian 10 m.
Itulah asal mulanya orang-orang desa memesan pompa kepada Agus.
Sudah melayani 5 pesanan. Harganya ukuran kecil Rp 21 ribu, yang
besar Rp 42 ribu. Setelah percobaan kedua, dia -- dibantu
teman-temannya di STM itu -- mampu membuat pompa hidram dalam
dua hari. Hasil karya dua hari itulah yang dibawa ke Jakarta --
dan menang.
Bagaimana andai lampu mobil diatur otomatis, sehingga sinar
lampu besar. bila mobil berpapasan, bisa mengecil sendiri?
Gagasan Budi Setiawan dan Rubi Purwono dari SMAN III Bandung
itu, dalam lomba kali ini terpilih sebagai pemenang I bidang
Elektronika Terbatas. Mereka memang suka mencoba-coba. Kebetulan
ayah Budi, karyawan Kantor Meteorologi dan Geofisika, Jakarta,
punya hobi di bidang elektronika juga. Temannya, Rubi, anak
pegawai PN Postel Bandung, minatnya di bidang itu bangkit
tatkala berhasil membuat radio kecil meniru radio biasa.
Mereka berdua mengaku tak suka keluyuran ataupun mengunjungi
disko, meski kini lagi mode. "Tak sempat, kata Budi. "Kalau
membuat peralatan lampu disko, memang pernah," tambahnya senang.
Si Jenius, begitu teman-temannya memanggilnya, dari SMA Pirngadi
Surabaya, berhasil meraih pemenang II bidang Kimia. Ia memang
bukan arek Jawa Timur, tapi anak P. Bangka. Lari ke Surabaya
karena "ingin maju" -- dan ikut pamannya. Untung, SMA Pirngadi
meski swasta dan baru dua tahun usianya, punya Pirngadi Remaja
Science Club. Ia memiliki judul karyanya: Pengaruh Air Limbahan
Pabrik Kulit Terhadap Ikan Getul -- karena pernah membaca berita
pencemaran pabrik logam di Tanjung Priok dan pencemaran pabrik
kertas di Jawa Tengah. Berapa biaya yang telah dikeluarkannya,
ia tak tahu pasti. Tapi dari sekolahnya Ingot mendapat bantuan
Rp 30 ribu.
Kalau ia mengambil ikan getul sebagai percobaannya, karena ikan
itu yang paling gampang menyesuaikan diri. Jadi kalau ikan getul
itu saja mampus, ikan-ikan yang lain apa lagi.
Ingot mengaku tak puas, karena waktu mendesak. Ia hanya bekerja
sekitar 20 hari. "Banyak hal belum terjawab," katanya. Juga
karena peralatan laboratorium sekolahnya kurang lengkap. Ia tak
bisa menghitung berapa persisnya kadar chroom di air limbahan
itu.
Fatah Budi Utomo, siswa kelas IV STM Pembangunan Bandung,
rumahnya 10 km dari sekolah. Ia berangkat pagi-pagi, bersepeda.
Suatu pagi mendadak muncul gagasan di kepalanya bagaimana kalau
membuat satu alat yang bisa mematikan lampu listrik secara
otomatis, bila alat itu kena sinar matahari.
Sebagai anak pegawai negeri berpangkat IID, tentu ia tak mampu
menyediakan biaya besar buat percobaan. Uang Rp 6,5 ribu
diperolehnya dengan susah payah. Tapi jadinya sebuah alat yang
banyak gunanya. Antara lain bila terkena panas berlebihan,
berbunyi. Jadi bisa dipakai sebagai tanda kebakaran.
Ia tak mengira, menjadi pemenang II bidang Elektronika Terbatas.
Gurunya sendiri, Pak Darman Nadar, menilainya "bukan murid
terbaik, tapi ulet dan tekun." Itulah, ketika Fatah harus
mengirim karyanya ke Jakarta, sekolahnya membiayai
pengirimannya.
Tim SMAN VII Jakarta dipimpin Haryanto berhasil menjadi pemenang
I bidang Teknologi. Karyanya tentang pemanfaatan air laut
sebagai air minum dengan menggunakan tenaga matahari. Di
ckolah, anak kelas III IPA itu memang juara. Ide muncul ketika
dia sedang rekreasi di Pantai Ancol. Eksperimennya makan biaya
Rp 20 ribu -- termasuk ketika gagal, karena hujan. Anak yang
suka menyendiri ini ternyata humornya boleh juga. Katanya: "Kami
mendapat Rp 125 ribu. Jadi secara ekonomis cukup laba besar.
525%. Hebat 'kan."
Anak yang juga bukan juara kelas, tapi menang lomba ialah Agus
Sugiyanto, siswa STM Marsudi Luhur II, Yogyakarta. Ia meraih
pemenang III bidang Fisika. Agus tahun lalu memperoleh nomor III
dalam lomba karya ilmiah Dep. P&K. Komentarnya tentang dua lomba
itu "Tes lisannya lebih berat ketika di Departemen P&K. Langsung
berhadapan dengan beberapa profesor. Yang sekarang kami tak
tahu mana juri mana penonton." Jadi, arti berat itu, dia tak
grogi.
Terakhir, baiklah dikutip penutup karya tulis dari Jayapura
pemenang I bidang Biologi: "Yang merupakan kesulitan inti adalah
dalam hal penyusunan karya . .. Sekalipun maksud tersirat dalam
pikiran, namun untuk menerapkannya berupa susunan kata-kata
dalam tulisan menjadi bingung . . . " Benar, kelemahan yang
menjangkiti hampir semua karya tulis di situ, adalah soal
bahasa. Dan ini bukan hanya di kalangan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini