Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Apa Enaknya Mencoba

Para pemenang lomba karya ilmiah remaja dan hasil-hasil karyanya. para remaja telah berbuat banyak untuk menciptakan suatu karya.

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAK malu, ia mengaku datang dari keluarga broken home. Ibu-bapanya cerai sebelum ia masuk sekolah dasar. Karena itu hidupnya terlempar di antara kerabat"nya, terutama para paman dan bibinya. Hidup saya mirip pembantu," katanya tanpa canggung. "Tapi bagaimanpun saya harus bisa sekolah." Pemenang III bidang Kimia ini, Tri Winarni, dengan karyanya Korosi dun Pencegahannya, memang gigih. Untuk menyusun tulisannya, dari pondokannya di Demangan, Yogya, ia jalan kaki ke Toko Buku Gunung Agung (sekitar 3 km) hanya untuk membaca buku. Menghemat," kata cewek siswa STM Pembangunan kelas IV Jurusan Kimi ini. Di perpustakaan sekolah buku itu memang tak ada. Untuk membelinya, beasiswa Supersemar yang diperolehnya sejak kelas III, sebesar Rp 6 ribu per bulan, tentu tak cukup. Sebab "hidup saya tergantung beasiswa itu." Dalam karya tulisnya memang tercantum daftar pustaka yang antara lain menyebut dua buku: Engineering Metal dan Engineering Chemistry. Dan anak ketiga di antara 6 saudara kandung yang juga mempunyai 6 saudara tiri ini, mengaku bisa bahasa Inggris -- pasif. Tapi mengapa korosi? "Korosi sepertinya tak diperhatikan orang. Padahal kalau berlarut-larut negara bisa rugi besar." Ia tidak omong besar: "Di Amerika Serikat, tercatat kerugian karena korosi US$7 milyar setahun. Ia memang tak tahu berapa kerugian itu di Indonesia. Ya, siapa tahu? Kelompok yang dipuji dewan juri bidang Biologi, dan memperoleh nomor pertama, terdiri dari satu cowok (Kalatiku Marthen anak Toraja) dan tiga cewek (Rahajeng Purwianti, Trikora Margyani dan Suratni). Ketiganya asal Jawa, anak para guru Trikora. Keempat siswa SMAN 414 di Jayapura itu rupanya dibekali bakat keingintahuan. Rahajeng, misalnya, pernah mencoba meneliti mengapa terung muda tidak pahit, dan yang tua pahit. Tapi gagal, karena tiada bimbingan. Dia ini pula yang berani mencoba mencicipi ulat sagu. "Rasanya seperti rasa lemak, gurih," ceritanya. Karya mereka, Siklus Hidup Ulat Sagu, membuktikan antara lain ulat sagu berasal dari kumbang sagu -- bukan dari tepung sagu sebagaimana dipercayai penduduk asli Irian Jaya. Yang unik tentang ulat sagu ini, dalam karya tulis rekan mereka dari sekolah yang sama (tidak menang), disinggung sedikit aspek sosialnya. Ligya Soejono dan dua kawannya menulis bahwa mereka tak berani mengatakan kepada penduduk kalau ulat sagu bukan berasal dari tepung sagu, tapi dari kumbang. Mereka takut penduduk tak akan mau lagi makan ulat itu, dan itu akan merugikan mereka yang hidup di daerah rawan pangan itu. Tapi lain dengan Rahajeng. Tanpa menyadari akibat yang bisa timbul, ia mencoba memberi tahu beberapa penduduk. "Wah, mereka tak percaya," katanya heran. Untunglah. CEWEK lagi, Henny Indreswari, siswa kelas IV Sekolah Menengah Pendidikan Sosial, Malang, karya tulisnya di bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan terpilih sebagai yang terbaik. Cewek ini pernah menang dalam lomba karya penelitian di Institut Pertanian Bogor, tahun lalu. Dulu ia menelit Lembaga Sosial Desa. Karyanya yang sekarang, mendapat hadiah Rp 100 ribu, hasil penelitian sebulan tentang kegiatan Karang Taruna di Kecamatan Klojen, Malang. Ada pemenang bidang teknologi yang sudah berhasil menjual karyanya. Agus Supriyanto, kelas IV STM Pembangunan Semarang, meraih pemenang I dengan karya pompa hidramnya pompa otomatis yang mampu menaikkan air, digerakkan oleh aliran sungai. Menurut guru pembimbingnya, Muhammad Basri, Agus belajar dari brosur-brosur yang diperolehnya. Kemudian utak-atik membuat konstruksi sendiri. Melihat utak-atiknya bagus, Pak Basri usul bagaimana kalau dipraktekkan. Betul saja berhasil. Lantas dicoba di daerah Kendal, Semarang, di sebuah desa. Ternyata mampu menaikkan air sungai sampai ketinggian 10 m. Itulah asal mulanya orang-orang desa memesan pompa kepada Agus. Sudah melayani 5 pesanan. Harganya ukuran kecil Rp 21 ribu, yang besar Rp 42 ribu. Setelah percobaan kedua, dia -- dibantu teman-temannya di STM itu -- mampu membuat pompa hidram dalam dua hari. Hasil karya dua hari itulah yang dibawa ke Jakarta -- dan menang. Bagaimana andai lampu mobil diatur otomatis, sehingga sinar lampu besar. bila mobil berpapasan, bisa mengecil sendiri? Gagasan Budi Setiawan dan Rubi Purwono dari SMAN III Bandung itu, dalam lomba kali ini terpilih sebagai pemenang I bidang Elektronika Terbatas. Mereka memang suka mencoba-coba. Kebetulan ayah Budi, karyawan Kantor Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, punya hobi di bidang elektronika juga. Temannya, Rubi, anak pegawai PN Postel Bandung, minatnya di bidang itu bangkit tatkala berhasil membuat radio kecil meniru radio biasa. Mereka berdua mengaku tak suka keluyuran ataupun mengunjungi disko, meski kini lagi mode. "Tak sempat, kata Budi. "Kalau membuat peralatan lampu disko, memang pernah," tambahnya senang. Si Jenius, begitu teman-temannya memanggilnya, dari SMA Pirngadi Surabaya, berhasil meraih pemenang II bidang Kimia. Ia memang bukan arek Jawa Timur, tapi anak P. Bangka. Lari ke Surabaya karena "ingin maju" -- dan ikut pamannya. Untung, SMA Pirngadi meski swasta dan baru dua tahun usianya, punya Pirngadi Remaja Science Club. Ia memiliki judul karyanya: Pengaruh Air Limbahan Pabrik Kulit Terhadap Ikan Getul -- karena pernah membaca berita pencemaran pabrik logam di Tanjung Priok dan pencemaran pabrik kertas di Jawa Tengah. Berapa biaya yang telah dikeluarkannya, ia tak tahu pasti. Tapi dari sekolahnya Ingot mendapat bantuan Rp 30 ribu. Kalau ia mengambil ikan getul sebagai percobaannya, karena ikan itu yang paling gampang menyesuaikan diri. Jadi kalau ikan getul itu saja mampus, ikan-ikan yang lain apa lagi. Ingot mengaku tak puas, karena waktu mendesak. Ia hanya bekerja sekitar 20 hari. "Banyak hal belum terjawab," katanya. Juga karena peralatan laboratorium sekolahnya kurang lengkap. Ia tak bisa menghitung berapa persisnya kadar chroom di air limbahan itu. Fatah Budi Utomo, siswa kelas IV STM Pembangunan Bandung, rumahnya 10 km dari sekolah. Ia berangkat pagi-pagi, bersepeda. Suatu pagi mendadak muncul gagasan di kepalanya bagaimana kalau membuat satu alat yang bisa mematikan lampu listrik secara otomatis, bila alat itu kena sinar matahari. Sebagai anak pegawai negeri berpangkat IID, tentu ia tak mampu menyediakan biaya besar buat percobaan. Uang Rp 6,5 ribu diperolehnya dengan susah payah. Tapi jadinya sebuah alat yang banyak gunanya. Antara lain bila terkena panas berlebihan, berbunyi. Jadi bisa dipakai sebagai tanda kebakaran. Ia tak mengira, menjadi pemenang II bidang Elektronika Terbatas. Gurunya sendiri, Pak Darman Nadar, menilainya "bukan murid terbaik, tapi ulet dan tekun." Itulah, ketika Fatah harus mengirim karyanya ke Jakarta, sekolahnya membiayai pengirimannya. Tim SMAN VII Jakarta dipimpin Haryanto berhasil menjadi pemenang I bidang Teknologi. Karyanya tentang pemanfaatan air laut sebagai air minum dengan menggunakan tenaga matahari. Di ckolah, anak kelas III IPA itu memang juara. Ide muncul ketika dia sedang rekreasi di Pantai Ancol. Eksperimennya makan biaya Rp 20 ribu -- termasuk ketika gagal, karena hujan. Anak yang suka menyendiri ini ternyata humornya boleh juga. Katanya: "Kami mendapat Rp 125 ribu. Jadi secara ekonomis cukup laba besar. 525%. Hebat 'kan." Anak yang juga bukan juara kelas, tapi menang lomba ialah Agus Sugiyanto, siswa STM Marsudi Luhur II, Yogyakarta. Ia meraih pemenang III bidang Fisika. Agus tahun lalu memperoleh nomor III dalam lomba karya ilmiah Dep. P&K. Komentarnya tentang dua lomba itu "Tes lisannya lebih berat ketika di Departemen P&K. Langsung berhadapan dengan beberapa profesor. Yang sekarang kami tak tahu mana juri mana penonton." Jadi, arti berat itu, dia tak grogi. Terakhir, baiklah dikutip penutup karya tulis dari Jayapura pemenang I bidang Biologi: "Yang merupakan kesulitan inti adalah dalam hal penyusunan karya . .. Sekalipun maksud tersirat dalam pikiran, namun untuk menerapkannya berupa susunan kata-kata dalam tulisan menjadi bingung . . . " Benar, kelemahan yang menjangkiti hampir semua karya tulis di situ, adalah soal bahasa. Dan ini bukan hanya di kalangan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus