Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN ribu anak buah kapal asal Indonesia ternyata menjadi budak di atas kapal ikan Taiwan yang beroperasi di perairan lepas. Fakta itu merupakan hasil investigasi Tempo dan media independen Taiwan, The Reporter. Mereka rentan mendapat perlakuan buruk: dari disiksa hingga pulang tinggal nama.
Perbudakan juga pernah menimpa puluhan orang Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Amerika Serikat. Kasus itu menjadi heboh setelah badan penyelidik federal Amerika (FBI) memaparkan hasil investigasinya. Tempo edisi 13 Februari 1982 menuliskan praktek kotor itu sebagai laporan utama.
Kantor berita Associated Press, mengutip keterangan pejabat FBI, menyebutkan orang-orang Indonesia itu "dijual" dengan harga US$ 1.500-3.000 (Rp 1-2 juta kala itu). Tenaga kerja Indonesia itu dipaksa tinggal bersama para "pemilik" selama dua tahun sebagai pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan babu.
"Saya sangat heran bahwa dalam masa sekarangpada abad seperti iniorang masih dapat menjebloskan orang lain ke dalam situasi perbudakan," ujar Kepala Biro FBI Los Angeles Edward Best dalam konferensi pers.
Koran dan stasiun televisi di Amerika melaporkan kasus perbudakan di abad ke-20 itu. Memaksa seseorang menjadi pelayan, menurut undang-undang Amerika, merupakan kejahatan. Ternyata orang-orang kaya di Amerikabeberapa di antaranya keturunan Indo Belanda yang pernah tinggal di Indonesiamemperoleh TKI lewat biro perjalanan. Lantas para majikan itu menahan paspor dan surat keterangan.
Seorang di antara "budak" itu Nyoman Ngakan asal Bali. Dia mengaku pernah mencoba melarikan diri, tapi tukang pukul majikannya menemukan dia, Nyoman pun dianiaya. Sekalipun FBI hampir setahun menyelidiki masalah ini, pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Los Angeles tidak pernah merasa ada yang tidak beres dengan warga negara RI di sana. "Kami tidak pernah mendapat pengaduan," kata seorang pejabat yang menolak disebut namanya kepada Salim Said dari Tempo.
Dari sebuah sumber lain di Kedutaan Besar RI di Washington, Tempo memperoleh keterangan bahwa kasus yang sedang diramaikan ini sebetulnya bukan hal baru. Menurut catatan KBRI, pada 1980 sebuah kasus menyangkut ditelantarkannya seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia bernama Kartini pernah terjadi di California.
Yang mendatangkan Kartini waktu itu, menurut KBRI, adalah David Mussry, pemilik biro perjalanan PT Amanda Bali Internasional yang juga memiliki Hotel Bali International di Jakarta Pusat. "Apakah David Mussry terlibat lagi dalam kasus di Los Angeles ini, kami belum mendapat laporan," ujar pejabat tersebut.
Nama David Mussry memang kemudian banyak disebut-sebut. Ia bahkan dituding sebagai "dalang" kasus budak kontrakan ini. Kepala Dinas Penerangan Kepolisian RI Brigadir Jenderal Darawan Sudarsono membenarkan kabar bahwa polisi telah memeriksa DM, pemilik hotel dan biro perjalanan di Jakarta Pusat yang diduga punya kaitan dengan pengiriman tenaga kerja ke Amerika. Dalam pemeriksaan, DM antara lain mengakui pernah mengirim 12 orang Indonesia ke Amerika beberapa waktu yang lalu.
Menurut laporan kantor berita UPI dari Los Angeles, dalam operasinya, DM bekerja sama dengan seorang wanita dalam hal "pemalsuan visa, pembelian tiket pesawat terbang, dan pemberian uang" kepada orang-orang Indonesia yang diberangkatkan ke Los Angeles. Mereka dijemput oleh wanita tersebut di lapangan terbang. Mereka ditempatkan pada keluarga yang sudah memesan dengan bayaran US$ 3.000 seorang.
Los Angeles Times memberitakan komplotan "penjual orang-orang asing" untuk dijadikan pelayan kepada keluarga-keluarga kaya Amerika ternyata beroperasi juga di New York dan Miami. Memang tidak semua tenaga kerja Indonesia dikirim oleh calo. Ada juga yang dibawa oleh keluarga Indonesia sendiri. Mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, yang buat Indonesia dianggap sesuatu yang biasa. Namun, di Amerika, kebiasaan ini bisa dianggap melanggar undang-undang.
Kasus perbudakan ini memperoleh perhatian luas dari masyarakat Indonesia yang tinggal di sekitar Los Angeles. Mereka mengusahakan pengacara untuk membantu warga Indonesia yang jadi korban.
Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri Joop Ave mengatakan kasus ini membuka mata untuk melihat kemungkinan lapangan kerja baru bagi warga Indonesia di luar negeri. "Jika kemungkinan itu ada, kita bisa melaksanakannya dengan mengatur secara baik," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo