Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Kementerian Keuangan menghentikan semua bentuk kerja sama dengan JPMorgan Chase Bank adalah langkah yang bisa dimengerti. November lalu, bank terbesar di Amerika Serikat itu mengeluarkan hasil riset yang menurunkan rating investasi Indonesia sekaligus dua tingkat: dari overweight (beli) menjadi underweight (jual).
Sebagai lembaga keuangan pengelola dana klien, JPMorgan rutin melakukan riset sebagai bahan untuk memberi saran investasi. Dalam riset terakhir, JPMorgan merekomendasi kliennya agar menjual obligasi Indonesia. Alasannya, setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat, risiko memegang obligasi Indonesia akan tinggi. Kesimpulan itu dipersoalkan Kementerian Keuangan. Kementerian mempertanyakan, bagaimana mungkin peringkat Indonesia melorot dua tingkat, padahal rating Brasil, yang sedang gawat akibat pemakzulan Presiden Dilma Rousseff, hanya turun satu tingkat dari overweight menjadi netral.
Menteri Sri Mulyani telah memerintahkan pemutusan kerja sama pada 17 November 2016, tapi baru pekan lalu hal itu diumumkan. Alasan resmi pemutusan tertuang dalam surat Direktur Jenderal Perbendaharaan Marwanto Harjowiryono ke JPMorgan. Isinya, Kementerian memutus segala hubungan kemitraan karena hasil risetnya dianggap bisa merusak stabilitas ekonomi.
Patut dicatat, JPMorgan bukan lembaga pemeringkat. Perusahaan itu merupakan agen penjual surat utang dan manajer investasi. Sebagai penjual, perusahaan berkepentingan menyatakan barang dagangannya bagus. Tapi, di sisi lain, sebagai agen atau broker, JPMorgan harus jujur kepada pelanggan.
JPMorgan tentu sangat membutuhkan riset yang kuat dan obyektif. Hasil riset yang dikeluarkannya bukan pemeringkatan, melainkan rekomendasi. Dimaksudkan untuk kepentingan internal, sah-sah saja jika ada orang yang merujuk pada rekomendasi bank itu.
Karena itu, tudingan bahwa rekomendasi JPMorgan dikeluarkan untuk kepentingan jelek membutuhkan bukti yang lebih konkret. Direktur Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio menyatakan JPMorgan sengaja mengeluarkan rekomendasi negatif agar para investor melepas investasi dengan harga rendah untuk kemudian dijual lagi oleh JPMorgan dengan harga tinggi. Patut diketahui, sebagai agen, JPMorgan tak mungkin mengatakan surat utang Indonesia bagus kalau kenyataan mengatakan sebaliknya.
Tapi mengabaikan beberapa catatan miring tentang JPMorgan juga tak bijaksana. Pada 2015, Commodity Futures Trading Commission, lembaga pengawas perusahaan investasi Amerika Serikat, mendenda JPMorgan US$ 300 juta karena terbukti menggiring investornya menanam uang di perusahaan yang terafiliasi dengannya. Setahun sebelumnya, JPMorgan didenda US$ 2 miliar karena terbukti melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Bank dalam skandal investasi bodong Bernard L. Madoff.
Lepas dari sejumlah catatan itu, unsur terpenting di bisnis keuangan adalah niat baik dan kepercayaan. Kecurigaan pemerintah bahwa rekomendasi JPMorgan didasari niat buruk untuk menggoreng harga menunjukkan pemerintah tidak lagi percaya. Sampai di sini, pemutusan kontrak itu wajar dan bisa dipahami. Meski demikian, pemutusan kontrak ini seyogianya diikuti dengan penjelasan pemerintah kepada dunia usaha agar rekomendasi JPMorgan itu tidak semakin buruk memukul ekonomi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo