MANIK-manik Kalimantan Timur juga terkenal. Manik-manik ini
biasanya dirangkai jadi kalung, tempat pinsil bahkan tas
sekolah. Orang bisa juga pesan tempat pinsil dengan huruf depan
dari nama si pemesan.
Manik-manik asli, bagi Suku Bangsa Dayak yang tinggal di
pedalaman hulu Sungai Mahakam, konon sama nilainya dengan harga
diri mereka. Ragam manik-manik, aneka warna. Ada yang sebesar
kacang hijau, ada pula yang sebesar dadu. Manik yang tak
mempunyai warna, dinamakan manik buntat. Tapi dari semua manik
yang beraneka warna itu, ada yang berkelas tinggi. Bahkan
dipercaya mengandung khasiat tertentu. Manik tersebut ialah
manik-manik ukiran, karena tubuh manik penuh dengan ukiran yang
semrawut dan tampak sedikit absurd. Jenis ini umumnya segede ibu
jari tangan.
Mandau
Begitu berharganya manik-manik ini, nilainya sama seperti
binatang yang namanya babi untuk penduduk pedalaman Irian Jaya.
Terutama yang berwarna hijau lumut, mereka beranggapan mempunyai
khasiat yang bukan main. Manik hijau lumut ini biasanya
dijadikan kalung dan tergantung macam medalion. Pemilik manik
hijau lumut biasanya kepala suku atau pimpinan "anghatan perang"
dan dianggap sebagai jimat Sembarang orang tak diperkenankan
memakainya.
Pernah, gara-gara manik nyaris pecah pcrkelahian dengan mandau
Ceritanya begini. Seorang anak kepala suku ingin mengawini
seorang gadis ayu, yang juga anak kepala suku dari daerah lain.
Lamaran segera dilaksanakan. Tanpa melewati soal-soal rumit,
orangtua si gadis setuju. Pasangan muda-mudi ini dianggap
sepadan. Hari perkawinan segera ditentukan dan pihak pengantin
perempuan minta manik-manik sebagai mas kawin. Permintaan pihak
wanita ini segera dipenuhi dan dikirimlah dua buah manik,
sebagai lambang sepasang suami isteri baru.
Tiba-tiba kebahagiaan pasangan baru itu cemar oleh adanya
kemarahan dari pihak orangtua wanita. Rasa girang dan pesta
besar diusik oleh adanya berita bahwa manik-manik yang dijadikan
mas kawin itu palsu, manik-manik imitasi yang kemungkinan besar
dibuat dari plastik belaka. Kena tipu begini, martabat orangtua
si gadis merasa diinjak-injak. Mereka kemudian mengancam bahwa
nyawa orantua laki-laki -- yang dianggap telah menipu ini --
harus melayang. Sang kepala suku yang satu ini, tentu saja tidak
rela kepalanya melayang oleh mandau begitu saja. Dia kemudian
memerintahkan rakyatnya untuk mempertahankan negerinya. Pecahlah
perang antara dua suku bangsa tersebut dan kedua kampung
tersebut bermusuhan.
Nyaris Punah
Kini, sulit mencari manik-manik yang asli dan manik-manik
imitasi. Di Samarinda, banyak toko suvenir yang menjual
manik-manik dalam berbagai ragam kerajinan tangan. Jangan
menganggap semua itu manik-manik asli. Yang imitasi bahan
bakunya macam-macam. Ada manik-manik yang dibuat dari plastik,
dari kaca, porselin dan keramik. Pada umumnya, manik-manik yang
diimpor itu kecil-kecil walaupun bentuknya tidak beda dengan
manik-manik yang asli, terutama yang dari hulu Sungai Mahakam.
Biarpun manik-manik bukan asal Mahakam, tetap disebut
manik-manik imitasi, sebetulnya juga manik-manik asli. Hanya
bukan berasal dari Kalimantan Timur yang kabarnya tahan api.
Orang sana percaya bahwa manik-manik yang berasal dari
Singapura, Cekoslowakia atau dari Bandung sekalipun, tidak
mempunyai khasiat apapun juga.
Sebegitu jauh, belum diketahui khasiat apa gerangan yang
terkandung dalam manik-manik asli. Kepala Permuseuman, Sejarah &
Kepurbakalaan P&K Kalimantan Timur, Husin Achmad, juga
menyatakan bahwa khasiatnya tak pernah bisa dibuktikan. "Untuk
kekebalan tubuh juga tidak," tutur Husin. Tambahnya: "Secara
kronologis, asal muasal manik itu juga tidak diketahui." Tapi
menurut cerita, manik-manik itu bersumber dari gunung. Manakala
hujan lebat turun, kabarnya, manik-manik bermunculan begitu saja
di kaki gunung. Orang-orang Dayak pun kemudian tinggal
memungutnya. Di mana letak gunung manik-manik, tidak pernah ada
orang yang tahu.
Ir. Rahman Karim, Kepala Perindustrian Kal-Tim kemudian
mengeluarkan pendapatnya juga. Bahwa kemungkinan besar,
manik-manik tersebut berasal dari Tiongkok atau India, di mana
di zaman dulu kala, kepala suku atau raja-raja orang Dayak
saling bertukar hadiah. Karena selain manik-manik yang
dijimatkan, mereka juga menyimpan patung-patung dan belanai
dengan ukiran bercorak Hindu. Dulu, "sebutir manik yang dianggap
berkhasiat tinggi bisa ditukar dengan 10 orang tawanan perang,"
kata Rahman lagi.
Benda-benda ini tiba-tiba populer di tahun 1968. Waktu itu,
beberapa suku pedalaman yang tak terlalu liar turun ke kampung
membawa manik-manik. Mereka menukarkan benda-benda itu dengan
sekilo atau dua kilo beras atau rokok beberapa bungkus. Ketika
orang kota cinta akan manik-manik, harga pun melonjak. "Satu
untaian manik yang dijadikan kalung, waktu itu sampai berharga
Rp 10.000," cerita Rahman. Tak ayal, orang Dayak kemudian
menjadikan manik-manik yang keramat jadi barang dagangan.
Lebih-lebih ketika para pemuka daerah selalu memberikan hadiah
bagi orang-orang Pusat yang daung ke sana. Manik-manik yang
dihadiahkan, sempat pula dibisikkan sebagai benda berkhasiat.
Seperti cerita batu kecubung asihan yang bisa menggaet siapa
saja -- konon -- yang dimauinya. Orang Jakarta yang mendengar
hal ini, bertambah getol mencari manik-manik. Konsumen
bertambah, sementara gunung tidak lagi memprodusir manik-manik.
Jalan paling gampang ialah mengimpornya. Dan dari semua itu,
yang paling beruntung bisa memboyong manik-manik yang asli, yang
sungguhan, ialah orangorang Malaysia dan Pilipina. Orang Jakarta
paling banter cuma sampai Samarinda dan puas mendapat
manik-manik tiruan biarpun dikatakan asli. Bagi orang Malaysia
dan Pilipina, manik-manik didapatnya ketika mereka masuk hutan
selagi menggarap penebangan kayu di sana. Akibatnya, harga
manik-manik melonjak terus. Kini untuk sebuah tas sekolah yang
dibuat dari manik-manik, harga toko bisa mencapai Rp 50.000,
sementara seuntai kalung berharga Rp 20.000. Itupun, tidak
jelas, yang asli atau imitasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini