INI tentang keluarga teladan. Yayasan Scorpio (Yasco) memberikan
persyaratan sebagai berikut. Pasangan keluarga teladan adalah
mereka yang telah menikah 50 tahun. Taqwa kepada Tuhan.
Mempunyai anak yang jadi "orang baik-baik". Berpandangan baik
terhadap KB dan ya jadi teladan bagi lingkungannya. Untuk
pasangan keluarga bahagia dan harmonis, tidak banyak beda dengan
keluarga teladan, hanya masa perkawinan 25 tahun.
Malam tanggal 2 Juni yang lalu. Yasco mengadakan pesta
sekedarnya untuk menobatkan mereka yang telah berhasil dipilih
jadi pasangan dengan ketentuan di atas. Bertempat di Hotel Sahid
Jaya, Yasco juga sekalian merayakan HUT-nya yang keempat.
Yayasan ini semula terkenal dengan biro jodoh yang konon telah
berhasil menikahkan gadis dengan perjaka, duda dengan perawan,
janda dengan perjaka.
Pilihan Anak
"Dan kerja kami ini bukan latah-latahan," kata M. Subky Hasbie
yang jadi Ketua Dewan Pelaksana untuk pemilihan macam ini. Ini
disebabkan karena Hasbie telah melihat dan mendengar beberapa
orang yang mengeluh soal keadaan rumah tangganya. "Bahkan ada
seorang isteri yang berpendirian: lebih baik suaminya pergi ke
nightclub atau ke WTS, asal pulang ke rumah " ujar Hasbie, "dan
fikiran demikian ini jelas tidak bisa dibenarkan." Kemudian
Yasco mengeluarkan pengumuman, sayang kurang banyak didengar
oleh masyarakat luas.
Sebuah badan juri kemudian dibentuk, diketuai KH Hasan Basri
yang kini menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Anggota juri
yang lain ialah Dr. H. Ali Akbar dari BP4 H. Zubaidah Muchtar
dari BMOIWI, Mudasir dari PWI dan Ien Basri Ananda dari PKBI DKI
Java. Kerja para juri tidaklah berat, yaitu cuma meneliti
berkas-berkas pasanan yang dimasukkan oleh Dewan Pelaksana.
"Idealnya memang," kata Hasbie "juri mengadakan penelitian on
the spot. Tapi belum sempat."
Dengan nada penuh maaf Hasbie juga mafhum bahwa persiapan
panitia kali ini kurang rapi. Masa pengajuan calon hanya satu
bulan. Calon-calon pasangan yang dianggap seronok diajukan oleh
sebuah badan yang disebut promotor. Hasbie juga tidak
menjelaskan siapa-siapa yang bisa jadi promotor itu. Ternyata
promotor memberikan beberapa nama yang sudah jadi tokoh
masyarakat. Seperti H. Mohammad Roem dan nyonya yang terpilih
sebagai pasangan keluarga bahagia. Ada pula orang yang memang
sudah kebeken, seperti pasangan Sukamdani S. Gitosardjono,
sebagai pasangan keluarga bahagia, yang "kebetulan" mempunyai
hotel yang jadi tempat perayaan.
"Data yang masuk, hanya itulah," kata Hasbie lagi, "yang dari
golongan rendah memang tak ada." Dia kemudian mengharapkan bahwa
pemilihan macam ini dilembagakan dan sempat bekerja setahun
penuh. Juga bisa menggali dari segala kelas dan macam keluarga
yang lebih luas. Kata Hasbie lagi: "Sebuah rumah yang
menenteramkan, pada dasarnya bukan sekedar tampak dari bentuknya
yang mewah, kukuh dan sentosa. Tapi terlihat dari wajah para
penghuninya yang cerah, rukun dan bahagia."
Jangan Makan Hati
Apakah pilihan panitia sudah tepat? Juri memindahkan
tanggungjawabnya kepada Dewan Pelaksana, yang menyodorkan
data-data 34 pasang suami isteri yang harus dipilih dalam tiga
kategori (teladan, bahagia dan harmonis). Di antara mereka
dipilih 10 pasangan suami-isteri.
Nama paling atas yang disebut sebagai pasangan Keluarga Teladan
ialah RB Soerjohardjo. Pasangan ini menikah di tahun 1923.
Walaupun jumlah anak tidak segaris dengan ketentuan Keluarga
Berencana, Soerjohardjo mempunyai anak 14 orang banyaknya. Ini
yang hidup. Total jenderal sejak dulunya, sang nyonya telah
melahirkan 20 bayi, 3 keguguran dan 3 anak telah meninggal.
Menurut pengakuan Soerjohardjo, selama perkawinan mereka tak
pernah ribut-ribut. Resepnya, menurut sang nyonya "Kalau bapak
ribut, saya diam saja." Dan kalau ribut kelewatan? Barulah sang
nyonya buka suara: "Apa tidak malu kedengaran tetangga? Kita
ribut-ribut, tapi tiap tahun punya anak satu. Apa tidak malu?".
"Nah, kalau dia sudah berkata begitu, bukan cuma 1-0, tapi 2-0,"
sambung sang suami.
Masing-masing faham dan tahu soal-soal apa yang bisa membuat
berang teman hidupnya. Pak Soerjohardjo tidak senang kalau
isterinya memotong kalimat-kalimat yang sedang diucapkannya.
Isterinya juga minta pengertian dari suaminya, jangan
sekali-sekali dia dibohongi. Resep sukses lainnya: "Pantang bagi
kami menceritakan kesulitan hidup pada anak." Biarpun usianya
sudah 78 tahun (isterinya 5 tahun lebih muda), Soerjohardjo
masih bekerja di sebuah kantor Swasta. Dalam tempo 24 jam dia
membagi jadwal setiap harinya 8 jam bekerja, 8 jam berfikir dan
8 jam sisanya mengaso. Supaya tidak cepat tua (paling tidak
tetap bersemangat), "hati harus gembira dan jangan makan hati,"
ujarnya, "nanti bisa tebese."
Di rumahnya di bilangan Jatinegara ada sebuah musholla kecil. Di
dinding rumah ada tergantung sebuah tulisan yang berbunyi:
"rasa tanggung jawab itu merupakan mutiara yang tidak
ternilai." Tulisan yang lain: 'hormati, jagalah selalu nama baik
ayah-bundamu menjadi umat yang bermutu." Berbicara mengenai
tulisan-tulisan tersebut, Soerjohardjo berkata lagi: "Dari pada
dengan mulut, 'kan lebih baik begitu. Bisa dibaca kapan saja."
Nama Soerjohardjo sampai di meja Dewan Pelaksana, atas usul
salah seorang dari 14 anak-anak (dan 7 orang mantu) yang telah
mengirim data-data mengenai orangtuanya, yang dianggap patut
dinobatkan jadi pasangan Keluarga Teladan. Niat sang anak
kesampaian. Dan di malam orangtuanya mendapat predikat pasangan
teladan, ke-21 anak dan mantu datang menyaksikan untuk memberi
penghormatan. Dan tentu saja, mereka datang tidak dengan kartu
undangan gratis. Tapi membeli karcis yang harganya Rp 5.000
seorang. "Rp 105.000 buat beli karcis untuk melihat bapak-ibunya
diberi kehormatan," kata Soerjohardjo ketawa puas. Orangtua yang
mempunyai semangat muda ini lugu sikapnya. Juga selalu terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini