Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ya tuhan, itulah anaknya

Banjir di aceh barat merupakan bencana dahsyat. sungai krueng meureubo yang dangkal & tak pernah deras mampu merobohkan rumah. penduduk yang mengungsi terancam kelaparan karena bantuan yang tersendat.(sd)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI 40 ribu rakyat Aceh Barat yang diobrak-abrik banjir pertengahan Mei yang lalu, sudah ada yang mencoba tegak kembali. Dengan hati yang perih mereka menyaksikan rumah ladang, kebun, lumbung-lumbung, serta mungkin juga hari depan, dikeremus dengan ganas. Sambil memikirkan apa yang bisa dimasukkan ke mulut, mereka menegakkan tiang membangun gubuk sementara. Dan para petani yang sudah bertekad tidak menyerah berusaha mencari bibit untuk mulai menanam lagi. Sapiyah, Zainal dan Kasno mengadu kepada Darmansyah dari TEMPO: betapa dahsyatnya bencana itu. Kasno, petani usia 58 tahun yang telah 40 tahun tinggal di Desa Prowodadi, Kecamatan Kuala, tak pernah melihat banjir sebuas itu. Krueng Meureubo, sungai itu, paling hanya muntah sebatas tulang kering di kaki. Itupun tak pernah deras. Tapi kini Kasno sampai-sampai memikul isterinya -- Suparti -- di pundak dan memanjat pohon kelapa. "Mungkin ini pertanda dari Tuhan atas kita-kita ini," kata orang tua asli Wonogiri itu. Kuli Kontrak Kasno termasuk beruntung karena mulai bertindak tatkala air baru menggerayangi lantai rumahnya. Ke-4 orang anaknya cepat-cepat ia ungsikan ke rumah adiknya di Kompleks Perkebunan Socfindo. Waktu ia kembali bersama isterinya untuk menyelamatkan harta benda, ternyata air sudah menjamah meja dan tempat tidur. Ia masih mencoba berbuat sesuatu -- tapi kemudian sebatang kayu besar hanyut menghantam tubuh rumah. Dinding samping jebol. Letaknya bergeser. Dan petani tua ini jadi keder juga -- apalagi air meluap cepat mencapai ketinggian 1,5 meter. Untung dekat rumahnya ada 3 batang kelapa berdekatan. Maka di sanalah Kasno dan bininya bertengger. Kalau tidak ditolong oleh pohon kelapa itu, barangkali Kasno laki-bini tidak ketemu Darmansyah. Tidak bisa menceritakan, betapa dahsyatnya malapetaka itu. Mula-mula rumahnya mulai bergerak-gerak. Kemudian bruk, roboh, dindingnya copot satu-satu. Dari robohan itu berserak segala perabot rumah, seperti mengucapkan selamat tinggal. Sedih hati Kasno -- tapi yang lebih kuat lagi adalah takut. Parto saja, seorang jirannya yang terlambat menyelamatkan diri karena hendak membela harta benda, hanyut dan tewas. "Air naik pukul 3 sore. Saya bertahan di pohon kelapa sampai pagi hari," tutur Kasno dengan lidah medok Jawa. Kasno terlempar ke Aceh sebagai kuli kontrak perusahaan Socfindo. Tengah menyadap karet di perkebunan, ia menemukan jodohnya: Suparti -- 28 tahun yang lalu -- wanita yang juga asal Wonogiri. Kasno berhenti jadi kuli, membuka ladang. Tapi akibat kemurkaan Krueng Meureubo, satu hektar sawah yang baru ditanami 1 bulan tertimbun pasir. Sementara satu hektar ladang palawija ikut porak poranda. Ia hanya bisa menarik nafas berat menyaksikan semua itu. Di atas tapak rumahnya yang sudah fana, ia mencoba mengumpulkan tiang dan papan yang masih bisa dipakai. "Mungkin beberapa hari lagi gubuk darurat saya bisa siap," ujarnya. Ia sudah lapor kehilangan rumah. Kehilangan padi. Selama 5 hari hanya makan pisang rebus. Tapi belum juga menerima bantuan Pemerintah. Kecuali ada petugas dari Kecamatan yang tanyatanya. Matanya berbinar-binar mendengar kabar, bahwa mereka yang kehilangan rumah dapat bantuan Rp 10 ribu plus beras. "Betul itu Pak?" tanyanya. Kebetulan Bupati mengadakan kunjungan. Kasno jadi bungah: laporannya bahwa ia belum menerima bantuan, sudah dicatat. "Bahkan Pak Bupati marah betul sama Camat," kata Kasno. "Saya ada poto bersama Pak Bupati sebagai bukti." Bahaya kelaparan sudah jelas. Tapi Kasno masih belum ketakutan. Sesuai dengan dalil orang Jawa, ia berkata: "Sebagai mahluk Tuhan saya harus nrimo dengan nasib begini." Dan sebagai pantulan dari kebandelannya yang lugu, ia menambahkan: "Saya akan tetap di sini walau apapun yang terjadi." Isterinya tak mengatakan apa-apa. Perempuan itu sudah menanggalkan kalung dan giwang anaknya yang berbobot 9 gram. Dilego di Meulaboh dengan susah payah. "Kata pemilik toko mas di sana, ia sedang tak punya uang," tutur Kasno. Merangkak Ke Bukit Dibanding dengan Kasno, Zainal Abidin (35 tahun) asal Desa Tutut Kecamatan Sungai Mas, menderita kekalahan lebih besar. Petani muda ini mengolah sepetak sawah 2 naleh bibit. Sebagai usaha sampingan ia membuka jualan di samping rumah. Hidupnya pas-pasan, tapi ia bersama 6 mulut anak yang ditanggungnya termasuk pintar untuk merasakan kebahagiaan dari kesederhanaan. Bagaimana tidak. Di samping sebuah rumah ia juga punya 2 ekor kerbau, kebun, dan sebuah lumbung padi. Tapi semua itu sekarang harus dicoret. Ia tak memiliki apa-apa lagi. Banjir sudah menjilat ludas -- tandas. Maklum kecamatannya memang terbilang kawasan yang paling robek dalam musibah Mei itu. Bayangkan: hanya 4 buah rumah yang mampu bertahan di seluruh desa. "Itu pun karena letaknya kebetulan agak tinggi," kata Zainal. Waktu air menyerang dengan kecepatan tinggi, Zainal memimpin keluarganya merangkak ke atas bukit -- hanya 200 meter dari rumahnya. Zainal sendiri pada mulanya ingin bertahan sebagai seorang yang jantan. Untung isterinya pakai akal sehat: ia mendesak supaya cepat mengungsi. Zainal masih berusaha menyelamatkan barang-barang yang ringan. Tapi isterinya ngotot agar yang paling penting diusahakan adalah keluar dari air yang sudah merogoh pinggang itu. Zainal untung menuruti hardikan isterinya. Mula-mula anak-anak yang diantar ke bukit, dengan harapan ada waktu untuk kembali menjemput barang-barang. Tentu saja tidak. Melawan arus dengan beban menyelamatkan nyawa anak-anak, bukan pekerjaan yang ringan. "Untung saja luapan air itu sore hari. Kalau malamlah air naik, tamatlah riwayat kami," kata Zainal. Meskipun sulit sekali, Zainal berhasil mencapai bukit tanpa mengorbankan nyawa anak-anak yang dibesarkannya itu. Tapi waktu ia menoleh ke belakang, ya Tuhan, air sudah melonjak 3 meter lebih. Maka ia hanya memandang ke depan. Di bukit itu ia bertemu dengan 4 buah keluarga pengungsi lain. Barak darurat dibangun. Atapnya daun pisang, lantainya daun kelapa. 2 hari Zainal sekeluarga bertahan di situ. Menu mereka anak-beranak, dari nasi berobah menjadi pisang muda yang dipanggang. Sedang untuk minum, tak ada pilihan lain kecuali menelan air butek. Waktu perang itu kemudian reda, yakni tatkala air sudah surut kembali, keluarga Zainal memandang dari bukit ke lembah dengan rasa yang kosong. Hancur, dan sakit. Tak ada lagi sisa-sisa kehidupan. Yang ada hanya seruan, anjuran, agar para pengungsi bergerak menuju ke sebuah SD Inpres. Pahlawan Zainal lalu memimpin keluarganya ke tempat pengungsian itu. Tapi anaknya yang nomor 4 (perempuan, 6 tahun) diserang sakit keras. "Mungkin karena makanan tak sempurna," kata Zainal. Hanya 2 hari sakit itu bisa ditahan. Anak itu, ya Tuhan, meninggal di tempat pengungsian. Isteri Zainal menundukkan kepala. Tapi di daerah pengungsian pasti tidak hanya mereka yang menderita. Berbagai keluhan, berbagai penderitaan dari begitu banyak orang berkerumun menjadi satu. Pada saat-saat semacam itu adakalanya orang berubah menjadi tabah dan kuat, termasuk juga isteri Zainal. Ketabahan itulah yang membantu Zainal menahan segalanya. Keluhan yang paling keras diucapkan setiap mulut pengungsi, adalah perkara makan. Bukan karena mereka memilihmilih. Tapi karena makanan memang tidak ada. Kaum pengungsi itu mengupas pisang dan buah sukun pada hari-hari pertama. Tapi sampai hari ke delapan banjir, bahan makanan habis. Perut harus tetap diisi. Penduduk mulai mencari umbut kelapa. "Pokoknya segala apa yang bisa menopang jeritan perut kami telan saja," kata Zainal. Ia sendiri akhirnya tak mampu bertahan lama-lama di daerah pengungsian, karena bantuan belum juga datang. "Desa kami di udik sekali, tidak mudah mencapainya," tuturnya. Pada hari kesembilan, Zainal memutuskan untuk berangkat meninggalkan Desa Tutut. Tak ada jalan lain lagi. Ia kuatkan hati keluarganya untuk meninggalkan makam anaknya yang baru dikebumikan, dan bersama menempuh 2 hari perjalanan. Untunglah usaha ini berhasil. Mereka dapat mencapai Suak Seumaseh, di Kecamatan Sama Tiga, meskipun dalam keadaan yang berantakan sama sekali. Zainal bahkan hampir tak bisa bersuara lagi. Di rumah Keucik Suak Seumasah mereka mendapat nasi. Zainal pulalah orang pertama di antara yang lolos dari desa yang berhasil mencapai kota kabupaten Meulaboh. Ia seperti seorang pahlawan. Zainal menjadi pahlawan. Ia menghadap Bupati dan melaporkan kelaparan yang mencekik warga desanya di Tutut. "Yang saya susahkan, bagaimana nasib teman-teman saya di desa sekarang," kata Zainal. Ia sendiri sudah mendapat bantuan Rp 10 ribu sebagai ganti rumahnya, serta beras 10 kilo. Berbagai cara telah ditempuh untuk merangkul Desa Tutut dan desa lainnya yang disapu banjir. Makanan dan obat-obatan secara estafet mengalir di atas roda, perahu, ataupun diangkut lewat jalan setapak. Zainal sendiri bersedia berangkat dengan tim penolong, karena ia sudah merasakan sendiri betapa terdesaknya nasib kawan-kawannya. "Bahaya paling besar adalah kelaparan," katanya dengan tegas. Sekarang mereka masih menumpang di rumah abangnya di Krueng Sabee untuk jangka waktu yang tak dapat dipastikan. Seperti Kasno, petani muda ini juga beringas untuk kembali membangun sawahnya. Di samping itu ia memikirkan bagaimana tetap meneruskan sekolah tiga anaknya. "Mereka tak boleh bodoh seperti saya," kata bapak yang hanya lepasan SD kelas IV. "Pak Bupati telah menjanjikan bibit dan bantuan pangan untuk besok-besok," katanya dengan gembira dan optimis. Namun ia selalu khawatir kalau mengingat kemungkinan banjir di masa datang. "Apa nanti tidak lagi banjir, Bang?" Lailaha illallah Sapiyah, seorang janda yang bermula dikabarkan mati dalam banjir itu, belum sempat memikirkan ancaman banjir di masa datang. Perempuan berusia 35 tahun tetapi nampak macam nenek-nenek ini masih menikmati rasa lega, karena terlepas dari lubang kubur. "Yah, Tuhan masih mengizinkan saya hidup," ujarnya kepada TEMPO. "Dari Kepala Kampung saya sudah diumumkan mati." Sejak suarninya meninggal 3 tahun lalu, ia tinggal bersama anak perempuan tunggalnya (12 tahun) di Desa Putim Kecamatan Kaway XVI. Menghuni sebuah rumah reot, maklum hidupnya hanya dari jual tenaga di sawah-sawah tetangga. Ia tak punya tanah. Rumah itu pun menumpang di tanah orang kampung. Waktu air menyerang, ia amat panik. Hasnah, anaknya, sedang bekerja di sawah tetangga. "Saya hanya mengumpulkan kain-kain, diikat dalam satu bungkusan," ujarnya mengenang peristiwa itu. "Kalau sekiranya terjadi apa-apa, harta itulah kekayaan terakhir saya." Tapi ia tidak pergi. Ia "setia" kepada rumahnya. Juga ketika air yang binal dan garang mulai merendam rumah. Janda itu mulai berdoa sembari memperbanyak ucapan la ilaha illallah. Tapi air tak mendengar suaranya -- malahan mulai mendorong rumah. Rumah Sapiyah bergerak mengikuti gerakan air. Sapiyah tak tahu harus berbuat apa. "Saya betul-betul senewen," katanya. Hanya sepanjang ingatannya ia tetap berdoa. Tapi rumah tetap bergerak. Dan bagai dituntun oleh kalimat la ilaha illallah yang diucapkan oleh bibir janda yang melarat, rumah itu bergerak bagai sebuah rakit, dan akhirnya tersangkut di pohon kuini. Dengan kehendak Yang Maha Kuasa, rumah tetap tersangkut. Tetap tersangkut di situ, sampai air surut. Sapiyah seperti bangun dari mimpi yang paling asing. Ia keluar rumah. Dan berusaha turun. Ingatan kepada nasib anaknya makin melecut. Ia berjalan ke tapak rumahnya semula, kira-kira 700 meter jauhnya. Dan di sana, di sana, ditemukannya seorang gadis kecil sedang menangis. Ya Tuhan, itulah Hasnah, anaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus