Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA mulanya sebuah niat, yakni memberi penjelasan agar keluarga Kartorejo bersedia didaftarkan sebagai calon pemilih pada pemilihan umum mendatang. Tapi akhirnya peristiwa berdarahlah yang ditemui Kopral Satu Bambang Sunarto hingga personel bintara pembina desa (babinsa) di Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Tengah, itu dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.
Peristiwa nahas ini terjadi hampir tiga dekade lalu. Saat itu 20 Mei sekitar pukul 11.00. Adalah Supiatno Hadiwardoyo, Kepala Desa Sumberhadi, yang meminta bantuan Koptu Bambang. Pak Lurah rupanya sudah kewalahan menghadapi sikap Kartorejo. Ayah empat anak dan kakek 12 cucu ini dua hari sebelumnya menolak mendaftarkan diri menjadi pemilih pada Pemilu 1987.
"Pak Lurah kemudian meminta bantuan koramil untuk memberi wejangan," ujar Koptu Bambang. Maka berangkatlah Koptu Bambang, Sersan Warsono, bersama Pak Lurah ke rumah Kartorejo.
Tapi, menurut Kartorejo, kedatangan petugas desa itu bukanlah hendak memberi nasihat. "Mereka datang untuk menanyakan anak saya," kata Kartorejo. "Ketika saya menjawab agak keras, Kopral Bambang marah dan hendak menangkap saya."
Menurut versi Koptu Bambang, ketika ditanyai baik-baik, Kartorejo tiba-tiba menyerang Pak Lurah. Bambang lalu menangkap tangannya. Tapi kemudian datanglah serangan beruntun dari anak-anak Kartorejo, yang membawa tombak, linggis, pedang, dan celurit. "Tiba-tiba kepala saya terasa pecah dan kemudian saya tidak ingat apa-apa lagi."
Keluarga Kartorejo di Desa Sumberhadi, 225 kilometer dari Tanjungkarang, dikenal penduduk sering bersikap aneh. "Mereka tidak pernah mau ikut gotong-royong dan tidak mau membayar pajak Ipeda," ucap Lurah Supiatno. Kartorejo selalu berkata, "Negara sudah merdeka. Merdeka artinya bebas, tak diatur-atur." Begitulah, keluarga Kartorejo dinilai selalu membangkang. Mereka tak mau disensus. Terakhir keluarga ini tak bersedia mendaftarkan diri sebagai calon pemilih untuk pemilu nanti. Mengapa?
Pendirian tak mau diatur-atur oleh siapa pun itu, menurut Pak Lurah, sesuai dengan ajaran atau ilmu Sapta Darma yang dianut keluarga Kartorejo. "Saban malam Jumat Kliwon, Kartorejo bersama empat anaknya berendam di sungai," ujar Lurah Supiatno. Acara berendam itu berlangsung hingga pagi hari. Hasilnya? Penduduk mempercayai keluarga ini menjadi kebal. Kabarnya, karena jengkel, penduduk pernah melempar kepala Kartorejo dengan sebuah batu besar. Ternyata tak berakibat apa pun. Sejak itu, keluarga Kartorejo makin tak hirau pada masyarakat sekitar.
Tapi apa itu ajaran Sapta Darma? Soewartini Martodihardjo, SH, yang kerap dipanggil dengan nama Sri Pawenang, membantah keras anggapan bahwa Kerohanian Sapta Darma mengajar orang bertingkah "aneh-aneh". Orang Sapta Darma, kata dia, harus bisa sujud, bisa wewarah tujuh, dan bisa menjelaskan simpul pribadi manusia. "Wewarah tujuh adalah ajaran yang wajib diamalkan," ujarnya. Ajaran itu, antara lain, setia dan tawakal kepada Allah, setia kepada Pancasila, jujur dan suci hati, serta setia menjalankan perundang-undangan negara. Jadi Kartorejo, "Adalah orang yang hanya mengaku-aku sebagai warga Sapta Darma," tutur Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma yang juga Ketua Ikatan Advokat Indonesia Cabang Yogyakarta dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Golkar itu.
Kartorejo, 70 tahun, kemudian ditahan di Kores Metro, Lampung. Seorang anaknya, Sumani, kata sumber Tempo di kepolisian, tewas karena melawan dan terpaksa ditembak. Dua anak Kartorejo yang lain, setelah mencoba melarikan diri ke hutan, akhirnya menyerah.
Koptu Bambang mengatakan tak pernah bertindak kasar kepada penduduk. "Saya ingin segera dioperasi agar bisa berkumpul dengan anak saya di Lampung," kata babinsa yang pernah ikut operasi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat dan operasi Timor Timur ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo