Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang salah dengan keterlibatan pensiunan tentara dalam tim sukses calon presiden. Sebagai purnawirawan, mereka tak terikat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang mengharamkan serdadu ikut politik.
Aturan yang melarang tentara berpolitik dibuat dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa serdadu adalah abdi negara yang "tak biasa". Mereka bersenjata dan memegang tongkat komando sehingga dianggap berbahaya jika diizinkan ikut dalam perebutan kekuasaan. Reformasi 1998 telah pula mengamanatkan perlunya supremasi sipil-doktrin yang mengharuskan tentara kembali ke barak.
Netralitas TNI tak berlaku dalam keadaan perang-ketika kedaulatan negara terancam dan seluruh masyarakat diwajibkan membela negara. Sikap berpihak TNI dalam masa damai, seperti menjelang pemilihan umum, melanggar prinsip supremasi sipil tersebut-sesuatu yang membingungkan masyarakat, selain mencemari korps.
Meski tak lagi menjadi petinggi militer, tak bisa disangkal, para pensiunan masih bisa punya pengaruh. Hubungan emosional para senior dengan juniornya yang masih bertugas itulah yang kini dimanfaatkan kedua kubu kandidat presiden. Calon presiden Prabowo Subianto dan wakilnya, Hatta Rajasa, mengklaim didukung 35 purnawirawan. Adapun pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla disokong 37 bekas petinggi TNI.
Prinsip netralitas TNI seyogianya telah disadari para purnawirawan. Keterlibatan mereka dalam tim sukses hendaknya jangan dipakai untuk mempengaruhi apalagi menekan TNI, termasuk individu-individu di dalamnya.
Kedekatan para purnawirawan dengan perwira aktif semestinya tidak disalahgunakan. Luas diketahui, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad Basya adalah sekretaris pribadi Prabowo Subianto pada 1998. Moekhlas Sidik, bekas Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut sekaligus Ketua Badan Pemenangan Partai Gerindra, adalah ipar Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Andika Perkasa adalah menantu A.M. Hendropriyono, bekas Kepala Badan Intelijen Negara yang kini anggota tim sukses Joko Widodo.
TNI harus menindak tegas perwira yang tak netral, dan menolak segala bentuk intervensi dari para senior. Pidato Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang memastikan netralitas TNI hanya bisa diterima jika ia mengambil langkah tegas terhadap serdadu yang berpihak.
Memang belum ada bukti keterlibatan purnawirawan anggota tim sukses dalam kasus bintara pembina desa yang berpihak pada Prabowo Subianto. Sejumlah babinsa diketahui mendata pemilih dan memetakan dukungan buat kandidat presiden nomor urut satu itu.
Lazimnya, tak ada prajurit yang bergerak tanpa komando atasan. Dengan kata lain, para prajurit itu diperintah. Jangan cepat-cepat menyimpulkan TNI tidak terlibat. Bisa juga ada organ militer yang nekat menyempal untuk mencemarkan nama korps. Isu penyempalan ini mudah membesar karena menyangkut hal penting: pemilihan pemimpin negara.
Sikap mendua TNI terhadap skandal ini menunjukkan ada yang "tak beres". Panglima TNI menyatakan tak ada babinsa yang terlibat. Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Budiman memastikan keterlibatan itu, bahkan menyatakan telah menghukum mereka yang bersalah.
TNI tengah mempertaruhkan nama baiknya. Semestinya lembaga itu menginvestigasi kasus ini dengan saksama sebelum membukanya kepada publik. Badan Pengawas Pemilu patut pula turun tangan, antara lain memeriksa petugas yang tersangkut, termasuk atasannya. Silang kata antar-pejabat TNI hanya membuat publik menduga-duga bahwa ada yang disembunyikan dalam kasus ini. Tak sepatutnya TNI menyangkal jika ada tentara yang nakal.
Sudah selayaknya TNI meninjau ulang keberadaan bintara pembina desa. Unit ini merupakan perwujudan doktrin Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta-prinsip dari era Orde Baru yang memungkinkan TNI menjangkau wilayah teritorial hingga ke kampung-kampung. Zaman berubah. Tugas menjaga masyarakat dan memetakan potensi ancaman di dalam negeri kini menjadi wewenang polisi.
Di pihak lain, masyarakat harus berani melapor jika menemukan aparat yang memihak. Jangan takut. Di era Internet ini, teror dan ancaman bisa dikalahkan asalkan mereka berani berbicara. Pers, termasuk media sosial, terbukti efektif mengawasi penyelewengan.
Netralitas TNI tak bisa ditawar lagi. Ini ujian bagi tentara.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo