Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masjid Jogokariyan salah satu masjid di Yogyakarta yang belakangan ini ramai diperbincangkan. Masjid ini banyak dikunjungi jemaah saat masa Ramadan karena rutin membagikan takjil gratis untuk berbuka puasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak tanggung-tanggung, takjil gratis yang dibagikan di Masjid Jogokariyan jumlahnya lebih dari tiga ribu porsi per hari. Uniknya, takjil gratis yang dibagikan itu tidak menggunakan kemasan sekali pakai sehingga ramah lingkungan. Selain itu, para jamaah juga dapat sekaligus menunaikan ibadah salat di lokasi tersebut.
Sejarah Masjid Jogokariyan
Merujuk situs resmi Masjid Jogokariyan, sebelum 1967 belum ada masjid di kampung Jogokariyan. Kegiatan keagamaan dan dakwah dilakukan di sebuah bangunan sanggar kecil yang terletak di pojok kampung. Namun bangunan tersebut tak pernah terisi lantaran kebanyakan masyarakat Jogokariyan pada masa itu lebih menganut tradisi kejawen daripada kultur keislaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa Hamengkubuwana VIII, terjadi perubahan sosial ekonomi yang signifikan yang membuat kampung Jogokariyan beralih menjadi pusat industri batik dan tenun. Hal ini menyebabkan generasi anak abdi dalem terpaksa bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik tenun dan batik itu.
Puncak masa keemasan industri batik dan tenun menjadi periode yang sulit bagi keturunan abdi dalem prajurit Jogokariyan yang kesulitan beradaptasi. Ketakseimbangan sosial ekonomi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan memanfaatkan sentimen kelas buruh dan majikan.
Gerakan PKI disambut dengan antusias oleh warga Jogokariyan yang merasa terpinggirkan, menjadikan kampung ini sebagai basis PKI yang didominasi oleh warga miskin dan buruh. Saat terjadi Gerakan 30 September atau G30S pada 1965, banyak warga yang ditangkap dan dipenjarakan sebagai tahanan politik.
Di tengah masa kritis ini, Masjid Jogokariyan dibangun dan berperan sebagai sarana perekat untuk mengubah masyarakat Jogokariyan menjadi masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Pembangunan Masjid Jogokariyan
Masjid Jogokariyan diinisiasi oleh H. Jazuri, seorang pengusaha batik dari Karangkajen yang memiliki rumah di kampung tersebut. Ide ini dibahas dengan beberapa tokoh masyarakat dan umat, termasuk Zarkoni, Abdulmanan, H. Amin Said, Hadits Hadi Sutarno, KRT Widyodiningrat, dan Ibu Margono.
Karena tak ada tanah wakaf di Jogokariyan untuk membangun masjid tersebut, sejumlah pengusaha batik dan tenun, yang sebagian besar pendukung dakwah Muhammadiyah dan simpatisan partai Politik Masyumi, mengumpulkan dana melalui koperasi Karang Tunggal dan Tri Jaya. Pada Juli 1966, tanah seluas kurang lebih 600 meter persegi di selatan lokasi masjid sekarang berhasil dibeli.
Pada 20 September 1965, peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan masjid dilakukan. Bangunan masjid dengan total luas bangunan 15 x 9 meter persegi ini terdiri dari ruang utama dan serambi. Pada 1967, Masjid Jogokariyan selesai dibangun dan diresmikan oleh PDM Kota Yogyakarta.
Nama yang diambil dari Masjid Jogokariyan ini mengikuti pada nama kampung di mana masjid ini berada, yaitu Jogokariyan. Masjid ini dibangun dari sepetak tanah wakaf yang berukuran 600 meter persegi yang saat ini dikembangkan pembangunannya menjadi 1.118 meter persegi.
Sukma Kanthi Nurani dan Pribadi Wicaksono berkontribusi dalam tulisan ini.