Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan kampung itu cukup lebar, dua mobil bisa berpapasan dengan gampang, tapi kondisinya sangat buruk. Permukaannya hancur sehingga mobil atau sepeda motor yang melewatinya akan terguncang guncang dan berjalan tak lebih dari lima kilometer per jam. Genangan genangan air menutup sekitar separuh jalan.
Ruas jalan itu merentang di pinggir perkampungan yang padat penduduk, Gang Bak Air, Kampung Muara Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan sejajar dengan jalan beton empat lajur yang setiap saat dilewati truk truk tronton peti kemas. Jalan beton itu seperti berada di atas tanggul karena letaknya sekitar satu sampai dua meter lebih tinggi daripada jalan kampung di sebelahnya.
Di gundukan tanggul itu muncul sejumlah lubang kecil dan dari sana air terus mengalir. Rembesan ini rupanya bukan hanya menimbulkan genangan di jalan kampung, melainkan juga isyarat bahwa ada yang tak beres dengan timbunan tanah yang menjadi dasar jalan raya. Sebagian tanah itu sudah keropos dan, pada dinihari Kamis dua pekan lalu, seruas jalan beton di atasnya ambles sepanjang lebih dari 100 meter. Separuh jalan ambles ke perairan tempat Kali Ancol bertemu dengan Kali Japat.
”Ini longsor biasa,” kata Purnomo S., Direktur Bina Teknik Kementerian Pekerjaan Umum, saat memeriksa jalan ambles itu pekan lalu, menyebut masalah yang menimpa ruas bernama Jalan R.E. Martadinata itu.
Hal yang sama diungkapkan oleh Profesor Masyhur Irsyam, insinyur dari Institut Teknologi Bandung yang ikut merancang struktur jalan tol Cikampek Bandung. ”Ini tidak ada hubungannya dengan penurunan Jakarta dan intrusi air laut,” katanya.
Irsyam tak menampik bahwa penyusupan air laut di wilayah itu memang sudah terjadi. Tapi, karena sudah disusupi air laut dari awal, kata dia, jelas bukan ini penyebab jalan ambles. Beban jalan yang terlalu berat, karena setiap saat dilewati truk tronton, juga bukan penyebab. ”Ini karena ambles sekitar pukul tiga pagi,” katanya. Jika penyebabnya beban terlalu berat, akan ambles saat dilewati, bukan saat sepi pada dinihari.
Penurunan permukaan tanah yang menjadi dasar jalan raya juga bukan biang keladinya. Malah penurunan tanah akan membuat jalan menjadi kuat. ”Tanah menjadi padat,” kata Irsyam. Logikanya, jalan yang menurun itu seperti urukan tanah yang dipadatkan dengan mesin gilas sehingga semakin padat dan kuat.
Kemungkinan terbesar, masalah jalan ambles itu akibat Kali Ancol yang berbelok ke kiri menjadi Kali Japat. ”(Penyebab terbesar amblesnya jalan) akibat gerusan sungai,” kata Irsyam.
Dugaan yang sama diungkapkan Dr Hary Christady Hardiyatmo, ahli mekanika tanah Universitas Gadjah Mada, salah satu pemegang hak paten modifikasi konstruksi cakar ayam. ”Sisi luar belokan sungai itu selalu lebih dalam,” kata Hary. Arus air rupanya menggerus tanggul jalan raya sehingga tanah menjadi kosong dan akhirnya sepotong jalan beton di atasnya terempas ke bawah.
Jalan yang ambles itu membuat lalu lintas terputus. Semua truk peti kemas dari kawasan industri Ancol barat ke Tanjung Priok, yang semula bisa memanfaatkan jalan ini, dipaksa memutar lewat jalan tol. Kementerian Pekerjaan Umum menjanjikan jalan diperbaiki secepatnya. ”Paling lama tiga bulan,” kata Purnomo.
Mengenai teknologi yang digunakan, Purnomo menambahkan, ”Kita akan menggunakan pile slab.” Pile slab atau tiang pancang pelat merupakan teknologi yang bisa dipakai untuk membuat jalan agar tidak turun mengikuti tanah, apalagi ambles seperti Jalan R.E. Martadinata.
Pada dasarnya, teknologi itu seperti membuat jembatan. Jadi satu beton dihamparkan, kira kira seperti jalan yang ambles itu. Tapi di bawah hamparan beton disebarkan tiang tiang pancang yang menembus hingga tanah keras dengan fungsi seperti tiang jembatan. Tiang pancang hingga tanah lunak itu menjamin, jika tanah lunak di lapisan bawah beton hilang digerus air, konstruksi tak akan terpengaruh, jalan tidak akan ikut bergeser.
Konstruksi ini tak berbeda dengan yang digunakan dalam pelebaran jalan tol Sedyatmo. Jalan tol Sedyatmo yang lama—bukan pelebaran menggunakan konstruksi cakar ayam. Dalam konstruksi cakar ayam, beton disebari tiang pancang ”semu” karena hanya memiliki tinggi beberapa meter dan tidak sampai ke tanah keras. Sedyatmo, penemunya, tidak menyebutnya ”tiang pancang”, tapi mengandaikan sebagai cakar sehingga disebut cakar ayam.
Meski konstruksi itu bandel (terbukti setelah hampir tiga dekade digunakan tidak ada masalah dan jalan tetap mulus), ada sedikit ekses, yakni permukaan jalan akan ikut turun mengikuti permukaan tanah. Penurunan ini membuat jalan menjadi rentan terendam banjir dan mengganggu akses ke bandara internasional. Bila menggunakan pile slab, karena tiang pancang sampai tanah keras, jalan tidak akan bergeser ke bawah.
Jika hanya menggunakan beton atau aspal sebagai pelapis, tanpa konstruksi tiang pancang, misalnya, kondisi jalan memang bergantung pada tanah di bawahnya. Jika kondisi tanah di bawahnya bagus, jalan akan stabil dan awet. Tapi, jika kondisi buruk, termasuk drainase minim, jalan mudah rusak biarpun dari beton. Jalan tol Tangerang Merak, misalnya, kondisi betonnya banyak yang patah karena tanah di bawahnya tidak bisa lagi mendukung.
Adapun dengan pile slab, nasib jalan di atasnya tak bergantung pada tanah di bawahnya lunak atau terkena erosi dan sebagainya tapi disandarkan pada deretan tiang pancang yang menyangga hingga ke batuan keras.
Pemecahan pile slab itu, menurut Irsyam, dianggap yang terbaik. ”Ada beberapa pemecahan, tapi ini yang paling cepat,” katanya. Kementerian Pekerjaan Umum pun sudah bisa menargetkan truk tronton yang besar besar itu bisa lewat lagi, paling lama, dalam tiga bulan.
Ada satu kelemahan pile slab: harganya mahal. ”Pile slab itu bisa disebut obat keras,” kata Dr Wiryanto Dewobroto, pengajar teknik sipil di Universitas Pelita Harapan. Obat keras yang mahal, tapi ampuh mengatasi jalan di tanah yang lunak. Biaya mahal ini karena pile slab membuat konstruksi di bawah permukaan jalan. Sementara itu, beton—atau pengaspalan—hanya membuat lapisan jalan di bagian atas tanpa konstruksi apa pun di bawahnya.
Nur Khoiri
Digerus Air
Para insinyur sudah hampir memastikan bahwa ruas jalan yang ambles di Jalan R.E. Martadinata itu akibat tanah di bawah jalan digerus gerakan air Kali Ancol yang berbelok dan menjadi Kali Japat. Sebelumnya sempat muncul dugaan bahwa pengerukan Kali Japat setahun silam menjadi salah satu penyebab.
Pasang-surut
Air pasang kadang merendam kawasan ini. Saat air kembali surut, ia akan membawa tanah-tanah keluar.
Jalan Ambles
Saluran Waduk Sunter Barat
Sisi luar tikungan
Di setiap sungai yang berbelok, tanah di sisi luar akan digerus oleh pusaran sehingga lebih dalam. Gerusan ini diduga menyebabkan tanah di bawah jalan digerus.
Sisi Luar
Kali Japat
Sungai ini cukup lebar dan dalam. Kapal bisa melayari hingga bertemu dengan Kali Ancol. Saat memasang papan beton untuk penahan ombak, tongkang yang digunakan bisa mendekati bekas reruntuhan jalan. Sempat muncul tudingan bahwa pengerukan Kali Japat setahun silam menjadi penyebab tanah di bawah jalan keropos.
Pemecahan Efektif tapi Mahal
Kementerian Pekerjaan Umum sudah menganggarkan Rp 8 miliar untuk perbaikan jalan sepanjang sekitar 100 meter itu. Biaya mahal karena di bawah jalan beton akan ditebari tiang pancang sebagai penyangga dengan teknologi pile slab (tiang pancang-pelat).
Konstruksi Baru
Tiang pancang Diameter: 60 sentimeter
Panjang: 24 meter
Lapisan Tanah lunak
Lapisan ini tidak diperhitungkan dalam membuat konstruksi pile slab. Bahkan, jika lapisan ini tergerus semua, jalan tetap baik karena tidak menopang jalan.
Lapisan Tanah keras
Tiang pancang ditancapkan hingga menyentuh tanah keras. Tiang pancang ini akan menyangga pelat beton yang menjadi jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo