Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bocah bundar, berbadan gempal, dan berpipi gembil itu tampak lucu dan sehat. Suatu siang awal September lalu, Tempo melihatnya di lorong Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta; ia bermain, berlarian kian kemari. Hari itu Aldi Rizal Suganda, dua setengahtahun, menjalani general check up untuk mengetahui akibat kebiasaan merokok selama satu setengah tahun.
Aldi dikenal sebagai balita perokok berat asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dan hari itu kelihatan tak kurang suatu apa, sampai akhirnya tim dokter yang menanganinya mendapati beberapa hal kurang wajar pada dirinya. Anak kecil yang polos itu bisa mendadak marah dan mengamuk. Disapa Tempo, ia langsung menegur, ”Siapa kau, mau motret motret?” Emosinya naik turun. Jika keinginannya tak terpenuhi dan ia ngambek, kadang ia suka menyakiti diri sendiri dengan membenturkan kepala ke dinding.
Sebenarnya kondisi Aldi membaik. Sebulan sebelumnya, selain membenturkan kepala, ia suka berguling gulingan. ”Susah dibujuk,” kata Syafriani dari Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak. Syafriani yang terus mendampinginya mencatat: emosi Aldi bisa tiba tiba melonjak bila melihat sesuatu yang berhubungan dengan rokok. ”Misalnya melihat orang merokok atau bau rokok,” katanya. Ia akan marah jika mendengar orang menyebutnya bocah perokok. ”Sangat sensitif.”
Sejak awal Juli, Aldi menjalani hidup tanpa rokok. Aldi ditempatkan di Rumah Sosial Perlindungan Anak (RPSA) di Cipayung, Jakarta Timur. ”Lingkungan yang benar benar steril dari rokok,” tutur Lisda Sundari, Kepala Kantor Komnas Perlindungan Anak.
Pada pekan pertama, pendampingan belum menunjukkan hasil. ”Ngamuk sampai berguling guling kalau minta rokok tidak dipenuhi,” tutur Lisda. Setiap hari ia minta rokok. Kondisinya bisa agak tenang jika rokok dan korek diselipkan di sakunya, meski tetap dilarang merokok. Pada pekan kedua, nafsu merokoknya mulai reda. ”Minta rokok tidak lagi setiap hari, hanya jika ingat.” Ia juga tak mengamuk jika keinginannya tidak dipenuhi. Pekan ketiga lebih baik, dan setelah sebulan bahkan sudah bisa menegur orang yang merokok. ”Om, jangan merokok di depan saya,” kata Lisda, menirukan komentar Aldi.
Sebelum menjalani terapi, Aldi praktis tidak mendapat penanganan. Di penginapan di Jakarta ia mengamuk ketika hasrat merokoknya tak terpenuhi. Di kampung halamannya, Aldi tidak hanya menjadi bahan pemberitaan. Tidak ada terapi. Dalam sehari ia menghabiskan tiga sampai empat bungkus rokok. ”Setiap hari wartawan asing antre untuk mengaksesnya. Bahkan ada jurnalis dari Belanda yang menongkrongi rumahnya,” kata Lisda. Aldi mulai menjadi sorotan dunia internasional. Lalu, bekerja sama dengan pemerintah setempat, Kementerian Sosial, Yayasan Mutiara, RPSA, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dan RSCM, Komnas pun ”menyelamatkan” Aldi.
Sejak berusia tujuh bulan, Aldi sudah tertarik pada rokok. Saat itu, menurut Diana, sang ibu, Aldi senang melihat iklan dan bungkus rokok di warung. Aldi praktis mulai merokok di usia 11 bulan. Orang tuanya kaget, tapi selanjutnya tak berdaya melarangnya merokok karena Aldi mengeluh pusing dan mengamuk jika tidak mendapatkan rokok, kendati kebiasaan ini menimbulkan beban baru. Keluarga nelayan itu harus mengeluarkan sedikitnya Rp 40 ribu per hari untuk rokok si anak. Apalagi pilihan rokok Aldi tidak murah. Diana menyebut satu merek rokok yang banderolnya sekitar Rp 10 ribu per bungkus.
Sejauh ini Diana tak melihat kesehatan Aldi terganggu. ”Kayak orang besar saja merokoknya, dan tetap sehat,” katanya. Namun tubuh yang terlihat sehat itu rupanya menyimpan sejumlah gangguan.
General check up oleh tim kedokteran RSCM menunjukkan adanya gangguan perilaku seperti hiperaktif, agresif alias tidak bisa mengendalikan diri, mudah marah, dan pola tidurnya terganggu. Ia cenderung gelisah, cemas, dan tidak tenang karena kebiasaan merokok diputuskan. Ia mengalami ketagihan yang akut (withdrawal effect) karena sebelumnya teracuni nikotin—kandungan racun dalam rokok—dengan dosis yang tinggi. ”Istilah umumnya sakaw,” kata Nurmiati Amir, ahli kedokteran jiwa RSCM, Jakarta.
Sewaktu masih aktif merokok, daerah di otak yang mengontrol perasaan senang dan nyaman (brain reward circuit) mendapat stimulasi dari nikotin, dan muncullah rasa senang, tenang, dan nyaman. Kondisi ini membuat pelakunya ketagihan. Proses adiksi ini berlangsung cepat seiring dengan masuknya nikotin. ”Sepuluh detik sudah menempel pada reseptor di otak,” kata Agus Dwi Susanto, spesialis paru yang juga Wakil Ketua Tim Klinik Berhenti Merokok RSUP Persahabatan, Jakarta. Begitu menempel, selanjutnya langsung terbentuk tiga hingga sepuluh reseptor, sehingga keinginan menambah dosis terus meningkat.
Tatkala sirkuit itu tidak lagi memperoleh asupan nikotin, lahirlah perasaan kebalikannya: gelisah, uring uringan, marah, tidak tenang, dan penuh tekanan. Terlebih pada kasus Aldi, dengan perbandingan tubuh di usianya yang sangat dini, kadar nikotin yang dicecapnya pun menjadi tinggi. ”Standar orang dewasa untuk anak kecil,” kata Nurmiati. Apalagi porsi merokoknya cukup banyak, pun untuk standar orang dewasa. Beberapa obat pengganti stimulan nikotin tidak dirancang untuk anak kecil. Solusinya: ditunggu sampai hilang sendiri sekitar tiga bulan.
Namun, setelah efek ketagihan itu hilang, masih ada ancaman lagi, yakni efek sugesti, yang menjadi potensi mengulang kembali kebiasaan merokoknya. Efek ini akan timbul jika Aldi kembali terpapar sesuatu yang berkaitan dengan rokok, seperti asap rokok atau sekadar melihat aktivitas orang merokok. Efek ini masih bertahan sedikitnya satu sampai dua tahun. Nurmiati menjelaskan, bekas perokok atau pecandu obat yang sudah bersih dari efek withdrawal terindikasi akan kembali ke pola metabolisme seperti saat masih aktif merokok. ”Tanpa dijaga orang tua dan lingkungannya, dia akan merokok lagi,” katanya.
Tim dokter juga mencatat, ada peningkatan kadar kolesterol jahat pada tubuh Aldi. Dikhawatirkan, metabolisme lemak ke hati terganggu dan ini bisa mengganggu fungsi hati. Namun peningkatan kolesterol ini, menurut ahli penyakit dalam dari RSCM, Ari Fahrial, tidak disebabkan langsung oleh rokok. ”Karena makanan yang berlebih,” tuturnya. Sisa lemak dan kolesterol setelah dikurangi untuk kebutuhan aktivitas dan pertumbuhan akan menumpuk. Tumpukan itu tidak hanya akan mengganggu fungsi hati, tapi bisa menyerang ginjal bahkan jantung.
Satu lagi yang cukup memprihatinkan: pembesaran otot jantung bilik kiri. Otot yang lebih besar memang memiliki kekuatan atau daya pompa yang lebih besar, tapi selanjutnya ini bisa memicu kelainan fungsi dan semakin memperparah jika terjadi gagal jantung.
Aldi masih berjuang keras meninggalkan teman lamanya: rokok. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, hingga pertengahan 2010 terdapat 6 kasus anak berusia 11 bulan, dua setengah tahun, dan 4 tahun yang kecanduan rokok, dari lima batang per hari hingga dua bungkus per hari. Dari anak balita perokok yang dipantau itu, lama masa merokok mereka satu setengah sampai 2 tahun. Dari survei yang pernah dilakukan Badan Pusat Statistik, perokok anak juga meningkat dari 0,4 persen pada 2001 menjadi 2,8 persen pada 2004.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo